Kamis, 31 Maret 2011

Bumi Rancaekek Kencana



Stasiun KA Rancaekek











Sejak akad kredit di notaris ditandatangani aku mulai memantau “rumah baruku”. Suatu hari bersama Bob aku ke Rancaekek menggunakan kereta api ekonomi. Aku tertegun melihat situasi di sana, rasanya seperti terlempar ke masa lalu. Stasiun dengan bangunan tua buatan Belanda terletak di tengah hamparan pesawahan sejauh mata memandang. Persis di sebrang rel kereta api itulah rumah impianku nantinya. Proyek pembangunan sedang berlangsung, akupun belum tahu di mana persisnya rumahku nanti tapi yang jelas di komplek itulah.

Beberapa waktu kemudian perumahan itupun selesai dibangun secara bertahap. Aku sudah bisa mengenali rumah baruku, sebuah rumah T 36 cult de sac sekitar 50 cm lebih tinggi dari jalan, bersumur pantek dan belum dialiri listrik. Tepatnya di Jalan Melati V nomor 54 Blok 3 Bumi Rancaekek Kencana. Beberapa kali kami mengunjungi rumah itu sebelum benar-benar pindah.


Stasiun Hall






Perjalanan ke Rancaekek dari stasiun Hall Bandung memang seperti travelling, karena sepanjang perjalanan kita bisa melihat padatnya pemukiman di kota dan kemudian hamparan pesawahan di kiri kanan jalan selepas stasiun Kiaracondong. Sepanjang perjalanan beragam kudapan ditawarkan para pedagang asongan, mulai dari tahu, es, jeruk, telur puyuh, apel malang, salak, dan lain-lain. Sambil makan kudapan kita tak henti-hentinya dihibur musik dangdut hingga alunan suara suling dari para pengamen. Pengemis pun ikut mendoakan agar kita selamat di perjalanan. kita bisa bermurah hati memberi mereka uang receh, jika tidak maka mereka akan ngeloyor pergi ke gerbong lainnya tanpa memaki.

Saat jangka waktu kontrak rumah di Babakan Tarogong berakhir, kamipun pindah dengan menggunakan sebuah truk pengangkut barang. Kakak ipar kami mbak Yayah dan suaminya –kak Ugi ikut mengantar. Ketika memasuki pintu gerbang perumahan mereka terkagum-kagum karena indahnya pemandangan. Jalan raya dan trotoar terbuat dari paving block, di kiri kanannya pohon-pohon palm raja dan lampu-lampu taman berbentuk bola-bola transparan yang disangga besi berbentuk trisula. Memang benar kalau dikatakan itulah komplek Perumnas terbaik yang pernah dibangun. (beberapa menteri dari negara asing pernah berkunjung seperti dari Cina dan Suriname. Beberapa media nasional dan lokal pun membuat feature tentang perumahaan itu).



Di rumah kami yang asri












Rumah baru kami adalah sebuah rumah sederhana berbentuk kopel berdinding batako tanpa plester. Kamar tidurnya hanya dua buah. Ada ruang tamu kecil, kamar makan dan dapur kecil yang menyambung ke kamar mandi. Meski belum ada aliran listrik dan air leiding kami menganggapnya seperti hotel bintang empat. Rumah di kiri kanan dan depan belakang kami kebanyakan masih kosong, hanya ada dua atau tiga rumah yang sudah dihuni. Merekalah tetangga kami yang pertama: pak Atang, pak Bagio dan di jajaran lain pak Parman, pak Adang, pak Endang dan pak Dedi Ho Liong.

Jika malam hari datang kami memasang pelita dengan bahan bakar minyak tanah. Rasanya seperti sedang berkemah. Baru beberapa bulan kemudian listrik PLN sampai di rumah kami, untuk air minum kami minta dari haji Maman tetangga di belakang rumah karena air leiding dari PDAM baru mengalir beberapa bulan kemudian. Untuk transportasi kami menggunakan kereta api ke kota. Pukul 5.30 aku harus sudah di stasiun. Kadangkala kereta api datang lebih dulu, akupun berlari-lari sepanjang rel mengejarnya. Mengasikkan sekali.


KA Patas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar