Rabu, 16 Maret 2011

JAKARTA



Jakarta



Lambang Kota



Indonesia
















SEKITAR tahun 1960 kami meninggalkan Cirebon menuju Jakarta. Bapak benar-benar seorang perantau sejati. Menurut cerita ibu kami tinggal di bedeng sebuah proyek pembangunan di kawasan kota, yaitu kawasan kota lama di dekat pelabuhan Sundakelapa yang hingga kini menjadi tempat cagar budaya bagi begitu banyak peninggalan Belanda. Proyek itu adalah pembangunan gedung kantor pusat Bank Negara Indonesia yang terletak di samping Stasiun Kereta Api Kota (Beos) di sebelah kiri dan Gedung Kantor Walikota Jakarta Utara di sebelah kanan. Gedung Kantor Walikota itu sekarang menjadi museum seni rupa Indonesia yang mengoleksi lukisan, patung dan keramik karya masterpiece pelukis dan pematung Indonesia. Di depan gedung BNI itu terletak gedung yang dulu menjadi markas Kodim. Di markas kodim itu terdapat asrama tentara di mana pakpuh Saimin yang merupakan saudara jauh dari Bapak tinggal. Di depan markas Kodim itu ada terminal bus. Kini terminal bus itu tak ada lagi dijadikan sebuah alun-alun. Sedangkan markas Kodim itu telah berubah menjadi museum Fatahilah yang mengoleksi pelbagai macam barang bersejarah yang berkaitan dengan sejarah kota Jakarta.

Aku menduga bapak turut bekerja menjadi tukang atau kenek bangunan di proyek pembangunan gedung BNI tersebut. Gedung itu terbilang megah pada saat itu dan merupakan bangunan modern satu-satunya di kawasan itu. Di sekitarnya bertebaran bangunan-bangunan berarsitektur indah peninggalan zaman kolonial yang dilestarikan oleh pemerintah kota Jakarta. Gedung BNI berbentuk L dan berlantai banyak dan masih digunakan hingga saat ini. Menurut pakpuh Saimin, jika di atap gedung ada asap mengepul itu pertanda uang-uang kertas sedang dibakar.

Setelah proyek pembangunan gedung BNI selesai, kami pindah ke daerah Kampung Gusti. Pada saat itu bapak sudah mulai bekerja sebagai pegawai negri yaitu menjadi anggota Barisan Pemadam Kebakaran (BPK) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya (Jaya) yang bermarkas di Jalan Zainal Arifin di kawasan Roxi.

Barisan Pemadam Kebakaran

Menurut cerita ibu, bapak memang sejak awal berkeinginan untuk bekerja sebagai anggota korps BPK. Sebagai orang dari desa Tulakan yang baru tinggal di ibukota negara, bapak terkesan oleh barisan mobil pemadam kebakaran yang sirenenya meraung-raung di jalan raya menuju tempat kebakaran terjadi dan semua kendaraan member jalan untuk iring-iringan mobil pemadam kebakaran yang berwarna merah menyala. Para anggota korps BPK yang menggunakan seragam khusus berwarna drill dengan sepatu boot dan topi baja bergantungan di mobil itu nampaknya menggugah kekaguman bapak. Bapak kemudian melamar bekerja dan diterima.

Kebanyakan anggota korps BPK tinggal di asrama di markas BPK. Asrama itu terletak di seputar lapangan rumput luas tempat para anggota korps berlatih. Seingatku asrama itu seperti bedeng-bedeng yang rapat di mana para anggota korps dan keluarganya tinggal berjejal-jejal. Hanya ada beberapa bangunan bagus dan luas untuk para perwira mereka. Teman-teman bapak tinggal di sana, tapi nampaknya bapak memilih untuk tinggal di luar asrama.

Hanya sesekali aku datang diajak bapak ke asrama itu, biasanya untuk berobat ke poliklinik dan nonton wayang kulit yang digelar di lapangan. Meski begitu aku cukup mengetahui lingkungan tempat bapak bekerja karena di kemudian hari aku bersekolah di SMP Negeri LIV Filial yang terletak di lingkungan asrama.

Para anggota korps BPK berlatih keras secara berkala memadamkan api di lapangan itu. Aku sering terkesan dengan cara mereka meluncur dari menara, atau menaiki mobil tangga untuk menjangkau gedung-gedung tinggi. Atraksi yang menarik adalah ketika beberapa di antara mereka menembus kobaran api yang sangat besar sehingga tubuh mereka tertelan api namun keluar dengan selamat karena menggunakan baju tahan panas atau anti api.

Beratnya tugas dan latihan-latihan tersebut membuat nyawa anggota korps BPK terancam, banyak di antara mereka menjadi korban dalam tugas atau latihan, ada yang luka dan bahkan meninggal dunia. Setidaknya dua kali aku melihat bapak dibungkus perban pada kepalanya karena terluka saat bertugas dan latihan .

Kebiasaan menyaksikan latihan-latihan itu membuatku familiar dengan kobaran api. Jika sesekali kompor sumbu berbahan bakar minyak tanah meledak di rumah aku dengan tenang bisa menjinakkannya. Caranya adalah dengan menggunakan karung goni yang dibasahi, kompor yang terbakar itu ditutup rapat dan dikeluarkan dari dapur.

Nampaknya melihat kobaran api selalu membuatku senang, sehingga aku nyaris membakar rumah tempat tinggalku karenanya. Lapisan seperti wallpaper yang terbuat dari kertas bekas bungkus semen yang menutupi dinding rumah pernah kubakar dengan api dari lampu teplok.


Kampung Gusti

Tempat tinggalku dinamakan Kampung Gusti karena di tempat itu ada sebuah makam keramat tempat banyak orang datang berziarah terutama di malam hari. Di kemudian hari baru aku tahu bahwa disitulah seorang pahlawan nasional dari Banten yang melawan penjajah Belanda bernama Pangeran Wijaya Kusuma dimakamkan. Rumah kami berada di bagian belakang komplek makam tersebut . Makam itu kemudian ditata dan dijadikan cagar budaya dengan sebuah upacara peresmian yang meriah dan dihadiri banyak pejabat.

Makam keramat dijaga oleh seorang juru kunci kenalan bapak. Keluargaku akrab dengan mereka, dan aku sering berkunjung ke sana. Pak jurukunci memiliki rumah bergaya Betawi yang indah yang membuatku betah bermain di rumahnya. Selain menjaga makam dia pun berdagang membuka warung. Biasanya di warung itu aku bercakap-cakap dengannya. Kebetulan warung itu ada di samping SD Sukarela di mana aku bersekolah hingga kelas IV. Dari persahabatanku dengannya aku seringkali mendapat cerita-cerita menarik mengenai
kehidupan, keberanian dan kepahlawanan yang berkesan hingga aku dewasa.

Di samping rumah pak jurukunci ada surau atau biasa kami memanggilnya langgar yang merupakan rumah panggung. Di depannya ada kolam air tempat berwudhu. Langgar itu adalah sekolah agamaku yang pertama di mana aku ikut sholat tarawih di malam bulan puasa (Ramadhan).

Di Kampung Gusti ada sungai Angke melintas dan sebuah pintu air yang mengalirkan air sungai itu. Ketika itu kali Angke masih bersih, sehingga penduduk Kampung Gusti kebanyakan beraktivitas di sungai itu untuk mandi dan cuci. Di sungai itu anak-anak biasanya berenang dan di pintu air mereka berlompatan ke sungai. Sungai Angke menghidupi penduduk Jakarta ketika itu, dari hulu orang-orang melayarkan rakit ke kota dan menjual bambunya. Sementara pada musim kemarau ketika air laut pasang masuk , maka perahu-perahu layar bersandar membongkar muatan kayu dari pulau-pulau di luar Jawa. Karena itu di Kampung Gusti terdapat banyak pangkalan tempat bambu dan kayu dijual. Banyak saudagar kayu dari seberang menetap di rumah kayu yang mereka bangun.

Entah bagaimana asal muasalnya, di sekitar rumahku ternyata dihuni banyak pelacur yang tinggal di rumah sewa pak Sakim. Beberapa pelacur –yang dipanggil telembuk—hidup dengan suami mereka. Sudah biasa bagiku melihat tentara atau polisi berdatangan untuk meniduri mereka. Bahkan beberapa tentara mendatangi mereka selama beberapa hari dengan membawa anak mereka. Aku tahu ada seorang pelacur cantik yang bernasib baik, dia menjadi simpanan atau mungkin istri sah seorang anggota DPR dan dibuatkan rumah batu yang terbagus di kampung Gusti. Aku dan bapak kenal baik anggota parlemen itu, bahkan aku pernah disuruh menyanyi di rumahnya dengan menggunakan pengeras suara dan sering diberi hadiah baik berupa buku maupun makanan ringan. Pelacur-pelacur itu pada umumnya baik denganku. Pada saat ada tontonan di kampung dan mereka tidak praktek di rumah, mereka berjualan di keramaian dan ada di antara mereka mengajakku berdagang.




Bisnis Bapak

Di Kampung Gusti bapak mulai mencoba berbisnis karena penghasilan sebagai pegawai negri tidak mencukupi. Bapak memasok pasir dari Tangerang ke toko-toko bahan bangunan di sekitar Jakarta Barat. Karena bisnisnya ini bapak banyak berkenalan dengan orang Betawi . kadangkala mereka datang ke rumah dengan menggunakan truk dan biasanya membawa bermacam-macam penganan khas : juadah, dodol, tapai ketan, opak, rengginang dan lain-lain.

Seingatku bapak juga pernah membuat usaha pengisian pemadam api tabung bagi pabrik-pabrik yang kebanyakan milik orang-orang Tionghoa. Selain itu bapak pun pernah menjadi distributor air bersih bagi penduduk sekitar rumahku. Waktu itu fasilitas air bersih dan listrik belum tersedia, sehingga untuk minum penduduk harus membeli air dari kaleng yang diangkut gerobak dan didorong menyusuri gang-gang. Bapak membuat kolam penampungan air leiding dan menjualnya ke penduduk. Namun nampaknya bisnis ini tidak begitu sukses. Sambil berbisnis bapak juga melanjutkan pendidikan ke KPA (Kursus Pendidikan Administrasi) setingkat SMP, karena bapak baru memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar saja.

Ibu juga mencoba membuka warung kecil di rumah, juga membuat penganan ringan yang dinamakan ampyang, makanan yang terbuat dari kacang tanah yang berbalut gula merah. Namun warung ibu tidak berkembang baik karena manajemen yang tidak baik sehingga barang-barang habis dibeli tentangga dengan pembayaran di belakang.



Yani , Retno, Yuni dan Titik

Pada bulan Maret tahun 1961 ibu melahirkan adikku yang pertama. Adikku diberi nama Dwiyani Budi Sukesi, dan dipanggil dik Yani. Dia dilahirkan di RS Tarakan. Setelah melahirkan adik, ibu mengalami semacam phobia sehingga harus dirawat di rumah sakit. Aku ikut nenek di Tulakan untuk sementara waktu karena bapak harus merawat ibu.

Dik Yani diangkat anak oleh pakpuh dan bupuh Broto seorang anggota Korps Veteran RI dan tinggal bersama mereka di Jembatan Genit. Pakpuh dan bupuh Broto kemudian dianggap sebagai orangtua hingga dik Yani dewasa. Mereka suatu saat mengalami kebangkrutan usaha dan pindah dari rumah mereka yang megah di Jembatan Genit ke rumah bambu di perkebunan sayur di Tegal Alur. Di Tegal Alur hidup mereka cukup berat hingga akhirnya mereka tinggal dengan kami di Kampung Gusti.

Tahun 1965 ibu melahirkan anak ketiga, seorang perempuan yang diberi nama Ander Retno Sugiarti. Waktu ibu hendak melahirkan bapak berusaha meminta ambulan ke asrama, tetapi nampaknya ibu tidak bisa menunggu lama sehingga kemudian dengan menggunakan becak ibu dibawa ke RS Budi Kemuliaan yang terletak di jalan Cideng. Sayang adikku tak sabar ingin melihat dunia ini sehingga di dalam becak itulah dia dilahirkan. Setelah lahir barulah dibawa ambulans ke rumah sakit.

Semasa tinggal di Kampung Gusti ini ibu seringkali pulang ke Ngawi dan dua adikku yang ketiga dan keempat lahir di sana. Adik ketiga seorang perempuan bernama Sumekar Endah Yuniarti dan dipanggil Yuni. Adik keempat juga seorang perempuan bernama Haryani Hari Pakarti, dipanggil Titik.

SD Sukarela

Di sekitar tempatku tinggal belum ada sekolah, sehingga ketika aku sudah memasuki usia sekolah, bapak dan para tetangga secara sukarena bergotongroyong membangun sebuah sekolah dasar dua atau tiga lokal. Bangunan sederhana yang kemudian diberi nama
SD Sukarela terletak di dekat lapangan badminton tempat bapak biasa bermain bulu tangkis dan tempatku dan teman-teman bermain di waktu hujan turun deras. Gurunya adalah menantu pak jurukunci yang merupakan teman bapak, aku adalah muridnya yang pertama. Saat mulai bersekolah aku harus diantar yu Wagiyah dan yu Samiyah yang merupakan kemenakan bapak yang ikut bapak ke Jakarta saat bapak kembali dari desa.


Bung Karno dan Gelora

Pada tahun-tahun 60-an itu pembangunan gelanggang olahraga berlangsung. Bapak sering berjaga dengan regu BPK nya 24 jam di sana. Sepulang dari sana bapak acapkali membawa makanan yang aneh-aneh menurut pandanganku waktu itu. Aku menduga pada saat itulah Bung Karno menyiapkan momen akbar Asian Games dan Ganefo (Game of the New Emerging Forces).

Setelah itu bapak memang sering mengajakku ke Senayan dengan bersepeda. Kadangkala aku diajak ke kolam renang untuk melihat para atlit berlomba. Bahkan bapak pernah bercerita pada teman kuliahku bahwa pada saat-saat itu aku diajak mendengarkan pidato politik Bung Karno dan sempat berjabat tangan dengan Pemimpin Besar Revolusi itu. Meski kebenarannya belum dapat kupastikan, namun tidak dapat kuingkari bahwa Bung Karno ada dalam kehidupanku.

Bahkan setelah Jakarta beranjak menjadi kota metropolitan di mana Ali Sadikin membangun prasarana dan sarana transportasi yang modern, aku masih sering diajak ke Gelora Senayan dengan menggunakan bus kota—tidak lagi bersepeda. Biasanya kami menyaksikan pertandingan sepakbola antara PSSI melawan negara Asia lainnya dalam rangka hari ulang tahun Jakarta yang dinamakan Anniversary Cup.

Gestok

Ketika bermukim di Kampung Gusti inilah Gerakan Satu Oktober (Gestok) terjadi. Rezim Orde Baru menyebutnya G 30 S/PKI atau Gerakan 30 September yang dikaitkan dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) meskipun jelas-jelas Gestok digerakkan oleh perwira dari Angkatan Darat yang berpangkat colonel bernama Untung. Gestok berlangsung pada 1 Oktober 1965 sekitar pukul 00.00 dengan pembunuhan para jendral dan perwira menengah angkatan darat. Mereka dibawah ke Lubang Buaya di kawasan pangkalan udara Halim Perdanakusuma dan dikuburkan di sana. Tujuan gerakan itu tidak begitu jelas apakah untuk menggulingkan pemerintahan yang sah atau untuk menyelesaikan konflik internal di tubuh Angkatan Darat itu sendiri. Belakangan diketahui itu merupakan konspirasi kekuatan kontra revolusioner di dalam negri yang didukung CIA (Central Intelligence Agency) Amerika Serikat untuk menjatuhkan Sukarno yang dianggapi semakin condong ke kiri.

Suharto memperoleh kewenangan untuk mengatasi keadaan . kewenangan itu berdasarkan Surat Perintah Sebelas Maret ( SP 11 Maret ) yang ditandatangani Sukarno di Istana Bogor berdasarkan draft yang disodorkan Amir Mahmud, Basuki Rahmat dan M. Yusup. SP 11 Maret biasa disebut Super Semar oleh rezim Orde Baru, diasosiasikan pada tokoh sakti dalam dunia pewayangan bernama Semar, dewa yang memanusia, yang lantas dipersepsikan sebagai Suharto itu sendiri. Dengan demikian Suharto memperoleh legitimasi sebagai Semar super yang menjalankan misi menyelamatkan bangsa dan negara.

Samar-samar dalam ingatanku pada saat itu di sekitar rumahku dikepung tentara, sehingga orang tidak dapat keluar masuk rumah secara bebas. Bapak harus memperoleh surat pass untuk dapat pergi bekerja.

Secara umum situasi saat itu memang genting, seringkali di sekitar rumahku dihujani pecahan amunisi dari udara berupa pecahan-pecahan besi yang tajam. Orang-orang harus menggunakan tampah untuk berjalan di sekitar rumah menghindari jatuhnya benda tajam dari udara.


Tomang, Tanjung Priok, Jelambar, Karang Tengah

Tahun 70-an ibu dan adik-adik pulang ke desa tinggal bersama mbah Putri. Aku dan bapak tinggal di Tomang Tanah Tinggi di rumah Om Saino teman bapak sewaktu muda. Om dan bulik Saino sudah seperti saudara bapak. Om Saino bekerja sebagai supir mobil pribadi sementara bulik Saino membuka warung kelontongan. Keluarga Om Saino beragama Katolik sehingga sejak saat itu aku belajar hidup berdampingan dengan umat yang berlainan agama. Setiap sore aku belajar mengaji di masjid dan belakangan mengaji secara privat bersama dua anak gadis tetanggaku kakak beradik. Sang kakak bernama Farida, ketika terakhir kubertemu dia sudah menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Di Tomang, Bapak melanjutkan sekolah di KPAA (Kursus Pendidikan Administrasi Atas) setingkat SMA. Bapak bersekolah di malam hari apabila kebetulan tidak mendapat tugas jaga di pos pemadam kebakaran. Setamat KPAA bapak mencoba berkuliah di Universitas Sakyakirti. Aku sendiri tak tahu di mana letak perguruan tinggi itu, tapi memang aku pernah melihat kartu mahasiswa bapak. Di masa ini bapak banyak membeli buku-buku yang dibelinya di pedangang buku-buku bekas. Di saat itulah aku mulai senang membaca buku-buku bapak seperti buku filsafat, sosiologi dan hukum, meskipun aku belum mampu memahami isinya.

Semasa tinggal di Tomang inilah aku sering berkeliling Jakarta sepulang dari sekolah. hampir semua museum pernah kudatangi dan banyak tempat di Jakarta kujelajahi. Museum di Jakarta cukup banyak, koleksinya lengkap dan tiket masuknya murah, bahkan beberapa diantaranya gratis. Kebetulan pula tiket bus PPD waktu itu hanya Rp 25 jauh dekat. Kadangkala jika kehabisan bekal, aku berdiri di dekat pintu belakang dan minta izin pada pak Kondektur.

Dari Tomang kami pindah ke Tanjung Priok. Di Tanjung Priok kami tinggal di rumah kontrakan di daerah Semper. Di sini aku menyelesaikan Sekolah Dasarku di SD Negeri Jelambar II, kemudian jeda sekolah selama setahun karena tidak dapat tempat SMP yang ideal. Selama tak bersekolah aku membantu bulik Min, tetanggaku, berjualan sayur mayur di pasar Kramat Tunggak. Malam hari kadangkali aku diajak berbelanja di pasar induk Senin . sayur mayur yang diberli di pasar induk dijajakan di kios pada pagi harinya, dari situlah bulik Min memperolah keuntungan.

Kramat Tunggak dikenal sebagai pusat lokalisasi WTS (wanita tuna susila) terbesar di Jakarta. Tentu aku kenal lorong-lorongnya dan keriuhan di tempat itu. Para wanita memajang diri di warung-warung remang-remang sambil merokok, minum bir dan mendengar music dangdut diputar keras dari radio transistor. Seringkali aku pergi menonton film di malam hari dari bioskop yang memutar film-film India atau barat. Kadangkala aku menonton sandiwara tradisional berbahasa Sunda yang berlokasi di sekitar lokalisasi.

Kehidupan di pasar ini mengajarkan padaku betapa kerasnya kehidupan. Seringkali aku melihat orang berkelahi dengan menggunakan senjata tajam di pasar Senin, tidak jarang mereka berkelahi sampai mati. Aku sendiri juga belajar membela diri dalam perkelahian di dalam pasar yang kadangkala lawanku itu menggunakan pisau. Tak jarang aku melihat pencuri uang dari kotak para pedagang yang tertangkap dan menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan orang ramai.

Wiwin

Pada tahun 1972 lahir adikku yang kelima, seorang perempuan yang diberi nama Wiwin Sandyana Wijiati dan diberi nama panggilan Wiwin. Adikku lahir di Puskesmas Semper dan aku yang membayar biaya kelahirannya dengan uang yang kuperoleh dari berdagang. Wiwin adalah anak bungsu. Dengan demikian kelima adikku adalah perempuan.

Jelambar

Dari Semper kami pindah ke Jelambar bersama pakpuh Saimin yang harus meninggalkan asrama Kodim seiring penataan gedung-gedung bersejarah di Jakarta. Di sebelah rumah kami, ada keluarga pindahan dari Pekojan yang ternyata adalah rekanan bisnis bapak. Dulu bapak biasa mengirim bahan bangunan ke toko mereka, namun usaha mereka telah bangkrut sekarang.

Karang Tengah

Tempat tinggal terakhir kami di Jakarta adalah Karang Tengah, sebuah tempat antara Pondok Labu dan Lebak Bulus. Di sana kami menempati sebuah rumah betawi dengan pepohonan buah-buahan di sekelilingnya. Hampir semua tetanggaku adalah masyarakat Betawi dengan kebudayaan mereka yang khas. Rumah mereka bagus-bagus dengan model terbaru pada saat ini. Banyak dari mereka memiliki kendaraan roda empat dan telah melaksanakan ibadah haji. Itu semua terjadi karena Jakarta mulai tumbuh sebagai metropolitan dengan munculnya kelas menengah yang memiliki penghasilan tinggi. Mereka membutuhkan pemukiman sehingga banyak perumahan dibangun sehingga memerlukan lahan yang luas. Lahan itu adalah tanah tegalan milik orang Betawi yang biasanya dijadikan kebun singkong dan buah-buahan. Meningkatnya harga tanah membuat banyak orang Betawi menjual lahannya dengan harga tinggi. Maka orang-orang kaya baru bermunculan di desa-desa pinggiran Jakarta lengkap dengan atribut kekayaan seperti rumah bagus, kendaraan, bahkan kuda-kuda dari Australia.

Bila mereka mengadakan resepsi perkawinan atau sunatan, maka dapat dipastikan ada bioskop layar tancap dan dangdut. Sedangkan di waktu lebaran mereka biasanya berpatungan membeli kerbau untuk dipotong dan dagingnya dibagikan secara merata.

Di Karang tengah aku punya kenalan seorang haji yang sangat baik, di mana musholanya seolah menjadi rumah kedua buatku. Pak haji yang murah hati selalu menyediakan hidangan buatku jika aku ada di suraunya khususnya ketika bulan puasa. Di surau ini pula aku bergaul dengan banyak guru yang singgah dan bermalam di tempat itu sambil berdagang sarung, batik atau buku-buku agama . Ustadz Hasan adalah kenalanku yang istimewa, dia memiliki pengetahuan agama yang mendalam, pandai menghias masjid dengan kaligrafi yang indah. Ketika itu ia adalah guru agama di sebuah madrasah ibtidaiyah yang belum mendapat besluit pengangkatan, atau disebut guru honorer.

Seorang cucu pak haji, Chairuddin, kini menjadi pendekar lingkungan yang menjaga sungai Pasanggrahan dari pencemaran dan pendangkalan. Sesekali aku melihatnya di televisi dan aku turut bangga melihatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar