Jumat, 18 Maret 2011

KEMBALI KE DESA

le retour aux champ






Ngawi










SETAMAT SMP aku kembali ke Jakarta. Karena aku pergi sebelum ijazah diberikan, maka di Jakarta aku tidak bisa melanjutkan sekolah. Selama setahun aku mengisi waktu dengan pelbagai cara. Aku sering mendatangi mesjid –mesjid yang menyebar antara Pondok Labu dan Kebayoran Baru. Mesjid favoritku adalah Al Azhar di mana Buya Hamka berkantor memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia seorang ulama yang memiliki charisma karena pengetahuannya yang luas dan sikapnya yang kokoh dalam menjalankan prinsip-prinsip agama. Jika waktu shalat zuhur tiba ia akan keluar dari kantornya menuju masjid untuk mengimami shalat. Pada saat itu anak-anak siswa sekolah Al Azhar yang berlokasi di basement masjid akan memanggil-manggil namanya : buya, buya. Buya tersenyum dan melambaikan tangannya. Aku pun ikut shalat berjamaah bersamanya. Pada hari Jumat aku bisa mendengar suaranya membaca Al Quran yang pasti membuatku terhanyut haru dan menangis meski aku tidak tahu makna bacaanya.

Pada saat-saat seperti itulah aku bertemu teman yang mengajariku berzikir : ya Latif ya Latif, yang artinya Yang Maha Lembut. Ia pun mengajakku menjadi pedagang koran yang diambil dari seorang agen di Blok A. maka akupun mulai berdagang koran dan majalah, berjalan dari Blok A hingga ke Pondok Labu.

Pada tahun 1977 bapak mengajak kami sekeluarga pulang ke Tulakan meninggalkan Jakarta yang telah menjadi tempat tinggal dan tempat mencari nafkah selama tujuh belas tahun. babak baru kehidupan pun dimulai.

Panti Pamardi Siwi

Semangatku untuk melanjutkan sekolah ke SMA terhalang kenyataan bahwa waktu sekolah sudah dimulai. Aku pergi ke Ngrambe, kota kecil tingkat kecamatan yang berjarak tujuh kilometer dari rumah mbah Putri. Aku mendengar ada sekolah swasta yang masih bisa menerima anak-anak yang ingin bersekolah pada jenjang menengah pertama dan atas. Nama sekolah itu adalah SMP dan SMEA Panti Pamardi Siwi. Aku pun datang menjumpai pak Suyono yang menjadi Kepala Sekolah SMEA. Seketika itu aku disuruh masuk kelas. Dengan demikian aku bersekolah lagi.
Panti Pamardi Siwi adalah sebuah sekolah lama yang sudah ada sejak zaman bapak masih muda. Nama Panti Pamardi Siwi diambil dari bahasa Jawa yang artinya kurang lebih tempat membina anak/siswa. Awalnya hanya untuk tingkat SMP dan menggunakan bangunan lumbung padi sebagai ruang kelasnya. Kadangkala siswa harus belajar di bawah pohon jika ruang kelas penuh. Sedikit demi sedikit pak Suyono dan istrinya, bu Samini , membuat lokal-lokal ruang kelas baru permanen dari hasil iuran siswa dan mulai menerima siswa SMEA. Saat itu di Ngrambe belum ada sekolah setingkat SMA, SMP negri pun belum ada, hanya ada SMP Panti Pamardi Siwi yang disingkat SMP PPS dan sebuah SMP Katolik dan SMP Muhammadiyah yang berlokasi di Mesjid Raya Kecamatan. SMEA Panti Pamardi Siswi (SMA PPS) adalah yang pertama dan satu-satunya. Muridnya berdatangan dari desa-desa dan kecamatan di sekitarnya, Kecamatan Sine, Kecamatan Jogorogo dan Kecamatan Ngrambe . kecamatan-kecamatan ini berada di kaki Gunung Lawu yang berada di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Di SMEA PPS ketika itu hanya ada satu jurusan saja yaitu Tata Niaga. Mata pelajarannya banyak berkaitan dengan perdagangan, pembukuan dan administrasi. Ada pelajaran pemasaran, hukum dagang, tata buku, mengetik, ilmu mengenal barang, matematika dan lain-lain. Akupun aktif menjadi pengurus OSIS dan menjadi Ketuanya. Selain itu aku sering dilibatkan dalam upacara kenegaraan di tingkat kecamatan seperti upacara Peringatan Hari Kemerdekaan. Boleh dikatakan dalam setiap aktivitas di sekolah aku selalu terlibat mulai dari lomba gerak jalan tingkat kabupaten, pramuka, malam kesenian, pertandingan olah raga antar sekolah, entah sebagai peserta atau panitia. Semua itu menjadi bekal dalam kehidupan berorganisasi di kelak kemudian hari.

Kota Ngrambe
( http://id.wikipedia.org/wiki/Ngrambe,_Ngawi)

Ngrambe adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kecamatan ini terletak sekitar 30 km barat daya ibu kota Kabupaten Ngawi dan berhawa sejuk karena berada di lereng utara Gunung Lawu.Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Jogorogo, sebelah utara dengan Kecamatan Walikukun, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sine. Sedang sebelah selatan berbatasan langsung dengan hutan Gunung Lawu.

Pasar di Ngrambe tidak ramai setiap hari, namun hanya ramai di hari pasaran yaitu di hari Kliwon dan Pahing. Cukup banyak yang diperdagangkan di pasar terutama sayur-sayuran dan buah-buahan. Banyak tengkulak dari luar kota seperti Sragen dan Magetan yang mencari barang dagangan di Pasar Ngrambe untuk dijual kembali di kota-kota terdekat. Pada hari pasaran kegiatan ekonomi di pasar Ngrambe telah dimulai sejak tengah malam. Bahkan beberapa sopir angkutan telah mengantrikan kendaraan mereka sejak sore sebelumnya.

Meskipun tidak memiliki objek wisata yang terkenal, Ngrambe memiliki pemandangan alam yang indah, terdiri dari perbukitan, pesawahan, hutan pinus, sungai-sungai kecil, dan banyak sumber air alami. Salah satu yang cukup menarik untuk dikunjungi terutama pada bulan Suro atau Muharram adalah sebuah makam kuno. Terletak di desa Hargomulyo, tepatnya di bukit Jabal Kadas. Merupakan makam bupati Ngawi yang pertama. Letaknya yang diatas bukit menjadikannya memiliki pesona yang cukup menarik. Selain tentu saja udaranya yang sejuk dari puncak itu kita dapat pula menyaksikan hamparan sawah di sekelilingnya. Gunung Warak di kejauhan serta puncak megah gunung Lawu di sebelah selatan, semuanya sungguh indah dan suasana damai.

Kontur tanah yang naik turun dan pemandangan yang indah menjadikan Ngrambe (beserta kecamatan Sine dan Jogorogo) daerah yang mengasyikkan bagi mereka yang menyukai wisata jalan-jalan di alam bebas alias trekking. Salah satu rute yang cukup menarik adalah dari Ngrambe ke Jamus. Dimulai dari kota Ngrambe kearah selatan melalui desa-desa seperti Wakah, Tawangrejo dan Hargomulyo. Di Hargomulyo kita dapat mengunjungi Jabal Kadas terlebih dahulu. Lalu melanjutkan perjalanan melewati indah dan sejuknya hamparan perkebunan teh sebelum akhirnya sampai di Jamus. Sementara itu Jamus yang merupakan wilayah kecamatan Sine, memiliki beberapa obyek menarik untuk dikunjungi. Diantaranya adalah sebuah pabrik pengolahan teh peninggalan jaman Belanda yang hingga kini masih terus berproduksi walaupun telah berusia ratusan tahun

Setiap hari aku berjalan kaki kurang lebih 14 kilometer untuk bersekolah bersama kakak sepupuku mas Par (Supardi). Sepatuku mudah sekali rusak karena jalan yang kulalui lebih banyak berupa susunan batu-batu kali. Mobil angakutan baru ada satu dua itupun lebih diutamakan untuk para pedagang yang membawa hasil bumi ke pasar yang buka lima hari sekali. Dalam sistem penanggalan Jawa hari pasar hanya ada lima yaitu pon, kliwon, wage, pahing, dan legi dan setiap pasar buka sesuai harinya : ada yang pada hari pon, hari kliwon, hari wage, hari pahing, dan hari legi selebihnya pasar istirahat. Mobil angkutan akan penuh sesak pada hari pasar itu, bahkan ada yang duduk di atas atap mobil. Beberapa temanku ada yang bersepeda, meski sepeda itu seringkali harus dituntun karena banyak sekali tanjakan tajam dan berliku. Tikungan dan tanjakan tajam itu biasanya adalah sungai yang mengalirkan air jernih dari gunung Lawu. Di sungai-sungai itu aku sering berhenti untuk beristirahat dan kadangkala shalat di atas batu. Sesekali aku pun mandi karena airnya memang jernih dan sejuk.

Karena kelasku pada umumnya berlangsung petang hari, maka biasanya aku singgah dulu di mesjid raya untuk shalat dzuhur dan bertemu teman teman. Mesjid seolah menjadi tempat rendezvous bagiku. Selama tiga setengah tahun mesjid ini menjadi tempat pertemuan dengan teman-teman sebelum dan sehabis melaksanakan shalat. Meski mesjid ini dikelola oleh petugas KUA (Kantor Urusan Agama) yang biasanya dari kalangan Nahdhatul Ulama (NU) namun pelaksanaan ibadah shalat Jumat mengikuti tatacara yang biasa dilakukan kalangan Muhammadiyah. Aku senang mendengar khutbah-khutbah mereka karena pas dengan perkembanganku yang sedang haus dengan pengetahuan agama. Pada saat itu akupun aktif di mesjid kampungku mengajar mengaji dan kadangkala memberi ceramah seusai shalat tarawih. Mesjid di kampungku memang lebih banyak dikelola oleh orang-orang muda terutama dari kalangan guru agama lulusan PGAA (Pendidikan Guru Agama Atas).

Keliling Gunung Lawu

Gunung Lawu (3.265 m) terletak di Pulau Jawa, Indonesia, tepatnya di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Status gunung ini adalah gunung api "istirahat" dan telah lama tidak aktif, terlihat dari rapatnya vegetasi serta puncaknya yang tererosi. Di lerengnya terdapat kepundan kecil yang masih mengeluarkan uap air (fumarol) dan belerang (solfatara). Gunung Lawu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan hutan Ericaceous. (http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Lawu)

Gunung Lawu memiliki tiga puncak, Puncak Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah. Yang terakhir ini adalah puncak tertinggi.
Di lereng gunung ini terdapat sejumlah tempat yang populer sebagai tujuan wisata, terutama di daerah Tawangmangu, Cemorosewu, dan Sarangan. Agak ke bawah, di sisi barat terdapat dua komplek percandian dari masa akhir Majapahit: Candi Sukuh dan Candi Cetho. Di kaki gunung ini juga terletak komplek pemakaman kerabat Praja Mangkunagaran: Astana Girilayu dan Astana Mangadeg. Di dekat komplek ini terletak Astana Giribangun, mausoleum untuk keluarga presiden kedua Indonesia, Suharto.

Pada tahun 1977 ada kebijakan pemerintah mengenai pendidikan yang mengubah awal tahun ajaran baru dari bulan Januari ke bulan Juli (tengah tahun), sehingga kami kemudian harus menambah waktu setengah tahun (satu semester) pada kelas I. waktu setengah tahun tersebut digunakan untuk pelbagai kegiatan ekstra kurikuler. Pada waktu itu aku dan teman-teman berkeliling Gunung Lawu yang memakan waktu kurang lebih satu minggu.Perjalanan kami searah jarum jam melewati Jogorogo, Kendal, Magetan, Sarangan, Cemorosewu, Tawangmangu, Karanganyar dan Sine.
Pemandangan selama perjalanan itu sangat indah. Hutan pinus, sungai-sungai berair jernih, air terjun yang menyembul dari balik rumpuh pepohonan, kebun-kebun jeruk, palawija, sayur-sayuran dan bunga mawar merah yang semerbak dibasahi embun pagi yang memantulkan cahaya matahari, pesawahan hijau, rumah-rumah pegunungan berhalaman bersih dengan taman indah, udara bersih sejuk segar dan langit biru dengan burung-burung yang berterbangan. Sesekali aku mengabadikan pemandangan itu dengan cat air di buku harianku.

Jika malam tiba kami tidur di masjid atau menumpang di rumah penduduk. Ada saja warga yang menerima kami mengajak berbincang dan menyuguhi umbi-umbian yang direbus. Bahkan di perkebunan teh di Karanganyar empunya rumah yang seorang pejabat perkebunan (sinder) menyiapkan makan malam khusus buat kami, karena ternyata dia berasal dari Ngrambe dan anak pedagang sate di kota kami. Di Cemorosewu kami menginap di warung dengan gratis, hanya makanan dan minuman yang kami bayar. Di Tawangmangu seorang Lurah bahkan memberi kami uang untuk bekal di perjalanan. Dari perjalanan ini aku dan teman belajar akan arti persahabatan, kesetiakawanan, tolong menolong, gotong royong, toleransi, simpati, empati, bertenggangrasa dan saling menghargai.

Tempat-tempat yang sangat berkesan bagiku adalah Sarangan, Cemorosewu, Tawangmangu dan Karanganyar. Sarangan adalah nama telaga yang berada di lereng gunung Lawu , begitu indah dan menawan sehingga aku tak kuasa untuk tidak berenang meski sebentar. Cemorosewu berada di atas Sarangan, terletak di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, merupakan pintu gerbang pendakian ke puncak gunung. Hutannya sangat lebat dan udaranya begitu dingin. Ketika kami tiba di sana senja hari kabut datang menyergap, maka tak ada pilihan lain kami harus menginap di sebuah warung.



telaga sarangan




Grojogan Sewu








Tawangmangu merupakan sebuah tempat wisata yang terkenal seperti halnya Sarangan, hanya saja Sarangan berada di Jawa Timur sedangkan Tawangmangu ada di Jawa Tengah. Air terjun Grojogan Sewu adalah tempat yang paling banyak dituju di Tawangmangu. Untuk sampai ke air terjun harus melalui anak tangga yang tak terbilang banyaknya . Karanganyar memiliki tempat-tempat indah berupa perkebunan-perkebunan teh dan dua buah canti peninggalan Majapahit : candi Sukuh dan candi Cetho.Ketika kami datang di kedua candi tersebut, renovasi candi sedang berjalan sehingga kami dapat memperoleh penjelasan dari arkheolog yang memimpin proyek renovasi.

Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang terletak di Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni. Candi ini digolongkan kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas. (http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Sukuh).

Situs candi Sukuh dilaporkan pertama kali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada tahun 1928.

Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di Dukuh Berjo, Desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta.



Candi Sukuh




Candi Cetho






Candi Cetho (ejaan bahasa Jawa: cethå) merupakan sebuah candi bercorak agama Hindu peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Laporan ilmiah pertama mengenainya dibuat oleh Van de Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh. Lokasi candi berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut. (http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Ceto)

Sampai saat ini, komplek candi digunakan oleh penduduk setempat yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan dan populer sebagai tempat pertapaan bagi kalangan penganut agama asli Jawa/Kejawen.

Ketika ditemukan keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu pada empat belas dataran bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada saat ini tinggal 13 teras, dan pemugaran dilakukan pada sembilan teras saja. Strukturnya yang berteras-teras membuat munculnya dugaan akan kebangkitan kembali kultur asli ("punden berundak") pada masa itu, yang disintesis dengan agama Hindu. Dugaan ini diperkuat dengan bentuk tubuh pada relief seperti wayang kulit, yang mirip dengan penggambaran di Candi Sukuh.

Pemugaran yang dilakukan oleh Humardani, asisten pribadi Suharto, pada akhir 1970-an mengubah banyak struktur asli candi, meskipun konsep punden berundak tetap dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh pakar arkeologi, mengingat bahwa pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa studi yang mendalam. Bangunan baru hasil pemugaran adalah gapura megah di muka, bangunan-bangunan dari kayu tempat pertapaan, patung-patung Sabdapalon, Nayagenggong, Brawijaya V, serta phallus, dan bangunan kubus pada bagian puncak punden.

Selanjutnya, Bupati Karanganyar, Rina Iriani, dengan alasan untuk menyemarakkan gairah keberagamaan di sekitar candi, menempatkan arca Dewi Saraswati, sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada bagian timur kompleks candi.

Borobudur dan Surabaya




Borobudur





Sejak berkeliling Gunung Lawu itu kami memiliki kebiasaan mengisi libur dengan hiking (berjalan kaki) ke beberapa tempat di Jawa. Kami memberi nama kelompok hiking itu dengan nama Pencakala singkatan dari Pecinta Alam Kaki Lawu. Dengan bendera Pencakala kami pernah melakukan hiking ke Candi Borobudur, Dieng, dan Surabaya juga mendaki gunung Lawu. Kadangkala kami pergi dengan rombongan besar seperti ketika ke Borobudur dan Surabaya, namun adakalanya hanya beberapa orang saja atau bahkan cuma berdua. Karena perjalanan-perjalanan itu persahabatan dengan teman sekolah menjadi semakin dekat dan akrab hingga kami dewasa. Meski jarang bertemu karena kami menyebar di pelbagai kota sejak lulus sekolah, tapi sesekali kami berkomunikasi dengan telpon maupun pesan singkat. Nama teman-teman yang masih kuingat sampai sekarang antara lain adalah Ribut, Giono, Parno, Hudi, Parmin, Parman dan Pri. Ribut sekarang bekerja di sebuah perusahaan financial di Jakarta – dia memang pandai Tata Buku, Giono menjadi kepala TU di SMP Negri Sine, Parno berdagang di pasar, Hudi menjadi “orang tua”, Parman bekerja di Universitas Negri Malang dan Parmin menjadi pengusaha alat-alat berat di Surabaya. Adapun sepupuku mas Par menjadi pedagang di pasar induk Gedebage. Parmin menikah dengan Parti teman sekelas kami, bahkan sudah mantu (menikahkan anaknya).

Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Dalam etnis Tionghoa, candi ini disebut juga 婆羅浮屠 (Hanyu Pinyin: pó luó fú tú) dalam bahasa Mandarin. (http://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur)

Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.

Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Kahulunan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra. [1] Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa sansekerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.[2]





Candi Dieng





Dieng adalah dataran tinggi di Jawa Tengah, yang masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Letaknya berada di sebelah barat kompleks Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. (http://id.wikipedia.org/wiki/Dieng)
Dieng adalah wilayah vulkanik aktif dan dapat dikatakan merupakan gunung api raksasa. Kawah-kawah kepundan banyak dijumpai di sana. Ketinggian rata-rata adalah sekitar 2.000m di atas permukaan laut. Suhu di Dieng sejuk mendekati dingin, berkisar 15—20 °C di siang hari dan 10 °C di malam hari. Pada musim kemarau (Juli dan Agustus), suhu udara kadang-kadang dapat mencapai 0 °C di pagi hari dan memunculkan embun beku yang oleh penduduk setempat disebut bun upas ("embun racun") karena menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian.
Secara administrasi, Dieng mencakup Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara dan Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Hingga tahun 1990-an wilayah ini tidak terjangkau listrik dan merupakan salah satu wilayah paling terpencil di Jawa Tengah.

Nama Dieng berasal dari gabungan dua kata bahasa Sunda Kuna: "di" yang berarti "tempat" atau "gunung" dan "Hyang" yang bermakna (Dewa). Dengan demikian, Dieng berarti daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam. Nama Dieng berasal dari bahasa Sunda karena diperkirakan pada masa pra-Medang sekitar tahun 600 Masehi daerah itu berada dalam pengaruh politik Kerajaan Galuh.

Dataran tinggi Dieng (DTD) adalah dataran dengan aktivitas vulkanik di bawah permukaannya, seperti Yellowstone ataupun Dataran Tinggi Tengger. Sesungguhnya ia adalah kaldera dengan gunung-gunung di sekitarnya sebagai tepinya. Terdapat banyak kawah sebagai tempat keluarnya gas, uap air dan berbagai material vulkanik lainnya. Keadaan ini sangat berbahaya bagi penduduk yang menghuni wilayah itu, terbukti dengan adanya bencana letusan gas Kawah Sinila 1979. Tidak hanya gas beracun, tetapi juga dapat dimungkinkan terjadi gempa bumi, letusan lumpur, tanah longsor dan banjir.
Selain kawah, terdapat pula danau-danau vulkanik yang berisi air bercampur belerang sehingga memiliki warna khas kuning kehijauan.

Secara biologi, aktivitas vulkanik di Dieng menarik karena ditemukan di air-air panas di dekat kawah beberapa spesies bakteri termofilik ("suka panas") yang dapat dipakai untuk menyingkap kehidupan awal di bumi.


tugu pahlawan


peta kota















lambang kota di era kolonial












Kota Surabaya adalah ibukota Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Dengan jumlah penduduk metropolisnya yang mencapai 3 juta jiwa, Surabaya merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di kawasan Indonesia timur. Surabaya terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat diperhitungkan dalam perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah. Kata Surabaya konon berasal dari cerita mitos pertempuran antara sura (ikan hiu) dan baya dan akhirnya menjadi kota Surabaya (http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surabaya)

Surabaya dulunya merupakan gerbang Kerajaan Majapahit, yakni di muara Kali Mas. Bahkan hari jadi Kota Surabaya ditetapkan sebagai tanggal 31 Mei 1293. Hari itu sebenarnya merupakan hari kemenangan pasukan Majapahit yang dipimpin Raden Wijaya terhadap pasukan kerajaan Mongol utusan Kubilai Khan. Pasukan Mongol yang datang dari laut digambarkan sebagai ikan SURO (ikan hiu/berani)dan pasukan Raden Wijaya yang datang dari darat digambarkan sebagai BOYO (buaya/bahaya), jadi secara harfiah diartikan berani menghadapi bahaya yang datang mengancam. Maka hari kemenangan itu diperingati sebagai hari jadi Surabaya.

Pada abad ke-15, Islam mulai menyebar dengan pesat di daerah Surabaya. Salah satu anggota wali sanga, Sunan Ampel, mendirikan masjid dan pesantren di daerah Ampel. Tahun 1530, Surabaya menjadi bagian dari Kesultanan Demak.
Menyusul runtuhnya Demak, Surabaya menjadi sasaran penaklukan Kesultanan Mataram: diserbu Panembahan Senopati tahun 1598, diserang besar-besaran oleh Panembahan Seda ing Krapyak tahun 1610, diserang Sultan Agung tahun 1614. Pemblokan aliran Sungai Brantas oleh Sultan Agung akhirnya memaksa Surabaya menyerah. Tahun 1675, Trunojoyo dari Madura merebut Surabaya, namun akhirnya didepak VOC pada tahun 1677.Dalam perjanjian antara Paku Buwono II dan VOC pada tanggal 11 November 1743, Surabaya diserahkan penguasaannya kepada VOC.

Pada zaman Hindia-Belanda, Surabaya berstatus sebagai ibukota Karesidenan Surabaya, yang wilayahnya juga mencakup daerah yang kini wilayah Kabupaten Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang. Pada tahun 1905, Surabaya mendapat status kotamadya (Gemeente). Pada tahun 1926, Surabaya ditetapkan sebagai ibukota provinsi Jawa Timur. Sejak itu Surabaya berkembang menjadi kota modern terbesar kedua di Hindia-Belanda setelah Batavia.Sebelum tahun 1900, pusat kota Surabaya hanya berkisar di sekitar Jembatan Merah saja. Sampai tahun 1920-an, tumbuh pemukiman baru seperti daerah Darmo, Gubeng, Sawahan, dan Ketabang. Pada tahun 1917 dibangun fasilitas pelabuhan modern di Surabaya.

Tanggal 3 Februari 1942, Jepang menjatuhkan bom di Surabaya. Pada bulan Maret 1942, Jepang berhasil merebut Surabaya. Surabaya kemudian menjadi sasaran serangan udara Sekutu pada tanggal 17 Mei 1944.

Setelah Perang Dunia II usai, pada 25 Oktober 1945, 6000 pasukan Inggris-India yaitu Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby mendarat di Surabaya dengan perintah utama melucuti tentara Jepang, tentara dan milisi Indonesia. Mereka juga bertugas mengurus bekas tawanan perang dan memulangkan tentara Jepang. Pasukan Jepang menyerahkan semua senjata mereka, tetapi milisi dan lebih dari 20000 pasukan Indonesia menolak.

26 Oktober 1945, tercapai persetujuan antara Bapak Suryo, Gubernur Jawa Timur dengan Brigjen Mallaby bahwa pasukan Indonesia dan milisi tidak harus menyerahkan senjata mereka. Sayangnya terjadi salah pengertian antara pasukan Inggris di Surabaya dengan markas tentara Inggris di Jakarta yang dipimpin Letnan Jenderal Sir Philip Christison.27 Oktober 1945, jam 11.00 siang, pesawat Dakota AU Inggris dari Jakarta menjatuhkan selebaran di Surabaya yang memerintahkan semua tentara Indonesia dan milisi untuk menyerahkan senjata. Para pimpinan tentara dan milisi Indonesia marah waktu membaca selebaran ini dan menganggap Brigjen Mallaby tidak menepati perjanjian tanggal 26 Oktober 1945.28 Oktober 1945, pasukan Indonesia dan milisi menggempur pasukan Inggris di Surabaya. Untuk menghindari kekalahan di Surabaya, Brigjen Mallaby meminta agar Presiden RI Soekarno dan panglima pasukan Inggris Divisi 23, Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk pergi ke Surabaya dan mengusahakan perdamaian.29 Oktober 1945, Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap bersama Mayjen Hawthorn pergi ke Surabaya untuk berunding.

Pada siang hari, 30 Oktober 1945, dicapai persetujuan yang ditanda-tangani oleh Presiden RI Soekarno dan Panglima Divisi 23 Mayjen Hawthorn. Isi perjanjian tersebut adalah diadakan perhentian tembak menembak dan pasukan Inggris akan ditarik mundur dari Surabaya secepatnya. Mayjen Hawthorn dan ke 3 pimpinan RI meninggalkan Surabaya dan kembali ke Jakarta.Pada sore hari, 30 Oktober 1945, Brigjen Mallaby berkeliling ke berbagai pos pasukan Inggris di Surabaya untuk memberitahukan soal persetujuan tersebut. Saat mendekati pos pasukan Inggris di gedung Internatio, dekat Jembatan merah, mobil Brigjen Mallaby dikepung oleh milisi yang sebelumnya telah mengepung gedung Internatio.Karena mengira komandannya akan diserang oleh milisi, pasukan Inggris kompi D yang dipimpin Mayor Venu K. Gopal melepaskan tembakan ke atas untuk membubarkan para milisi. Para milisi mengira mereka diserang / ditembaki tentara Inggris dari dalam gedung Internatio dan balas menembak. Seorang perwira Inggris, Kapten R.C. Smith melemparkan granat ke arah milisi Indonesia, tetapi meleset dan malah jatuh tepat di mobil Brigjen Mallaby.Granat meledak dan mobil terbakar. Akibatnya Brigjen Mallaby dan sopirnya tewas. Laporan awal yang diberikan pasukan Inggris di Surabaya ke markas besar pasukan Inggris di Jakarta menyebutkan Brigjen Mallaby tewas ditembak oleh milisi Indonesia. Letjen Sir Philip Christison marah besar mendengar kabar kematian Brigjen Mallaby dan mengerahkan 24000 pasukan tambahan untuk menguasai Surabaya.

9 November 1945, Inggris menyebarkan ultimatum agar semua senjata tentara Indonesia dan milisi segera diserahkan ke tentara Inggris, tetapi ultimatum ini tidak diindahkan.10 November 1945, Inggris mulai membom Surabaya dan perang sengit berlangsung terus menerus selama 10 hari. Dua pesawat Inggris ditembak jatuh pasukan RI dan salah seorang penumpang Brigadir Jendral Robert Guy Loder-Symonds terluka parah dan meninggal keesokan harinya.20 November 1945, Inggris berhasil menguasai Surabaya dengan korban ribuan orang prajurit tewas. Lebih dari 20000 tentara Indonesia, milisi dan penduduk Surabaya tewas. Seluruh kota Surabaya hancur lebur.Pertempuran ini merupakan salah satu pertempuran paling berdarah yang dialami pasukan Inggris pada dekade 1940an. Pertempuran ini menunjukkan kesungguhan Bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah.Karena sengitnya pertempuran dan besarnya korban jiwa, setelah pertempuran ini, jumlah pasukan Inggris di Indonesia mulai dikurangi secara bertahap dan digantikan oleh pasukan Belanda. Pertempuran tanggal 10 November 1945 tersebut hingga sekarang dikenang dan diperingati sebagai Hari Pahlawan.


Wonogiri

Kenangan yang tidak terlupakan adalah ketika kami sekelas melakukan praktek kerja lapangan ke Wonogiri. Kami pergi dengan menggunakan truk dan disebar di pelbagai KUD (Koperasi Unit Desa) di pelbagai Kecamatan se-kabupaten Wonogiri. Kami belajar bekerja mengurus koperasi mulai dari melayani nasabah, mengatur gudang, administrasi, tata buku, keuangan dan lain-lain. Meskipun kami berpraktek di daerah yang dikenal gersang dan miskin, namun kami senang dan menikmatinya. Di sana kami belajar bagaimana bergaul dengan masyarakat pedesaan yang mayoritas petani, mengatur organisasi dan berbisnis. Bekal ini sangat berharga sehingga banyak teman-temanku sekarang menjalankan bisnis mereka sendiri.

Wonogiri, (bahasa Jawa: wanagiri, secara harfiah "Hutan di Gunung"), adalah sebuah daerah kabupaten di Jawa Tengah. Secara geografis lokasi Wonogiri berada di bagian tenggara Provinsi Jawa Tengah. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Wonogiri)
Sejarah berdirinya Kabupaten Wonogiri dimulai dari embrio "kerajaan kecil" di bumi Nglaroh Desa Pule Kecamatan Selogiri. Di daerah inilah dimulainya penyusunan bentuk organisasi pemerintahan yang masih sangat terbatas dan sangat sederhana, dan dikemudian hari menjadi simbol semangat pemersatu perjuangan rakyat. Inisiatif untuk menjadikan Wonogiri (Nglaroh) sebagai basis perjuangan Raden Mas Said, adalah dari rakyat Wonogiri sendiri ( Wiradiwangsa) yang kemudian didukung oleh penduduk Wonogiri pada saat itu.

Mulai saat itulah Nglaroh (Wonogiri) menjadi daerah yang sangat penting, yang melahirkan peristiwa-peristiwa bersejarah di kemudian hari. Tepatnya pada hari Rabu Kliwon tanggal 3 Rabi'ul awal (Mulud) Tahun Jumakir, Windu Senggoro: Angrasa retu ngoyang jagad atau 1666, dan apabila mengikuti perhitungan masehi maka menjadi hari Rabu Kliwon tanggal 19 Mei 1741 ( Kahutaman Sumbering Giri Linuwih), Ngalaroh telah menjadi kerajaan kecil yang dikuatkan dengan dibentuknya kepala punggawa dan patih sebagai perlengkapan (institusi pemerintah) suatu kerajaan walaupun masih sangat sederhana. Masyarakat Wonogiri dengan pimpinan Raden Mas Said selama penjajajahan Belanda telah pula menunjukkan reaksinya menentang kolonial.

Jerih payah pengeran Samber Nyawa ( Raden Mas Said ) ini berakhir dengan hasil sukses terbukti beliau dapat menjadi Adipati di Mangkunegaran dan Bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya ( KGPAA) Mangkunegoro I. Peristiwa tersebut diteladani hingga sekarang karena berkat sikap dan sifat kahutaman ( keberanian dan keluhuran budi ) perjuangan pemimpin, pemuka masyarakat yang selalu didukung semangat kerja sama seluruh rakyat di Wilayah Kabupaten Wonogiri.

1978

Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.

Meskipun aku bersekolah di jauh di kaki gunung, namun aku tidak tertinggal dalam informasi mengenai perkembangan yang terjadi. Temanku di SMP LIV Filial Sudarsono selalu aktif mengirimiku surat dan menceriterakan perkembangan yang terjadi di Jakarta. Mulai dari harga bengkoang di pasar induk Kramatjati hingga protes-protes mahasiswa dan pelajar terhadap Suharto dan rezim Orde Baru. Akupun sering mendiskusikan perkembangan tersebut bersama teman-teman, bahkan suatu saat pernah terbesit membuat gerakan protes di Ngrambe dengan melakukan tindakan anarkhi. Namun entah mengapa setelah berkumpul di mesjid gerakan protes tersebut urung dilaksanakan.

Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional. (Wikipedia Indonesia , ensiklopedia bebas).

Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun demikian, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.

Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.

Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.

Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.

Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.

Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.

Gita Cinta dari SMEA

Sebagaimana layaknya remaja aku pun bergaul dan mulai menyukai lawan jenis. Gadis pertama yang menarik perhatianku bernama Ummi, adik kelasku yang tinggal di Jogorogo. Kakaknya Iskandar adalah teman sekelasku yang pandai dalam olahraga. Gadis yang kedua adalah Dwi, adik kelasku juga, anak seorang pensiunan KKO dan tinggal di Geduro, sebuah desa di tepi jalan antara Ngrambe dengan Walikukun. Pernah aku menulis puisi untuknya, tapi balasannya adalah kutipan lirik sebuah lagu : “ tiada kelebihanku…” dan aku menafsikannya sebagai penolakan. Sekarang dia menjadi istri dari seorang pemain acrobat yang sering bermain di alun-alun kecamatan. Gadis yang ketiga adalah Pepi, teman sekolah mbak Tuti (anak bupuh Gendingan) yang tinggal di Semarang. Setelah lulus aku pernah sekali mengunjunginya, dia sudah berwirausaha dengan membuka salon kecantikan, bahkan dia sempat memotong rambutku. Setelah aku tinggal di Bandung kami sesekali berkorespondensi, lalu pelan-pelan tak ada komunikasi lagi. Gadis keempat adalah  seorang Guru BP di SMP Bonaventura, Madiun. Ketika itu ia sudah berkuliah di Universits Widaya Mandala di kota yang sama. Hubunganku dengannya dimulai dengan pertemuan di rumah bupuh Gendingan, berkorespondensi, saling berkunjung dan kemudian saling jatuh hati satu sama lain. Hubunganku dengannya berjalan sampai aku pindah ke Bandung, tapi kemudian terputus karena ibu tidak merestui, dan dia memutuskan menikah dengan seorang Camat yang sedang bersekolah di Jakarta.

“Mbah Harso dadi Lurah”

Aku membantu bapak bertani dengan bercocok tanam di sawah maupun berkebun di tegalan. Sawah kami ada di etan gunung atau di timur gunung Liliran, dekat dengan mata air Jolodoro yang selalu mengalirkan airnya tanpa mengenal musim. Ikan pun berenang-renang di mata air itu tanpa ada yang menganggu. Orang-orang mandi di sana sepulang bekerja di sawah, adapula yang sengaja datang untuk menyuci pakaian dan menjemurnya di atas rerumputan. Anak-anak desa yang pulang dari kota kadang datang ke sana sambil bermain gitar menunggu cucian mereka kering. Jika kemarau tiba Aku kadangkala berjaga semalaman mengairi sawah, dan jika kantuk tak tertahankan akupun tertidur di pematang. Beruntung tak ada ular yang mengganggu.

Di tegalan (ladang) kami menanam umbi-umbian, kacang, jagung atau bengkoang. Tapi sayang meskipun hasil panen baik, harga hasil bumi selalu murah, keuntungan lebih banyak dinikmati oleh para tengkulak. Jadi secara ekonomis sulit sekali hidup dari pertanian, itulah sebabnya bapak harus melakukan pelbagai hal agar bisa menafkahi keluarga. Kadangkala biaya untuk sekolahku terganggu sehingga beberapa bulan aku tidak mampu membayar SPP yang sebenarnya tidaklah mahal.

Suatu saat bapak mencalonkan diri menjadi calon Kepala Desa atau Lurah. Berbulan-bulan aku dan mas Yono sebagai tim sukse sibuk kelililing desa untuk berkampanye. Rumah kami setiap siang dan malam hari ramai dikunjungi para pendukung bapak. Kebanyakan dari mereka masih ada hubungan keluarga dengan bapak. Malam menjelang hari pemilihan rumah kami seperti tempat pesta. Lampu-lampu pompa (petromax) dinyalakan di segala penjuru rumah dan halaman. Orang-orang berjaga semalaman. Makan minum disiapkan hingga pagi tiba. Entah apa yang terjadi, malam itu petugas Koramil menjemputku dan mas Yono lalu menahan kami di kantor kelurahan, menginterogasi kami hingga menjelang pagi. Berita ditahannya kami membuat heboh orang sedesa, sehingga nampaknya membuat takut orang-orang yang hendak mendukung bapak.

Keesokan hari bapak pergi ke tempat pemilihan dengan berjalan kaki tanpa mau kami temani, hanya kedua kemenakan kami yang menemani bapak. Kedua anak yang masih kecil itu berjalan di muka bapak sambil berteriak-teriak “Mbah Harso dadi Lurah” (Mbah Harso jadi lurah. Nama panggilan bapak adalah Harso). Sayang bapak kalah suara dari pesaingnya, bapak hanya mendapat urutan suara kedua dari lima kandidat yang ada. Bapak yang menggunakan lambang buah kelapa gagal menjadi lurah.

Ujian

Cobaan bagiku cukup berat, kekalahan Bapak nyaris bersamaan dengan akhir sekolahku. Untungnya aku tidak berlama-lama bersedih hati atas apa yang terjadi pada bapak. Aku menyelesaikan laporan praktek kerja lapangan di Wonogiri dan menyiapkan ujian akhir. Waktu itu ujian berlangsung dua kali di sekolahku dan di sekolah induk di SMEA Kosgoro yang berada di kota Ngawi. Alhamdulillah kedua ujian itu dapat kuselesaikan sebaik-baiknya dengan hasil yang tidak mengecewakan.

Jember

Setamat dari SMEA aku bermaksud melanjutkan ke UNS (Universitas Negri 11 Maret Surakarta) karena hanya berjarak 60 kilometer saja dari rumah, namun ternyata aku terlambat mendaftar. Dengan rasa kecewa aku mencoba mendaftar ke tempat lain, tujuanku adalah ke UNEJ (Universitas Negri Jember). Bapak mengantarku hingga ke Surabaya, tidur semalam di rumah Om Rianto sepupu bapak yang menjadi camat Rungkut. Esok harinya aku berangkat ke Jember. Alhamdulillah aku masih bisa mendaftar dan mengikuti tes masuk Fakultas Sosial Politik. Sayang aku tidak pernah mendapat surat panggilan dari Rektor.
Ada hal yang tak terlupakan ketika beberapa hari aku tinggal di Jember. Di sana aku menyewa sebuah kamar milik pedagang warung nasi bersama seorang tunanetra yang mencari nafkah dengan berkeliling menjual sulak (pembersih debu dari bulu ayam). Karena bekal uangku yang menipis aku sempat beberapa hari hanya makan tapai singkong dan diberi uang oleh sahabat tunanetra budiman tersebut. Inilah pelajaran berharga yang kudapat dari Jember.

Gaya Nusantara

Tempat favoritku selama di Jember adalah serambi mesjid agung yang baru (ada dua mesjid agung di Jember : bangunan lama dan baru). Dari serambi mesjid aku bisa melihat alun-alun kota dan kendaraan yang berlalu lalang. Di tempat ini pulalah aku berkenalan dengan apa yang dinamakan kaum homoseksual. Suatu ketika seusai shalat Jumat aku duduk di teras mesjid, dan kulihat serombongan jemaah yang sebagai dari mereka berganti busana yang menyiratkan feminisme dan menggunakan rias perempuan. Aku sungguh terkejut tapi tak berlangsung lama karena mereka kemudian mendekatiku, mencoba merayu dan bahkan menawariku narkoba. Dari mereka aku tahu bahwa di Jember dan sekitarnya cukup banyak kaum gay . Aku mencoba mengelak dan mencari alasan untuk menghindar dari rayuan mereka. Malam hari ketika aku makan di warung mereka datang mencoba mendekatiku kembali, aku cepat-cepat menyelesaikan makan malamku dan kabur… belakangan hari aku tahu bahwa kaum homoseksual menghimpun diri dalam organisasi Gaya Nusantara yang diketuai Dr Dede Oetomo dosen FISIP Universitas Airlangga. Gaya Nusantara bermarkas di Banyuwangi, di sebelah timur Jember.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar