Senin, 14 Maret 2011

Kota Udang



Balai Kota



Sega Jamblang



Lambang Kota




Peta











CIREBON dikenal dengan nama kota udang meskipun sekarang sulit bagi nelayan untuk meperoleh udang di sepanjang pantai kota itu. Aktifitas penangkapan ikan sudah mengalami titik jenuh, lagi pula pantai utara Pulau Jawa dicurigai telah dicemari unsur mercury dari industry yang membuang limbah ke perairan. Meskipun demikian makanan laut (sea food) masih menjadi daya tarik bagi siapa pun yang berkunjung ke sana. Seafood Pak Mul merupakan tempat yang dituju bagi kebanyakan orang yang ingin menikmati makanan laut seperti ikan, udang, kepiting dan kerang. Wisata kuliner lainnya selain seafood adalah pelbagai makanan tradisional seperti nasi jamblang, nasi lengko, empal genthong dan lain-lain. Nasi jamblang adalah nasi yang dibungkus daun jati sehingga menimbulkan aroma khas. Disebut nasi jamblang karena awalnya dijual di desa Jamblang, di luar kota Cirebon. Nasi jamblang disantap dengan aneka lauk pauk khas daerah itu. Nasi jamblang Mang Dul adalah yang terkenal di samping nasi jamblang pelabuhan yang dijual di pintu pelabuhan. Nasi lengko adalah nasi yang ditaburi irisan tahu dan tempe goring dan sayuran yang kemudian diberi saus sambal kacang tanah. Empal genthong adalah sejenis gulai daging dan jeroan sapi yang kuahnya disimpan dalam tempayan (genthong). Adapun minuman khas kota itu adalah teh poci dengan gula batu, yang disajikan dalam poci dari tanah dan sangat nikmat jika dinikmati pada malam hari terutama di sekitar alun-alun Keraton Kasepuhan.

Keraton Kasepuhan adalah salah satu keraton (istana) yang ada di Cirebon di samping Keraton Kanoman dan Keraton Kacirebonan. Istana-istana itu adalah tempat tinggal raja-raja Cirebon keturunan Sunan Gunjung Jati, yang selain pendiri Kerajaan Cirebon juga dikenal sebagai wali (orang suci) yang menyebarkan agama Islam di sepanjang pantai utara Pulau Jawa sejak dari Gresik hingga Banten. Jumlah para wali itu ada Sembilan sehingga dikenal dengan sebutan Wali Songo. Ada seorang wali lain yang hidup di masa wali songo tetapi tidak dimasukkan ke dalam kelompok wali songo karena pandangannya yang berbeda mengenai masalah ke-Tuhanan. Wali ke sepuluh itu biasa dikenal dengan nama Syeh Siti Jenar. Siti artinya tanah, jenar artinya merah. Syeh Siti Jenar divonis hukuman mati oleh Wali Songo karena pandangannya mengenai kesatuan wujud antara Allah dan manusia.

Sejarah
Menurut Manuskrip Purwaka Caruban Nagari, pada abad XIV di pantai Laut Jawa ada sebuah desa nelayan kecil bernama Muara Jati. Pada waktu itu sudah banyak kapal asing yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat. Pengurus pelabuhan adalah Ki Gedeng Alang-Alang yang ditunjuk oleh penguasa Kerajaan Galuh (Padjadjaran). Dan di pelabuhan ini juga terlihat aktifitas Islam semakin berkembang. Ki Gedeng Alang-Alang memindahkan tempat pemukiman ke tempat pemukiman baru di Lemahwungkuk, 5 km arah selatan mendekati kaki bukit menuju Kerajaan Galuh. Sebagai kepala pemukiman baru diangkatlah Ki Gedeng Alang-Alang dengan gelar Kuwu Cerbon.

Pada perkembangan selanjutnya, Pangeran Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi ditunjuk sebagai Adipati Cirebon dengan gelar Cakrabumi. Pangeran inilah yang mendirikan Kerajaan Cirebon, diawali dengan tidak mengirimkan upeti kepada Raja Galuh. Oleh Raja Galuh dijawab dengan mengirimkan bala tentara ke Cirebon untuk menundukkan Adipati Cirebon, namun ternyata Adipati Cirebon terlalu kuat bagi Raja Galuh sehingga ia keluar sebagai pemenang.
Dengan demikian, berdirilah kerajaan baru di Cirebon dengan raja bergelar Cakrabuana. Berdirinya Kerajaan Cirebon menandai diawalinya Kerajaan Islam Cirebon dengan pelabuhan Muara Jati yang aktifitasnya berkembang sampai kawasan Asia Tenggara. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Cirebon)

Pada tahun 1960 aku dibawa orang tuaku ke Cirebon. Dengan demikian Cirebon adalah tempat perantauanku yang pertama. Di sana bapak membantu pakpuh Mul (suami dari bupuh Mul yang merupakan adik bupuh Gendingan) membuka kantin sekolah di sekolah lanjutan atas pelayaran yang didirikan pakpuh Mul bersama temannya di daerah Mundu. Sekolah pelayaran itu masih berdiri sampai sekarang dan berkembang menjadi sekolah yang terkenal karena kualitas pendidikannya. Pakpuh Mul menjadi wakil kepala sekolah di sekolah pelayaran itu. Menurut kisah waktu itu banyak bekas Tentara Pelajar yang menjadi guru di sekolah-sekolah, termasuk di dalamnya pakpuh. Dia dikirim ke Amerika Serikat untuk belajar beberapa waktu dan kemudian mengajar. Pakpuh memang memiliki kapasitas untuk menjadi guru karena di keluarga dari pihak ibuku, dia dikenal sebagai orang yang pandai.

Di Cirebon kami tinggal di daerah Plered, persisnya di depan stasiun kereta api. Dulu ada kereta api dari pusat kota ke Plered, tapi sekarang jalur itu telah mati. Pemerintah republik ternyata memang tidak mampu mempertahankan moda transportasi rakyat yang telah dibuat Belanda, apalagi mengembangkannya.


Menurut cerita dari mbak Lis (anak pakpuh Mul), ada cerita lucu tentang diriku. Waktu kami berjualan di pasar malam aku jalan-jalan sendiri di sekitar keramaian karena terlepas dari perhatian mereka yang sibuk melayani pembeli. Orang-orang terkejut melihat anak umur setahun berjalan-jalan di keramaian, apalagi ketika itu kepalaku gundul sehingga ada yang berteriak : “tuyul…tuyul” dan ada yang melempariku dengan garam. Aku sendiri tidak begitu percaya cerita itu dan kuanggap hanya gurauan mbak Lis semata. Yang justru kuingat dari ibuku adalah bahwa kehidupan waktu itu sangat sulit, sehingga ibu mendapat pelajaran survival dari kehidupan. Salah satunya adalah makan nasi putih berlauk jelantah yang diberi garam. Jelantah adalah minyak sisa menggoreng makanan.

Pakpuh tidak lama mengajar karena mengajar mungkin bukan panggilan hidupnya.
Dia dan keluarga pindah ke Madura bekerja pada PN Garam di Sumenep. Bapak diajak ke sana untuk menjalankan usaha kapal tongkang, tapi menurut cerita pakpuh bapak hanya tersenyum saja. Sejak saat itu kami berpisah. Pakpuh dan keluarganya bermukim di Madura kemudian Surabaya dan nampaknya memiliki posisi yang bagus dalam pekerjaan barunya di samping sebagai pensiunan Veteran Perang Kemerdekaan. Sedangkan keluargaku pindah ke Jakarta. Saat kusudah dewasa pakpuh berkata bahwa kehidupan sebagai guru waktu itu pas-pasan sehingga ia memilih bekerja di tempat yang lebih menjanjikan.

Meskipun kami berpisah, hubunganku dengan pakpuh dan bupuh Mul serta mbak Lis tetap hangat hingga sekarang. Sesekali kami bertemu di Gendingan. Anak pakpuh ada lima orang : mbak Lis, mbak Anik, mbak Irin dan mas Yong. Mbak Lis sekarang tinggal di Larantuka menjadi menjadi guru, suaminya orang Flores yang sempat menjadi bupati. Ketika aku pergi ke Ende aku sengaja mengunjunginya sepulangnya dari Gunung Kelimutu. Mbak Anik kudengar tinggal di Malang menjadi bidan. Mbak Irin ikut suaminya ke Aceh yang bertugas sebagai tentara. Saat ia di Medan aku sempat singgah ke rumahnya. Mas Yong tinggal di Surabaya bekerja di sebuah perusahaan sekuritas. Sejak dia menikah aku belum sempat bertemu. Pakpuh dan bupuh kembali ke desa Tinap di Magetan, tidak jauh dari terminal bus Maospati dan lanud Iswahyudi. Pakpuh kini tinggal di rumah limasan yang berukir indah peninggalan orangtuanya. Beberapa tahun yang lalu aku sempat berkunjung bersama ibu dan anakku Dimas yang berkuliah di Undip Semarang. Pakpuh berpesan pada anakku agar menjauhi narkoba (narkotika dan obat-obatan terlarang).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar