Rabu, 30 Maret 2011

MELAYARKAN BAHTERA





















Nakhoda

UMURKU 28 tahun ketika aku menikahi gadisku. Alhamdulillah aku sudah dapat menjalankan sunah Nabi. Mungkin ada benarnya kata orang bahwa kelahiran, kematian, rejeki dan jodoh ditentukan Allah SWT. Aku sudah memutuskan untuk menjadikan Aat Atikah bin Une Hidayat sebagai istriku. Kami berdua siap melayarkan bahtera rumah tangga di samudra kehidupan yang kami sama-sama belum tahu seperti apa gelombangnya, atau berapa lama kami sampai di pelabuhan tujuan, selat-selat mana yang harus dilalui, pulau-pulau mana saja yang harus kami singgahi. “Ar Rizalu qawamuna ala Nisa”, laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, maka akupun sejak tanggal 16 Maret 2007 bertindak sebagai nakhoda, istriku sebagai navigator –meski mungkin istilah itu tidak begitu tepat.

Aku percaya bahwa perkawinan bukan hanya ikatan suci antara aku dan istriku, tapi juga keluargaku dan keluarga istriku. Itupula pertimbanganku ketika memutuskan melamar Aat dan menikah dengannya, tidak memilih yang lain. Aku merasa kami se-kufu . dengan demikian aku berharap bahwa keluargaku dapat menerima dan menghargai keluarga istriku demikian pula sebaliknya.

Keluargaku



















Keluargaku ketika itu tidak dalam keadaan yang dapat dikatakan sebagai keluarga bahagia sejahtera. Ayah sedang terpuruk dalam segala hal. Ibuku dalam kategori “swarga nunut neraka katut” (ikut bagaimana suami). Ekonomi rumah tangga berantakan. Aku harus memikirkan bagaimana membantu adik-adikku yang masih kecil. Biaya sekolah mereka adalah masalah besar yang harus diatasi. Retno bersekolah di SMA Negeri 2 Ngawi dan tinggal bersama bupuh di Gendingan. Yuni bersekolah di sebuah SMEA swasta di Walikukun, dan dia tinggal berama pak Slamet teman bapak dalam kegiatan politik, dia anggota DPRD Kabupaten Ngawi dari PDI . Titik bersekolah di SMA Negeri 1 Ngawi dan nge-kost di sana. Wiwin bersekolah di SMP Negeri 1 Sine. Untunglah mereka tinggal di desa, sehingga sanak saudara dan handai taulan tidak membiarkan mereka kelaparan atau kehujanan karena tiada tempat berteduh. Mbah putri Truno adalah malaikat penyelamat keluarga kami. Kami berhutang budi pada beliau, dan hutang budi ini terbawa sampai mati. Semoga Allah memberikan kebaikan dunia akhirat bagi beliau.

Keluarga Istriku
























Istriku berasal dari keluarga yang cukup sejahtera dan tinggal di jalan raya Pangalengan, Banjaran. Di sana mereka tinggal di lingkungan keluarga besarnya yang masih berkerabat dengan Kiai pengasuh pondok pesantren, dengan lurah dan dengan beberapa pengusaha . Une Hidayat ayahnya seorang petani setelah keluar dari dinas di ketentaraan sebagai supir pengangkut amunisi persenjataan militer. Ibunya Titi Maryati ketika itu masih bekerja di Puskesmas Banjaran yang asri. Teh Tatat dan teh Yayah kakak istriku sudah berkeluarga. Mas Iman masih lajang. Eni adiknya masih bersekolah di SPMA Baleendah, sedangkan Nani masih SMP. Mereka tinggal di rumah yang luas dan nyaman dengan halaman depan dan belakang yang luas. Halaman belakang berbatasan dengan pesawahan yang hijau sebatas mata memandang. Aku sangat menikmati situasi di rumah itu, meskipun demikian kurang lebih seminggu setelah hari pernikahan aku memutuskan kembali ke kamar kontrakanku di Sasakgantung karena kami masih harus menyelesaikan studi.

Sasakgantung

Inilah pulau pertama kami. Pulau kecil seukuran kurang lebih 3x4 m. kamar kontrakan yang biasanya kuisi sendiri kini kuisi berdua. Kegiatan pagi kami adalah berangkat kerja dan sore hari berangkat ke kampus berdua. Saat itu aku sudah selesai menyusun skripsi dan tinggal menyelesaikan ujian negara. Sementara istriku baru memulai melakukan penelitian lapangan. Skripsiku berkaitan dengan credit union dan penelitian istriku berkaitan dengan sektor informal. Pergaulan dengan teman-teman kuliah berjalan seperti biasa, kadang-kadang mereka menjemput ke rumah dan kami pun pergi bersama ke kampus atau ke Kopertis untuk menempuh ujian negara. Bahkan pernah kami ke kampus dalam keadaan istriku mengandung anak kami yang pertama. Uniknya pada saat demikian aku terserang cacar air, sehingga saat ujian wajahku penuh dengan bintik-bintik luka.




















Istriku adalah wanita perkasa. Dalam keadaan mengandung dia bekerja dan melakukan penelitian. Penelitiannya berlangsung di sekitar tempat tinggal kami, jalan Pangarang dan alun-alun Bandung. Aku membantu membuatkan instrument penelitian dan dia keluar masuk gang mewawancarai dan mengobservasi kehidupan para PKL (pedagang kaki lima). Salah satu yang ditelitinya adalah penghasilan mereka dalam sebulan. Ketika itu para PKL bisa memperoleh penghasilan Rp 800 ribuan sedangkan gaji istriku sebagai bidan hanya sekitar Rp 125 ribu sebulan sama dengan penghasilanku. Saat hasil penelitian tersebut dipresentasikan dosen pembimbingnya tidak percaya, karena gaji mereka tidak lebih dari Rp 500 ribu sebulan.

Adik bungsuku, Wiwin suatu saat datang seorang diri. Dari Ngawi dia naik kereta api. Dia sudah lulus SMP dan ibu menyerahkan segala urusan padaku. Aku dan istriku memutuskan agar dia bersekolah di SPG Santa Angela. Jadi kini kami tinggal bertiga. Jika malam tiba dan kami menjelang tidur maka hiburan kami adalah mendengarkan sandiwara melalui radio transistor dua band. Waktu itu hampir tiap malam kami mendengarkan cerita mengenai mak Lampir dan Sembara hingga kami tertidur.

Anak Pertama


























Pada tanggal 10 bulan Desember 1987, aku mengantar istriku ke RS Immanuel, karena ia merasa akan melahirkan anak pertama kami. Memang itulah yang terjadi. Pada malam Jumat kurang lebih pukul 22.00 istriku melahirkan seorang bayi perempuan dengan berat kurang lebih 4 kg. aku menyuarakan adzan dan iqomat di telinga anakku dengan harapan ia akan selalu mengingat
siapa Penciptanya dan selalu memujaNya setiap waktu dalam sembahyang yang khidmat dan khusyu. Setelah tiga hari di RS kami membawa putrid kami ke Banjaran.

Pada hari ketujuh kami memotong rambut anak kami dalam sebuah acara selamatan yang dipimpin seorang ustadz. Kami memberi nama putri kami yang pertama itu Idea Wening Nurani dengan harapan anak kami selalu melahirkan gagasan-gagasan dari hati yang jernih dan bening.
Dengan dikarunai seorang anak maka aku menjadi seorang ayah dan istriku menjadi seorang ibu. Sempurnalah perkawinan kami.

Mengontrak Rumah

Rasanya tidak mungkin lagi kami tinggal di Sasakgantung, maka kami mengontrak sebuah rumah di perumahan Margahayu Permai di dekat Pangkalan Udara Sulaeman. Rumah yang bagus dengan halaman rumput yang luas. Dea, begitu nama panggilan putri kami, senang bermain di halaman rumput itu. Dia tidak senang bermain dengan mainan anak perempuan seperti boneka, tapi ia senang bermain bola: melempar, mengejar dan menendangnya. Selain itu dia senang sekali menyelusup ke kursi di bawah meja makan bahkan sering tertidur di situ.

Masa ini adalah masa-masa tersulit dalam kehidupan rumah tangga kami. Kami harus hidup berlima : aku, istriku, Dea, ibu dan Wiwin. Kadangkala kami harus rela hanya makan nasi goreng selama beberapa hari karena hanya itu yang bisa kami makan. Untungnya aku sudah dapat menamatkan pendidikan dan memperoleh gelar Drs (doctorandus), meskipun aku tidak langsung mengikuti wisuda sarjana karena masih menunggu istriku yang belum menyelesaikan studinya. Entah karena pengaruh dari kelelalahan atau apa, istriku harus masuk rumah sakit selama seminggu karena terserang typhus, pada saat itu dia sedang mengandung anak kami yang kedua. Selama kehamilan kami membaca surat Yusuf dan surat Maryam.

Hanya setahun kami tinggal di Margahayu Permai. Setelah itu kami mencari rumah kontrakkan yang agak dekat dengan tempat kerja. Akhirnya kami memperoleh tempat di Babakan Tarogong, hanya beberapa meter dari RS Immanuel. Dengan demikian istriku bisa pulang pergi bekerja dengan jalan kaki saja. Sedangkan aku cukup naik bus kota sekali saja untuk sampai ke Santa Angela.

Selama di Babakan Tarogong aku terlibat di gerakan koperasi sehingga aku sering mengikuti seminar, rapat anggota dan pelatihan-pelatihan manajemen. Di samping itu aku juga mengikuti kursus bahasa Jepang di Pusat Kebudayaan Jepang di jalan Purnawarman. Penguasaan bahasa Jepang tadi sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan di bidang pekerjaan sosial di Jepang, karena ada seorang professor di sana yang mau membantuku agar bisa belajar di sana. Mitsuko Kojima namanya. Sayang karena satu dan lain hal aku batal berangkat ke Jepang dan bahasa Jepangku perlahan-lahan menghilang.

Anak Kedua
























Pada tanggal 20 Juli 2009 istriku melahirkan anak kami yang kedua. Ketika dilahirkan sekujur tubuh anak kami penuh dengan bulu. Tapi kami bersyukur anak kami sehat tidak kurang suatu apa meski kulitnya nampak gelap. Kami memang cemas akan kesehatannya karena ibunya selama sebulan dalam perawatan rumah sakit dan meminum banyak sekali obat-obatan. Alhamdulillah dia sehat wal afiat. Akupun memperdengarkan adzan dan iqomat pada anak kedua kami. Setelah seminggu kami cukur sendiri rambutnya hingga botak dan kami beri nama

Abdurrahman Sidiq Suryasemesta. Kami berharap dia menjadi hamba Allah yang pemurah jujur dan menjadi penerang bagi alam semesta. (entah kebetulan atau tidak pengurus PBNU yang terpilih adalah Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Tanfidziyah dan Kiai Sidiq sebagai Ketua Suriah). Sehari-hari kami memanggilnya Dimas karena dia adik dari anak pertama kami. Ketika itu ada slogan KB : dua anak sudah cukup. Laki-laki dan perempuan sama saja.











(Anak ketiga kami : Muhammad Agustus Prajakusuma (Parja) lahir tujuh tahun kemudian).

1 komentar: