Kamis, 17 Maret 2011

Sunda Kelapa





Jakarta : Dari Sundakelapa ke Megapolitan

(http://jakarta45.wordpress.com/2009/06/26/jakarta-dari-sundakelapa-ke-megapolitan/)

REPUBLIKA, Senin, 22 Juni 2009 pukul 01:14:00

Tom Pires ikut dalam ekspedisi empat kapal Portugis yang berlayar dari Malaka dipimpin de Alvin, tahun 1513. Pires mencatat pelabuhan di muara Kali Ciliwung yang kelak dikenal dengan nama Sunda Kelapa itu sudah tertata rapi, ada syahbandar, hakim, dan juga bendahara (mangkubumi).
Sunda Kelapa dipimpin oleh Sanghyang Surawisesa yang setahun sebelumnya pernah diutus oleh ayahandanya, Sri Baduga (Ratu Jayadewata) Raja Pakuan Pajajaran, ke Malaka untuk meminta bantuan Alfonso d Albuquerque menghadapi pengaruh kerajaan Islam Demak dan Cirebon.

Menurut Pires, saat itu hanya sedikit pedagang Muslim yang diperbolehkan masuk ke Sunda Kelapa. Ekspedisi Portugis kedua pada 1522 dipimpin oleh Enrique Leme yang menjalin perjanjian persahabatan dan monopoli perdagangan lada dengan Surawisesa.
Koalisi Sunda-Portugis ini ditandai dengan prasasti batu padrao tertanggal 21 Agustus 1522 yang ditanam di tepi pantai. Batu padrao ditemukan di Jalan Cengkeh persis di samping rel kereta api pada 1918, dan kini disimpan di Museum Nasional. Lokasinya menunjukkan garis pantai saat itu, satu mil dari ujung pantai pelabuhan Sunda Kelapa saat ini. Endapan dari muara Ciliwung membuat garis pantai bergeser. Saat Belanda menguasai Sunda Kelapa seratus tahun kemudian, garis pantai sudah bergeser hampir satu kilometer ke utara.

Portugis rupanya tak bisa segera membangun benteng di Sunda Kelapa. Pada 1526, pasukan Demak dan Cirebon yang dipimpin Fadhillah Khan (Fatahillah), pangeran dari Samudera Pasai, menaklukkan Sunda Kelapa. Baru pada 1527 datang ekspedisi Portugis dipimpin Duarte Cuelho untuk membangun benteng di Sunda Kelapa tanpa menyadari penguasa sudah berganti.

Saat menuju Sunda Kelapa, tiga kapal Cuelho terkena badai dan terpisah dari armada utama. Satu kapal brigantin berisi 30 awak mendarat pertama kali di pantai Teluk Jakarta dan langsung dibantai pasukan Fadhillah Khan. Dua kapal lainnya tak bisa berbuat apa-apa dan pulang ke Malaka. Atas kemenangan itu, Fadhillah Khan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Ini sekaligus menandai akhir sejarah ke -ra jaan Sunda yang sudah kehilang an pelabuhan terakhirnya.

Perusahaan dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang didirikan pada 1602 dan menguasai perdagangan rempahrempah di Maluku, mendirikan benteng batu di sebelah timur muara Ciliwung pada 1611. VOC menipu Pangeran Jayawikarta, adipati Jayakarta ketiga setelah Fatahillah dan Tubagus Angke, yang sebenarnya hanya membolehkan bangunan loji kayu. Saat itu, Jayakarta berada di bawah kendali Kerajaan Islam Banten. Untuk perimbangan kekuatan, Pangeran Jayawikarta mengizinkan Inggris membangun loji kayu di seberang benteng Belanda. Kerja sama dengan Inggris tanpa persetujuan Banten membuat marah Pangeran Ranamanggala, penguasa Banten. Sementara, mulai muncul keributan antara VOC dan Inggris dan Jayawikarta.

Inggris dan Jayawikarta berhasil mengalahkan pasukan VOC. Namun, kemudian datang kapal-kapal Banten untuk menghukum Jayawikarta. Inggris tak bisa berbuat apa-apa dan Jayawikarta dibawa ke Banten. Pada 30 Mei 1619, Jan Pieterszoon Coen datang dengan 16 kapal dan ribuan tentara dari Maluku, termasuk tentara bayaran dari Jepang (ronin), menaklukkan Batavia. Kota Jayakarta yang terletak 500 meter dari pantai dan sudah tak punya pemimpin itu pun rata dengan tanah.

JP Coen yang berlatar belakang akuntan ini menamakan wilayah taklukannya Batavia, dari wilayah asal moyang orang Belanda. Gaya kepemimpinan JP Coen sangat keras. Dia sangat benci kepada orang Eropa yang hobinya mabuk, tapi sangat memuji para ronin dari Jepang yang kemudian membantunya membantai ratusan saudagar Banda pada 1628. ”Coen yang satu ini sedikit terlalu bersemangat,” komentar para Heeren XVII, dewan direksi VOC (Maya Jayapal, Old Jakarta).

Kota itu dibangun lagi dari nol. Coen membangun benteng mengelilingi bangunan gaya Eropa dengan segregasi penduduk. Hanya orang Eropa, Cina, Arab, dan budak yang boleh tinggal dalam benteng. Belum rampung seluruh benteng, pada 1627 dan 1628 tentara Mataram menyerbu Batavia. Tapi, setelah itu Batavia berkembang pesat menjadi pusat operasi VOC di Asia yang membawahkan kantor-kantor di Maluku, India, Bengal, Sri Lanka, dan Deshima (Jepang).

Sejak 1733, kondisi kesehatan di Batavia makin memburuk akibat buruknya sanitasi dan epidemi malaria. Angka kematian di Batavia akibat malaria sangat tinggi. Rata-rata 40-60 persen orang Eropa yang baru datang dan belum sempat membangun kekebalan mati dalam setengah tahun pertama. Dalam setahun pertama, persentase kematian pendatang baru meningkat sampai 70 persen. Tercatat 85 ribu pegawai VOC mati di Batavia. Akibat yang ditimbulkan luar biasa.

Selain harus menanggung ongkos pengobatan, yang lebih parah, VOC kekurangan awak kapal untuk membawa pulang komoditas rempahrempah ke Belanda, salah satu faktor penyebab kebangkrutan selain korupsi. Sejarawan Van der Brug memperkirakan VOC merugi sampai 1,2 juta gulden per tahun akibat wabah penyakit. Padahal, penjualan VOC per tahun sekitar 20 juta gulden dengan keuntungan maksimal 2 juta gulden.
Batavia yang membuat VOC jaya dan sekaligus menghancurkannya. Selama hampir 200 tahun, VOC berkuasa di nusantara sampai akhirnya bangkrut pada 1798, ada 26 gubernur jenderal yang memimpin Batavia setelah Coen. Revolusi Prancis 1789 diikuti ekspansi Napoleon ke Eropa sampai akhirnya Kerajaan Belanda dikuasai Prancis. Herman Willem Daendels yang datang pada 1808 mewakili kaisar Prancis Napoleon, menjadi orang kedua yang mengubah Batavia.
Karena kondisi kesehatan Kota Batavia makin memburuk, pada 1809 Daendels memindahkan kawasan kota praja ke selatan, ke wilayah Weltevreden yang meliputi kawasan Pasar Baru, Pejambon, dan Medan Merdeka. Hampir seluruh bangunan dan tembok benteng Batavia yang terletak di kawasan kota tua dibongkar untuk bahan baku pembangunan kota baru. Kanal-kanal yang pernah menghiasi Batavia lama diurug.

Seperti Coen, Daendels juga dikenal sangat keras. Untuk menghadapi invasi Inggris, Daendels membangun jalan raya pos antara Anyer sampai Panarukan sebagai garis pertahanan yang mengakibatkan ribuan pekerja tewas. Tapi, jalan raya ini telah mempersingkat transportasi sepanjang pantai utara Jawa dari 40 hari menjadi enam hari.

Inggris yang sudah berkuasa di India memandang kekuasaan Prancis di Hindia Belanda akan semakin membahayakan. Pada Juli 1811, Inggris memberangkatkan armada 100 kapal dengan 12.000 pasukan dari Calcutta dan Madras yang dipimpin Laksamana Sir Samuel Auchmuty untuk menginvasi Batavia. John Bastin dalam peng -antar buku Conquest of Javamenyebutnya sebagai armada laut Inggris terbesar sebelum perang dunia II.
Armada Inggris mendarat di pantai Cilincing ( Chillinching) pada 4 Agustus 1811, kemudian menyusuri sepanjang pantai, melewati Kampoeng Baroe, jembatan Ancol ( Anjole), dan menduduki Kota Batavia lama. Pasukan Inggris kemudian bergerak ke Weltevreden melalui Molenvliet. Dari kawasan Rijswijk pasukan dipecah dua, satu menuju benteng Meester Cornelis (Jatinegara) yang takluk pada 26 Agustus dan satu pasukan lagi terus ke selatan sampai Kampung Melayu untuk memotong pasukan Belanda. Pasukan Belanda dan Prancis yang dipimpin Jenderal Janssens ditaklukkan dengan mudah.
Thomas Stanford Raffles yang mewakili Inggris memerintah di Batavia, hanya meneruskan dan memoles apa yang dibangun Daendels. Raffles yang menyenangi ilmu pengetahuan lebih memilih mengembangkan Bogor sebagai kawasan tetirah dan menetapkan beberapa cagar alam.

Sampai akhir abad 19, Batavia menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda sebagai pusat ekspor impor. Peran ekonomi Batavia sempat disaingi oleh Surabaya sampai akhirnya dibangun pelabuhan Tanjung Priok pada 1885 menggantikan Sunda Kelapa yang sudah tak bisa dimasuki kapal-kapal uap.
Jepang, yang menduduki Indonesia pada 1942-1945, tidak melakukan pembangunan berarti selain mengubah nama Batavia kembali ke Jakarta. Gubernur Jakarta, Ali Sadikin (1966-1977), yang kemudian mengubah Jakarta dari sebuah kampung besar ( big village) pada 1950-an menjadi kota metropolitan. Kemudian, Sutiyoso (1998-2007), mengusulkan wacana megapolitan yang menggabungkan perencanaan pembangunan di Jakarta Raya dengan wilayah Tangerang, Bekasi, Depok, dan Bogor.rahmad budi harto/one

Tidak ada komentar:

Posting Komentar