Kamis, 31 Maret 2011

Trauma Naik Mikrobus (Elf)



Hino Poncho






Tak berapa lama, istriku harus kembali ke Cidaun ditemani ibuku. Kedua anakku ikut ke sana. Akupun sendirian di rumah. Ini berlangsung hampir setahun. Baru kira-kira tahun 1992 istriku bisa pindah ke Puskesmas Solokanjeruk yang dekat dari rumah, karena masa kerjanya sudah lebih dua tahun.



peta Cidaun












Di Cidaun, Keluargaku (isri, anak-anak: Dea dan Dimas, dan ibuku) tinggal di rumah pak Ulis (Sekdes), yang biasa kami panggil Apih. Anak-anakku nampak senang tinggal di sana karena alamnya masih indah dan udaranyapun segar. Udara yang dipenuhi tiupan angin laut dari Samudra Indonesia. Samudra Indonesia hanya beberapa meter di belakang rumah, hanya terhalang sawah, bukit pasir dan laguna. Anak-anakku kadang hanya menggunakan kaus singlet jika berangkat tidur, karena meskipun malam hari, udara tetap hangat. Meski hanya makan makanan dari sekitar rumah, mereka tumbuh sehat. Tubuh mereka kekar dan kulit mereka segar. Sesekali jika kudatang kami berjalan-jalan di pantai menyaksikan gulungan ombak tinggi sambil berlarian di atas pasir. Sesudah itu kami makan ikan segar tangkapan nelayan di pelabuhan Jayanti yang dijual para pedagang ke kampung-kampung sekitar dengan berjalan kaki.























Untuk beberapa lama anak-anakku trauma jika naik bus karena perjalanan dari kota Cianjur ke Cidaun sangat jauh (120 km) dan melelahkan. Belum lagi jalannya yang berliku-liku dan turun naik. Aku memang bisa memahami trauma anak-anakku karena aku sendiri pun cemas jika pergi ke sana karena mobil dipacu dengan kecepatan tinggi di atas jalan sempit yang tidak selalu rata dengan jurang menganga di kiri kanan jalan yang banyak berhutan dan bertebing tinggi.


Rakit penyeberang sungai Cipandak dekat Sindangbarang di tahun 1917







Ketika itu satu-satunya jalan ke Cidaun memang melalui kota Cianjur melewati Sukanegara, Tanggeung, Sindangbarang. Perjalanan melewati pegunungan, hutan, sungai-sungai, jurang, tebing, perkebunan teh, perkebunan cengkeh, tegalan dan persawahan. Pemandangan memang indah, kadangkala ada air terjun di tepi jalan menyembul dari balik pepohonan besar. Memang ada akses yang lebih dekat melalui Ciwidey dan Naringgul tetapi tidak ada kendaraan umum, jadi tak ada pilihan kami harus melalui Cianjur. Dihitung-hitung jarak Bandung-Cidaun tak kurang dari 200 kilometer. Wajarlah kalah anak-anakku yang masih balita trauma karena kelelahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar