Rabu, 09 Maret 2011

Walikukun

Bengawan Solo

MBAH TO adalah pengasuhku waktu kecil. Dia tinggal di rumah bambu di belakang rumah bupuh (ibu sepuh atau uwa) Karsohoetomo secara tumpangsari. Tumpangsari adalah mekanisme sosial dalam budaya Jawa di mana seseorang tinggal di lahan miliki seseorang secara menumpang tanpa dipungut uang sewa. Di rumah bupuh itulah aku tinggal sewaktu masih bayi.

Dari Mbah To kuperoleh cerita mengenai kelahiranku di Walikukun. Ibu diusung dalam tandu ketika hendak melahirkanku. Pada fajar hari Sabtu, 17 Oktober 1959 aku dilahirkan ke dunia. Menurut ibu, lebih dari sembilan bulan aku ada dalam kandungan dan ketika aku lahir ari-ari membelit tubuhku seperti kisah kelahiran Bima, seorang ksatria dari keluarga Pandawa dalam cerita pewayangan.

Di Walikukun saat itu belum ada rumah sakit atau Puskesmas. Sehingga yang menolong kelahiranku adalah Pak Mantri Santriyo. Walikukun adalah sebuah kota kecil di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tempat ini terletak sekitar tujuh kilometer dari Gunung Lawu dan termasuk dalam wilayah kecamatan Widodaren. Ada sebuah setasiun kereta api yang meghubungkan Solo dengan Madiun, sehingga kereta api dari Jakarta atau Bandung yang hendak ke Surabaya melintasi setasiun kecil ini.

Walikukun merupakan tempat yang penting dalam sejarah kebangsaan karena dokter Radjiman Wedyodiningrat yang merupakan Ketua BPUPKI (Badan Penyelidik Upaya-upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tinggal di sana.

Betapa indah Walikukun dalam kenanganku, aku ingin berbagi mengenai pelbagai keunikan yang ada: tentang Dr Radjiman, Kabupaten Ngawi, Gunung Lawu dan Bengawan Solo.

Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat


Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat

Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat (lahir di Yogyakarta, 21 April 1879 – meninggal di Ngawi, Jawa Timur, 20 September 1952 pada umur 73 tahun) adalah seorang dokter yang juga merupakan salah satu tokoh pendiri Republik Indonesia.

Pendidikannya diimulai dengan model pembelajaran hanya dengan mendengarkan pelajaran di bawah jendela kelas saat mengantarkan putra Dr. Wahidin Soedirohoesodo ke sekolah, kemudian atas belas kasihan guru Belanda disuruh mengikuti pelajaran di dalam kelas sampai akhirnya di usia 20 tahun ia sudah berhasil mendapatkan gelar dokter dan pada usia 24 tahun mendapat gelar Master of Art. Ia juga pernah belajar di Belanda, Perancis, Inggris dan Amerika.

Pilihan belajar ilmu kedokteran yang diambil berangkat dari keprihatinannya ketika melihat masyarakat Ngawi saat itu dilanda penyakit pes, begitu pula beliau secara khusus belajar ilmu kandungan untuk menyelamatkan generasi kedepan dimana saat itu banyak Ibu-Ibu yang meninggal karena melahirkan.

Sejak tahun 1934 ia memilih tinggal di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi dan mengabdikan dirinya sebagai dokter ahli penyakit pes, ketika banyak warga Ngawi yang meninggal dunia karena dilanda wabah penyakit tersebut. Rumah kediamannya yang sekarang telah menjadi situs sudah berusia 134 tahun. Begitu dekatnya Radjiman dengan Bung Karno sampai-sampai Bung Karno pun telah bertandang dua kali ke rumah tersebut.

Dr. Radjiman adalah salah satu pendiri organisasi Boedi Oetomo dan sempat menjadi ketuanya pada tahun 1914-1915.Dalam perjalanan sejarah menuju kemerdekaan Indonesia, dr. Radjiman adalah satu-satunya orang yang terlibat secara akif dalam kancah perjuangan berbangsa dimulai dari munculnya Boedi Utomo sampai pembentukan BPUPKI. Manuvernya di saat memimpin Budi Utomo yang mengusulkan pembentukan milisi rakyat disetiap daerah di Indonesia (kesadaran memiliki tentara rakyat) dijawab Belanda dengan kompensasi membentuk Volksraad dan dr. Radjiman masuk di dalamnya sebagai wakil dari Boedi Utomo.

Pada sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945, ia mengajukan pertanyaan “apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?” Pertanyaan ini dijawab oleh Bung Karno dengan Pancasila. Jawaban dan uraian Bung Karno tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia ini kemudian ditulis oleh Radjiman selaku ketua BPUPKI dalam sebuah pengantar penerbitan buku Pancasila yang pertama tahun 1948 di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi. Terbongkarnya dokumen yang berada di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi ini menjadi temuan baru dalam sejarah Indonesia yang memaparkan kembali fakta bahwa Soekarno adalah Bapak Bangsa pencetus Pancasila.

Pada tanggal 9 Agustus 1945 ia membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Saigon dan Da Lat untuk menemui pimpinan tentara Jepang untuk Asia Timur Raya terkait dengan pemboman Hiroshima dan Nagasaki yang menyebabkan Jepang berencana menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, yang akan menciptakan kekosongan kekuasaan di Indonesia.
Di masa setelah kemerdekaan RI Radjiman pernah menjadi anggota DPA, KNIP dan pemimpin sidang DPR pertama di saat Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dari RIS.(http://id.wikipedia.org/wiki/Radjiman_Wedyodiningrat)


Loga Kabupaten Ngawi



Ngawi

Kabupaten Ngawi adalah sebuah wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibukotanya adalah Ngawi. Kota kabupaten ini terletak di bagian barat Provinsi Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Kata Ngawi berasal dari kata awi, bahasa sansekerta yang berarti bambu dan mendapat imbuhan kata ng sehingga menjadi Ngawi. Dulu Ngawi banyak terdapat pohon bambu.

Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora (keduanya termasuk wilayah Provinsi Jawa Tengah), dan Kabupaten Bojonegoro di utara, Kabupaten Madiun di timur, Kabupaten Magetan dan Kabupaten Madiun di selatan, serta Kabupaten Sragen (Jawa Tengah) di barat.

Kabupaten Ngawi terdiri atas 19 kecamatan yang terbagi dalam sejumlah 217 desa dan 4 kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Ngawi. Bagian utara merupakan perbukitan, bagian dari Pegunungan Kendeng. Bagian barat daya adalah kawasan pegunungan, bagian dari sistem Gunung Lawu (3.265 meter).

Pendidikan di Ngawi ditandai oleh adanya pendidikan pesantren dan umum. Pondok Pesantren Gontor Putri 1 dan Pondok Pesantren Gontor Putri 2 dan 3 terdapat di Desa Sambirejo, Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi, yakni di dekat perbatasan dengan Jawa Tengah. SMA Negeri 1 Ngawi dan SMA Negeri 2 Ngawi adalah salah satu sekolah favorit di Kabupaten Ngawi yang mempunyai segudang kegiatan / organisasi. Sekolah ini banyak menghasilkan generasi penerus Ngawi yang tanggung dan berpotensi untuk membangun kota Ngawi. Salah satu organisasi yang paling dominan di Smada Ngawi adalah Pramuka.

Sekolah swasta yang cukup tua dan terkenal adalah SMP dan SMK "Panti Pamardi Siwi" yang berlokasi di Kota Kecamatan Ngrambe di kaki Gunung Lawu. Sekolah ini didirikan oleh Soejono dan Samini untuk kalangan masyarakat pedesaan yang kebanyakan adalah petani. Selain itu di perkebunan karet PTP XXIII Tretes ada SMP "Kusuma Bangsa" yang berlokasi di tengah-tengah perkebunan yang dimaksudkan untuk menampung para buruh perkebunan dan petani sekitarnya.
Terdapat pula beberapa Perguruan Tinggi seperti Universitas Soerjo Ngawi (Unsur), STKIP PGRI Ngawi, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian dan Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam di Paron, serta Akademi Keperawatan. Di Desa Tempurejo Walikukun Ngawi STIT MUHAMMADIYAH Tempurejo menggenapi penddikan perguruan Muhammadiyah yang sudah ada dari Madarasah Diniyah Awaliyah, Wustho, Ulya, TK, MI, MTs dan MA yang bernaung dibawah organisasi Muhammadiyah, tapi sayangnya proses perkuliahannya di Mantingan jauh dari Nama yang melekat yaitu Tempurrejo.

Sedangkan tempat rekreasi yang ada saat ini adalah Pemandian Tawun, Waduk Pondok, Air terjun Srambang, serta kebun Teh Jamus yang berhawa sejuk dan terdapat Kolam Pemandian di sekitar Perkebunan Teh tersebut. Perkebunan Teh ini terletak di Kecamatan Sine, Selain Kebun Teh Jamus di Kec. Sine, selain teh di kecamatan sine ada pula perkebunan karet yang dikelola oleh PTP XXIII Tretes Juga ada Bendungan Ndorjo yang lokasinya di Desa hargosari Dsn. Gondorejo. Selain itu terdapat juga situs purbakala Trinil yang menyimpan fosil pithecanthropus erectus (Manusia kera berjalan tegak) pertama kali di temukan oleh arkeolog Belanda bernama Eugene Dubois.

Gunung Liliran merupakan objek wisata ziarah yang terkenal bagi masyarakat Jawa. Pada bulan Muharam (Syura) para peziarah berdatangan ke puncak bukit pada siang dan malam hari. Sebagian dari mereka bersemadi di beberapa gua atau berziarah ke Makam Joko Buduk. Pemandangan dari puncak bukit memang sangat indah berupa pesawahan dan sungai yang meliuk ke arah utara menuju Bengawan Solo. Sayang hutan di Gunung Liliran tidak indah lagi karena tanaman pinus yang dikelola Perhutani kini banyak ditebangi.

Kesenian Daerah Asli Kabupaten Ngawi adalah Tari Orek Orek, Tari Kecetan, Dongkrek, Wayang Kruc

Sebuah benteng peninggalan belanda (Benteng VAN DEN BOSH) sebenarnya bisa pula dijadikan sebagai salah satu obyek wisata yang sangat bagus, sayang Pemerintah Kabupaten Ngawi tidak serius menanganinya. Benteng yang terletak diantara dua Sungai besar itu (Sungai Madiun dan Bengawan Solo) sangat mungkin menyedot wisatawan karena letaknya yang di tengah kota.

Makanan Khas Asli kota Ngawi Adalah Tepo Tahu (Pertama kali di buat oleh Bp Palio), kemudian Wedang Cemue. karena rasanya yang enak banyak tempat lain mengklaim cemue berasal dari daerahnya, tapi Cemue adalah benar benar Asli kota Ngawi, Sate ayam Ngawi juga mempunyai rasa yang berbeda dengan sate ayam daerah lain. Selain itu makanan ringan semacam Kripik tempe, ledre, dan Geti banyak terdapat di Ngawi, Nasi pecel Ngawi juga memiliki rasa yang khas berbeda dengan nasi pecel di kota lain.
Di Ngawi terdapat berbagai franchise penjual makanan, dan juga makanan favorit di Ngawi, yakni tempe keripik yang dapat ditemukan di warung makan, restoran, dan warung rokok.(http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_ngawi)

Gunung Lawu dilihat dari Cemoro  Sewu
Gunung Lawu

Gunung Lawu (3.265 m) terletak di Pulau Jawa, Indonesia, tepatnya di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Status gunung ini adalah gunung api "istirahat" dan telah lama tidak aktif, terlihat dari rapatnya vegetasi serta puncaknya yang tererosi. Di lerengnya terdapat kepundan kecil yang masih mengeluarkan uap air (fumarol) dan belerang (solfatara). Gunung Lawu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan hutan Ericaceous.

Gunung Lawu memiliki tiga puncak, Puncak Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah. Yang terakhir ini adalah puncak tertinggi.

Di lereng gunung ini terdapat sejumlah tempat yang populer sebagai tujuan wisata, terutama di daerah Tawangmangu, Cemorosewu, dan Sarangan. Agak ke bawah, di sisi barat terdapat dua komplek percandian dari masa akhir Majapahit: Candi Sukuh dan Candi Cetho. Di kaki gunung ini juga terletak komplek pemakaman kerabat Praja Mangkunagaran: Astana Girilayu dan Astana Mangadeg. Di dekat komplek ini terletak Astana Giribangun, mausoleum untuk keluarga presiden kedua Indonesia, Suharto

Gunung Lawu sangat populer untuk kegiatan pendakian. Setiap malam 1 Sura banyak orang berziarah dengan mendaki hingga ke puncak. Karena populernya, di puncak gunung bahkan dapat dijumpai pedagang makanan. Pendakian standar dapat dimulai dari dua tempat (basecamp): Cemorokandang di Tawangmangu, Jawa Tengah, serta Cemorosewu, di Sarangan, Jawa Timur.

Gunung Lawu menyimpan misteri pada masing-masing dari tiga puncak utamanya dan menjadi tempat yang dimitoskan sebagai tempat sakral di Tanah Jawa. Harga Dalem diyakini sebagai tempat pamoksan Prabu Bhrawijaya Pamungkas, Harga Dumiling diyakini sebagai tempat pamoksan Ki Sabdopalon, dan Harga Dumilah merupakan tempat yang penuh misteri yang sering dipergunakan sebagai ajang menjadi kemampuan olah batin dan meditasi.

Konon gunung Lawu merupakan pusat kegiatan spiritual di Tanah Jawa dan berhubungan erat dengan tradisi dan budaya Keraton Yogyakarta.Setiap orang yang hendak pergi ke puncaknya harus memahami berbagai larangan tidak tertulis untuk tidak melakukan sesuatu, baik bersifat perbuatan maupun perkataan. Bila pantangan itu dilanggar di pelaku diyakini bakal bernasib naas.

Tempat-tempat lain yang diyakini misterius oleh penduduk setempat yakni: Sendang Inten, Sendang Drajat, Sendang Panguripan, Sumur Jalatunda, Kawah Candradimuka, Repat Kepanasan/Cakrasurya, dan Pringgodani.
Gunung Lawu menyimpan banyak cerita dan legenda. Salah satunya berkaitan dengan Kerajaaan Majapahit.
Cerita dimulai dari masa akhir kerajaan Majapahit (1400 M) pada masa pemerintahan Sinuwun Bumi Nata Bhrawijaya Ingkang Jumeneng kaping 5 (Pamungkas). Dua istrinya yang terkenal ialah Dara Petak putri dari daratan Tiongkok dan Dara Jingga. Dari Dara Petak lahir putra Raden Fatah, dari Dara Jingga lahir putra Pangeran Katong.

Raden Fatah setelah dewasa agama islam berbeda dengan ayahandanya yang beragama Budha. Dan bersamaan dengan pudarnya Majapahit, Raden Fatah mendirikan Kerajaan di Glagah Wangi (Demak). Melihat kondisi yang demikian itu , masygullah hati Sang Prabu. Sebagai raja yang bijak, pada suatu malam, dia pun akhirnya bermeditasi memohon petunjuk Sang Maha Kuasa. Dalam semedinya didapatkannya wangsit yang menyatakan bahwa sudah saatnya cahaya Majapahit memudar dan wahyu kedaton akan berpindah ke kerajaan Demak.Pada malam itu pulalah Sang Prabu dengan hanya disertai pemomongnya yang setia Sabdopalon diam-diam meninggalkan keraton dan melanglang praja dan pada akhirnya naik ke Puncak Lawu. Sebelum sampai di puncak, dia bertemu dengan dua orang kepala dusun yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Sebagai abdi dalem yang setia dua orang itu pun tak tega membiarkan tuannya begitu saja. Merekapun pergi bersama ke puncak Harga Dalem.

Saat itu Sang Prabu bertitah, "Wahai para abdiku yang setia sudah saatnya aku harus mundur, aku harus muksa dan meninggalkan dunia ramai ini. Dipa Menggala, karena kesetiaanmu kuangkat kau menjadi penguasa gunung Lawu dan membawahi semua mahluk gaib dengan wilayah ke barat hingga wilayah gunung Merapi/gunung Merbabu, ke timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan , dan ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Dan kepada Wangsa Menggala, kau kuangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kyai Jalak.

Tak kuasa menahan gejolak di hatinya, Sabdopalon pun memberanikan diri berkata kepada Sang Prabu: Bila demikian adanya hamba pun juga pamit berpisah dengan Sang Prabu, hamba akan naik ke Harga Dumiling dan meninggalkan Sang Prabu di sini.
Singkat cerita Sang Prabu Brawijaya pun muksa di Harga Dalem, dan Sabdopalon moksa di Harga Dumiling. Tinggalah Sunan Lawu Sang Penguasa gunung dan Kyai Jalak yang karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya kemudian menjadi mahluk gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Sang Prabu Brawijaya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_lawu)

Bengawan Solo

Bengawan Solo adalah sungai terpanjang di Pulau Jawa, Indonesia dengan dua hulu sungai yaitu dari daerah Pegunungan Kidul, Wonogiri dan Ponorogo, selanjutnya bermuara di daerah Gresik. "Bengawan" dalam bahasa Jawa berarti "sungai yang besar". Di masa lalu, sungai ini pernah dinamakan Wuluyu, Wulayu, dan Semanggi (dieja Semangy dalam naskah bahasa Belanda abad ke-17. Sungai ini panjangnya sekitar 548,53 km dan mengaliri dua provinsi yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kabupaten yang dilalui meliputi tiga bagian yaitu:

Aliran Bengawan Solo masa kini terbentuk kira-kira empat juta tahun yang lalu. Sebelumnya terdapat aliran sungai yang mengalir ke selatan, diduga dari hulu yang sama dengan sungai yang sekarang. Karena proses pengangkatan geologis akibat desakan lempeng Indo-Australia yang mendesak daratan Jawa, aliran sungai itu beralih ke utara. Pantai Sadeng di bagian tenggara Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal sebagai "muara" Bengawan Solo Purba.[6]

Sungai ini dikagumi masyarakat di seluruh dunia khususnya Jepang karena terinspirasi dari lagu keroncong karangan Gesang berjudul sama, Bengawan Solo. Selain itu tempat ini pernah menjadi tempat utama kecelakaan pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 421.

3 komentar:

  1. Sungguh bagus tulisan diatas, saya senang bisa membacanya. Dan jika saya boleh bertanta apakah BP.Harjoko mengenal Nama Parto Dinomo(Kakek Saya) yg dulu tinggalnya dekat Sta. Walukukun tepatnya disamping rumah Kakek saya ada Jl.Srimulyo.
    Terimakasih

    BalasHapus
  2. Nanti coba saya tanyakan ke bupuh saya Pak.

    BalasHapus
  3. Nanti coba saya tanyakan ke bupuh saya Pak.

    BalasHapus