Jumat, 01 April 2011

Anak Ketiga





Praja












Dea sudah mulai bersekolah di TK Sandy Putra di Jalan Radio. Dimas pun segera akan menyusul. Istriku ingin memiliki momongan lagi. Aku tentu senang mendengarnya. Allah pun mengabulkan keinginan kami, istriku mengandung anak ketiga.

17 Agustus 1994. Saat orang-orang ramai merayakan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 49, istriku merasa ingin melahirkan anak ketiga. Ia pun segera ke bidan Nonong dekat rumah kami. Usai waktu ashar, saat orang ramai berkumpul di lapangan volley untuk menyaksikan pertandingan, lahirlah anakku yang ketiga. Seorang laki-laki. Tubuhnya besar. Akupun menyuarakan adzan dan iqomat di telinganya. Hatiku merasa bahagia dan bersorak sorai, seperti para tetangga di lapangan.



Biaya persalinan di bidan Nonong tidaklah mahal, hanya sekitar Rp 100 ribu, tapi kami benar-benar tidak punya uang ketika itu, meskipun aku adalah seorang anggota DPRD II. Untunglah ada dik Yuni yang merelakan giwang miliknya untuk dijual di pasar Dangdeur dan dengan uang hasil penjualan itulah kami membayar biaya persalinan. (Dik Yuni pun merelakan keluar dari pekerjaannya di pabrik untuk mengasuh anak bungsuku itu, sambil ikut kursus menjahit dua kali dalam seminggu.)

Pada umur seminggu rambut anakku kami cukur dan kami timbang. Berat timbangan rambut anakku itulah sebagai pengukur membeli emas yang kami sedekahkan. Anak ketiga kami beri nama Muhammad Agustus Prajakusuma. Kami ingin ia berakhlaqul karimah seperti Rasulullah SAW, menjadi manusia mulia dan bunga dari nusa-bangsanya. Sehari-hari kami memanggilnya ade (adik), tapi ia tidak mau dipanggil ade, jadi kami semua memanggilnya Praja.

Kami semua tertawa jika melihat tubuh anak ketiga kami itu, hampir semua bagian tubuhnya menonjolkan dagingnya yang gemuk. Pipinya, perutnya, paha, kaki dan tangannya seperti roti tawar. Hingga kini, setiap kami melihat foto-fotonya sewaktu kecil kami tertawa.

Khitanan



Praja baru berusia satu atau dua tahun ketika dokter di RS Immanuel menyarankan agar dilakukan circumcision (khitan) padanya. Kamipun mengikuti saran tersebut, maka dikhitanlah Ade tanpa perencanaan atau persiapan terlebih dahulu.

Karena Ade sudah dikhitan, Dimas pun ingin dikhitan pula, karena itu kami membawanya ke RS Al Islam di Jalan Soekarno-Hatta. Sayang sekali tenaga medis di sana nampaknya belum begitu trampil mengkhitan sehingga Dimas meraung-raung kesakitan. Berbeda dengan Ade yang menginap satu atau dua hari di rumah sakit, Dimas pulang hari itu juga.



RS Al Islam












Sampai di rumah tetangga kiri kanan rumah berdatangan untuk nyecep (memberi angpau). Dimas senang sekali dan uang itu dibelikannya sepatu roda serta untuk berjalan-jalan ke Jogja bersama Dea diantar dik Wiwin. Ia senang sekali dapat memerah susu sapi setiap pagi, karena mbak Wiji yang dikunjunginya memelihara sapi perah beberapa ekor.





Istriku berinisiatif untuk membalas kebaikan mereka itu dengan memberi makanan ala kadarnya. Kamipun membuat duaratus kotak nasi dan laukpauk untuk dibagikan ke para tetangga. Seraya mengharapkan doa agar anak-anak kami yang telah dikhitan itu menjadi anak yang salih, berguna bagi nusa bangsa dan agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar