Sabtu, 23 April 2011

DALAM PUSARAN GELOMBANG POLITIK



Kwik Kian Gie






Mendirikan Litbang

Kwik Kian Gie membuat iklan di Kompas yang intinya menyatakan Balibang PDI menerima pendaftaran anggota Balitbang (Badang Penelitian dan Pengembangan). Tentu saja respon public sangat ramai ketika itu karena hal itu merupakan fenomena yang baru sekali itu terjadi di dalam dunia politik di Indonesia. Begitu banyaknya orang yang mendaftarkan diri sehingga Kwik membuat kebijakan untuk membuat Litbang di tingkap Provinsi.

Ferdi, Eka Santosa, Lamintang, Endang Karman, Idris Lubis, aku dan beberapaka kawan lain ikut membidani berdirinya Balitbang PDI Provinsi Jawa Barat yang diketuai Lamintang, seorang colonel polisi purnawirawan mantan kapolres Sukabumi. Kami pun secara rutin membuat diskusi-diskusi mengenai pelbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan politik.

Guru Kader
Menjelang konfercab partai Pak Abbas memintaku mendukung pencalonannya kembali sebagai ketu DPC. Aku dan Yadi Srimulyadi memfasilitasi pertemuan para Komcam/Korcam di RM Sukahati Cileunyi. Namun ketika konfercab berlangsung Pak Abbas tersingkir, Idih Sujana sekretaris DPC terpilih menjadi ketua. Yadi dimasukkan ke dalam komposisi pengurus DPC, sedangkan aku tidak.

Meskipun aku bukan pimpinan partai tapi Idih selalu memintaku membantunya dalam mengelola organisasi. Akupun diminta menyiapkan kaderisasi untuk para pengurus Komcam/Korcam. Maka akupun dan seorang guru di SMP Santa Maria Cimahi diminta membuat semacam kurikulum pengkaderan. Aku merancang suatu pola pengkaderan dengan pendekatan andragogi, dengan memberikan unsur-unsur permainan yang menyenangkan. Di samping itu akupun mengajar masalah ideology dan retorika.
Kaderisasi yang dilakukan DPC Kabupaten Bandung itu merupakan kaderisasi tingkat kabupaten satu-satunya di era Megawati, sebelumnya ada kaderisasi tingkat provinsi di Maluku. Mangara Siahaan nampaknya tidak begitu suka dengan kaderisasi yang kami selenggarakan.





Mangara Siahaan















Bertemu Megawati
Di awal kepemimpinannya Megawati mengunjungi Jawa Barat. Ketika musim penghujan, Bandung Selatan terutama daerah pesawahannya sering mengalami banjir. Aku dan Ferdi mencarikan tempat yang akan didatangi Megawati hingga ke Solokan Jeruk, Majalaya. Beberapa hari kemudian Megawati datang dan mengunjungi daerah banjir di Sapan untuk member bantuan beras. Dia didampingi Laksamana Sukardi, Mangara, Tarto Sudiro, Manggabararani, Noviantika dan kalau aku tidak salah ada pula Sophan Sopiaan.

Rombongan Megawati berupa iring-iringan kendaraan roda empat dan roda dua yang sangat panjang, berangkat dari kantor DPD PDI Jawa Barat di Jalan Soekarno Hatta melewati Dayeuhkolot, Ciparay, Majalaya dan tiba di Sapan menjelang tengah hari. Sepanjang jalan rakyat mengelu-elukan Megawati. Pada saat itu pula kami secara spontan mengkampanyekan Megawati sebagai calon presiden RI yang akan datang. Gayung bersamput. Dari Sapan rombongan berkonvoi ke Banjaran, Soreang, Cimahi, Parongpong dan berakhir di rumah Edi Junaedi di Lembang.



Stasiun KA Haurgeulis Indramayu










Sejak saat itu megawati mengunjungi tempat-tempat lain di Jawa Barat. Aku pernah mendampinginya ke Indramayu dan menjadi master of ceremony ketika Megawati bertemu masyarakat di Gelanggang Olah Raga Indramayu. Seluruh tempat duduk penuh bahkan banyak yang berdiri. Ruangan pun penuh asap rokok. Mangara memintaku agar hadirin tidak merokok, maka akupun meminta mereka untuk tidak merokok. Alhamdulillah mereka mau mengikuti imbauanku itu. Megawati pun berpidato dengan berapi-api disambut oleh tepuk tangan riuh rendah dari hadirin. Selesai berorasi Megawati mengunjungi kantor partai dan diterima di pendopo kabupaten oleh Bupati Indramayu Ope Mustopa yang ternyata teman sekolahnya di Perguruan Cikini. Partai pun kemudian memintaku untuk menjadi kordinator acara Konferda (Konferensi Daerah) partai tingkat Provinsi Jawa Barat.

Suatu ketika ada berita bahwa aku diminta untuk datang ke Kebagusan bertemu Megawati. Aku tidak tahu apakah atas prakarsa DPD atau Megawati, yang pasti aku memang berkunjung ke kediaman Megawati. Dari Bandung aku berangkat menuju Jakarta dengan menggunakan mobil dinas Tb Soewondo yang ketika itu adalah Wakil Ketua DPRD Kota Bandung, diapun ikut mengantarku. Rudi Harsa menunggu kami di pertokolah dekat terminal bus Baranang Siang Bogor. Dialah yang memandu perjalanan ke Kebagusan, kediaman Megawati. Itu pertama kali aku berkunjung ke rumah Megawati.

Ketika kami tiba di Kebagusan, Taufik Kiemas menerima kami di halamannya yang luas dan asri. Dia sedang berjalan-jalan di atas kerikil, mungkin untuk merangsang syaraf-syaraf pada kakinya. Ia tidak ikut bersama kami menemui Megawati di ruang tamu. Megawati sendirian saja, aku bersama Tb Suwondo dan Rudiharsa. Yang kuingat waktu itu Megawati menanyakan beberapa hal mengenai acara Konferda dan akupun memberikan penjelasan apa saja acara yang akan diselenggarakan. Aku terkesan dengan pertemuan itu karena menurutku Megawati seorang yang luwes yang dapat menerima pandangan dan saran dari orang lain. Pengalaman ini agak berbeda ketika aku dulu mendampingi Rachmawati dalam suatu kunjungannya ke Parung Sukabumi. Ketika itu aku memberi sambutan dan ketika kemudian Rachma berbicara dia langsung mengatakan bahwa pandanganku keliru. Pengalaman mendampingi Rachmawati dan bertemu Megawati memberiku pengalaman berharga mengenai kepribadian dua anak Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia yang sangat kuhormati.

Sejak saat itu aku sering sekali berkunjung ke kediaman Megawati bersama rombongan dari Jawa Barat. Megawati mulai menunjukkan kharismanya sebagai pemimpin partai politik, pemimpin perlawanan terhadap penguasa dan pemimpin rakyat sekaligus. Kehidupan seperti berputar lebih cepat dari biasanya. Megawati yang luwes dan kemayu berubah menjadi nampak garang di depan massa.

Turun Ke Jalan
Ketika legitimasi kepemimpinan partai yang dimiliki Megawati dinafikan pemerintah dengan pelbagai maneuver seperti membuat DPP tandingan dan menyelenggarakan Kongres untuk mengganti Megawati dengan orang pemerintah, kami sering berkumpul di Jalan Diponegoro untuk menunjukkan dukungan. Di sana diselenggarakan mimbar bebas yang diisi orasi dari orang-orang partai dan para aktivis maupun tokoh-tokoh nasional. Megawati sudah menjadi symbol penindasan dan symbol perlawanan terhadap Orde Baru. Dari jalan Diponegoro kami turun ke jalan menuju Depdagri atau monument nasional, lalu menyusuri Jalan Thamrin. Kadangkala aku menyimpan kendaraan di samping YLBHI dan ikut berkonvoi hingga Matraman. Awalnya demonstrasi berjalan damai, lama kelamaan aparatur pertahanan dan keamanan mulai bertindak represif hingga terjadi pemukulan seperti yang terjadi di Gambir.

Ketika itu pelbagai kekuatan partai dan gerakan yang melawan pemerintah bersatu padu, sehingga terbentuk aliansi yang dinamakan MARI (Majelis Rakyat Indonesia) dengan pelbagai tuntutan-tuntutannya.



Monumen Nasional














Kegiatan turun ke jalan berlanjut setelah peristiwa 27 Juli, Ketika beberapa anak muda yang bertahan di kantor partai justru diadili di Pengadilan Negeri. Biasanya kami berkumpul di depan Pengadilan dan berkonvoi ke Kebon Waru mengantar Yadi, Iwan dan Eman, Cece dan seorang kawan lagi yang aku lupa namanya ke rumah tahanan.

Peristiwa 27 Juli, Golput dan Mega Bintang











POLITIK Orde Baru sampai pada tahap pertahanan terakhirnya. PDI sudah berhasil dipecahbelah ke dalam beberapa kelompok. Yusuf Merukh membuat DPP Reshuffle menentang Megawati karena alasan keterlibatan pengurus partai dalam G30S/PKI. Puncak penentangan terhadap Megawati adalah ketika Fatimah Achmad dan konco-konconya menyelenggarakan Kongres PDI di Medan 20-23 Juni 1996. Soerjadi didudukkan kembali pada posisi sebagai Ketua Umum dan Butu Hutapea sebagai Sekretatis Jendral yang diakui legitimasinya oleh pemerintah tapi tidak oleh rakyat. Megawati mendapat dukungan yang semakin kuat dari arus bawah. Pada saat itu muncullah istilah PDI Megawati. Ini adalah masa yang tersulit dalam kehidupan politikku tapi juga yang paling menggairahkan.

Upaya Suharto menggulingkan Megawati berujung pada penyerbuan para “pendukung Kongres Medan” terhadap kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro. Peristiwa penyerbuan oleh aparat pemerintah itu berubah menjadi tragedi yang disebut Insiden Sabtu Kelabu atau Peristiwa 27 Juli 1966 yang merenggut ratusan nyawa para pendukung Megawati dari seluruh Indonesia, belum lagi ditambah yang hilang dan luka-luka. Penyerbuan tersebut diikuti oleh adanya kerusuhan dan huru-hara yang meluas di Jakarta, dalam bentuk pembakaran dan perusakan pertokoan, kantor dan mobil oleh massa yang anonym. Pemerintah menuding PRD yang diketuai Budiman Sudjatmiko berada di belakang kerusuhan tersebut, dan mencapnya sebagai gerakan kaum komunis.

Megawati mengadakan perlawanan terhadap pemerintah melalui jalur hukum. Tidak kurang dari 230 gugatan disampaikan ke pengadilan-pengadilan di seluruh Indonesia. Meskipun pada umumnya kalah di pengadilan, tapi Megawai berhasil memenangkan peperangan karena dukungan rakyat semakin meluas dan menguat. Megawati berhasil menarik konstituen baru yang tidak berafiliasi pada ideology tertentu, melainkan pada solidaritas hati nurani: kasihan, simpati dan budaya protes (Sumarno, 2002: 26).

Aku bersama teman-teman setiap hari berkeliling kabupaten Bandung, memelihara semangat perjuangan para kader dan anggota partai, dari satu kecamatan ke kecamatan lain, dari satu desa ke desa yang lain. Sebagai pengurus PDI Megawati modal kami hanya dukungan rakyat. Kami mengadakan pertemuan-pertemuan kecil di kampung-kampung di tengah alam pedesaan yang indah. Kadang di tengah persawahan, di pegunungan atau di tepi sungai. Seringkali kami bertemu selepas maghrib karena pada saat itulah para petani berada di rumah. Pertemuan bisa berlangsung sampai menjelang pagi, adakalanya didatangi aparatur pemerintah atau keamanan.

Pada umumnya pembicaraan dengan rakyat berkisar pada masalah organisasi, politik dan ekonomi. Masalah organisasi adalah bagaimana caranya mempertahankan jalannya perjuangan dengan organisasi yang tidak diakui pemerintah. Masalah politik adalah bagaimana mengakhiri rezim Orde Baru dan menggantinya dengan rezim yang demokratis dan berkeadilan sosial serta bagaimana memposisikan partai menghadapi Pemilu 1987, apakah harus memberikan suara pada partai lain, karena memberikan suara pada PDI Soerjadi sudah tidak mungkin. Masalah ekonomi adalah bagaimana mengatasi kesulitan kehidupan yang dirasakan semakin mencekik.

Keputusan ke mana suara rakyat menghadapi Pemilu 1987 nampaknya semakin jelas. Dari rumahnya di Kebagusan Jakarta Selatan, pada hari Kamis 22 Mei 1997 Megawati menyampaikan pidato yang menyatakah bahwa “hak politik saya sebagai warga negara tidak akan saya gunakan dalam Pemilu tanggal 29 Mei 1997”. Selanjutnya dia berkata “saya akan memegang dan menyimpan kartu kuning yang saya miliki dengan baik sebagai kesaksian kondisi demokrasi kita saat ini”.

Akibat pernyataan tersebut, para pendukung Megawati banyak yang memberikan suaranya ke PPP yang berlambang bintang, fenomena ini dikenal dengan Mega-Bintang, meski lebih banyak lagi yang tidak memilih atau golput (golongan putih). Akibatnya PDI Soerjadi hanya memperoleh suara 3,05% dan hanya memperoleh 11 kursi di DPR padahal pada pemilu 1987 PDI memperoleh suara 10,87% dan pemilu 1992 memperoleh suara 14,89%. Berkah dari fenomena Mega-Bintang PPP mendapat 22,6% suara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar