Kamis, 28 April 2011

Pulang Kampung Nih

SAMPAI memilik tiga orang anak dari perkawinan kami, seorang putri dan dua orang putra, kami belum pernah pulang ke kampung halamanku, tempat orang tuaku berasal. Biasanya Kami pulang ke Banjaran, Bandung, rumah orang tua istriku, terutama pada hari raya idul fitri atau pada saat libur sekolah. Kami tidak pulang ke Ngawi karena keluargaku sudah tinggal lagi di Ngawi, ibu bapak dan adik-adikku tinggal di Bandung, Bogor dan Jakarta. Untuk mengenalkan anak-anakku pada kampung halamanku, pada tahun 1997, kami memutuskan membawa anak-anak ke Ngawi. Saat itu Dea putriku sudah berumur 10 tahun, Dimas anak kedua sudah berumur delapan tahun dan Praja berumur tiga tahun.

Pada pagi hari kami sekeluarga berangkat meninggalkan Rancaekek, Bandung menuju Ngawi. Bersama kami ikut pula ibuku serta pak Tri dan kang Nandang, dua orang teman dekatku, dengan demikian aku tidak harus membawa sendiri kendaraan sejauh 700 kilometer. Nyatanya, selama perjalanan kang Nandanglah yang mengemudikan kendaraan pergi pulang. Kami melalui Ciamis, Banjar, Kebumen, Purworejo, Yogya, Klaten, Solo, Sragen dan tiba di Gendingan, Ngawi malam hari. Kami pun menginap di rumah bupuh Karsohutomo.



Stasiun Walikukun





Keesokan harinya istri dan anak-anak, ditemani kang Nandang dan pak Tri pergi ke pasar Walikukun. Mereka senang sekali karena suasana pasar sangat bersahaja tapi nyaman, barang-barangnya terbatas dan kebanyakan berasal dari desa-desa sekitar. Ikan sungai (disebut wader) dijual dengan cara dirangkai pada bilah bamboo dan dibakar, rasanya enak dan harganya murah. Teman-temanku bergurau, kata mereka jika tinggal di Ngawi bisa punya istri dua karena harga-harga makanan murah meriah. Ha ha ha. Ikan sungai itu oleh bupuh dibuat menjadi garang asem, yaitu dimasak dalam bentuk pepesan dibumbui belimbing wuluh sehingga rasanya menjadi segar. Kamipun makan nikmat sekali di beranda belakang rumah beralaskan tikar.

Di Ngawi kami sempat berjalan-jalan ke museum fosil di Trinil (Trinil is a palaeoanthropological site on the banks of the Bengawan Solo River in Ngawi Regency, East Java Province, Indonesia. It was at this site in 1891 that the Dutch anatomist Eugène Dubois discovered the first early hominid remains to be found outside of Europe: the famous "Java Man" specimen) yang terletak di pinggiran Bengawan Solo, kemudian melihat reco Banteng, dan menikmati sate di daerah Banaran. Sate kambing Banaran sangat terkenal kelezatannya. Pedagang sate dan soto berderet-deret sepanjang jalan nasional antara Banaran dan Mantingan. Banaran adalah sebuah tempat di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang masuk ke wilayah kabupaten Sragen, sedangkan Mantingan adalah pintu gerbang memasuki Jawa Timur yang masuk wilayah kabupaten Ngawi. Malam itu kami mengajak bupuh dan keluarganya menikmati sate Banaran. Anak-anakku pun senang karena rumah makannya adalah sebuah rumah limasan berkayu jati dengan arsitektur khas Jawa Tengah dan Timur. Suasananya tidak dapat ditemukan di tempat lain. Suasana Jawa yang membuat kita merasa seperti di rumah sendiri.

Aku mengajak keluargaku ke Tulakan, desa dari mana keluarga ayahku berasal. Di desa inilah asal-usul keluarga Rono. Mbah buyut Rono memiliki beberapa anak, dan salah satunya adalah Prawirorejo, ayah dari ayahku. Kami berziarah ke makam mbah kakung dan mbah putri. Tidak lupa mengunjungi bude-budeku dan mbah-mbahku yang masih ada. Anak-anakku terkesan dengan kunjungan ini karena hampir satu kampung adalah saudara-saudara mereka semua, jika bertemu mbah-mbah atau bude-bude selalu menciumi anak-anakku. Memang sungguh menyentuh hati.

Akupun mengajak keluargaku berkeliling gunung Lawu. Kami berangkat dari Gendingan menuju Magetan, singgah di rumah bupuh Mulyono. Dari sana kami terus menuju Sarangan. Di Sarangan aku mengajak anak-anakku naik kuda berkeliling telaga, kemudian mengajak ibu, istri, bupuh dan teman-temanku berkeliling telaga dengan menggunakan dua buah speedboat. Udara gunung Lawu yang segar membuat kegiatan ber-speedboat sangat mengasyikkan. Air telaga Sarangan yang jernih dan biru, gunung yang biru, langit biru, semuanya mendekatkan kami pada alam yang indah dan mengingatkan kami pada kemahabesaran Allah Swt. Subhanallah. Setelah puas berperahu, kami melepas lelah sambil menikmati sate kelinci. Sate kelinci adalah makanan khas yang dijual para pedagang di Sarangan. Rasanya seperti sate ayam.



Telaga Sarangan











Setelah zuhur kami melanjutkan perjalanan ke Cemorosewu, yang merupakan perbatasan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah, sekaligus pintu masuk ke puncak Gunung Lawu. Perjalanan sangat mengasyikkan karena melalui hutan yang lebat dan jalan yang menanjak berkelok-kelok diselingi kabut. Kang Nandang harus mengerahkan seluruh kemampuannya mengemudi karena kendaraan yang kami kendarai adalah mobil Kijang tua buatan tahun 1988. Alhamdulillah kami akhirnya bisa sampai juga di Tawangmangu.



Grojogan Sewu







Tawangmangu adalah tempat wisata terkenal di gunung Lawu, yang masuk wilayah kabupaten Karanganyar provinsi Jawa Tengah. Jikalau kita menggemari lagu-lagu kroncong maka kita akan menemukan sebuah lagu yang berjudul Tawangmangu, juga Telaga Sarangan. Tempat-tempat itu memang sudah terkenal sejak zaman colonial. Hingga kini Tawangmangu masih memiliki pesonanya, dan yang terkenal adalah air terjun Grojogan Sewu. Kita harus menuruni ratusan anak tangga untuk mencapainya. Kami semua pun menuruni anak tangga itu. Bupuh dan ibuku pun ingin melihat Gorojogan Sewu, sehingga mereka pun harus berjuang untuk menuruni ratusan anak tangga.Gorojogan Sewu adalah air terjun yang terkenal keindahannya. Dea dan Dimas pun menceburkan diri di sungai merasakan sejuknya air terjun. Agak lama kami di sana, baru menjelang sore kami meninggalkan Tawangmangu.



Candi Sukuh







Tujuan kami berikutnya adalah Candi Sukuh. Situs candi Sukuh dilaporkan pertama kali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada tahun 1928. Sama halnya dengan Telaga Sarangan dan Gorojogan Sewu, Candi Sukuh pun terletak di lereng Gunung Lawu. Candi Sukuh merupakan peninggalan Hindu dari kerajaan Majapahit. Bentuk bangunannya unik, tidak seperti candi-candi lain, candi Sukuh berbentuk trapesium seperti bangunan peninggalan orang-orang Indian di benua Amerika. Sayang sekali ketika kami tiba, hari sudah mulai gelap.

Malam hari kami tiba di Solo, melihat gerebek di Keraton Kasunanan. Setelah berkeliling dengan menggunakan kereta-keretaan kami pun pulang. Sehari itu kami berkeliling Gunung Lawu. Dulu di tahun 1977 aku mengelilinginya dengan berjalan kaki. Kini aku mengajak anak-anakku berkeliling dengan mengendarai kendaraan roda empat.

Esok harinya kami meninggalkan Ngawi kembali ke Bandung. Sambil lewat, kami mengunjungi museum fosil di Sangiran yang seperti Trinil juga terletak di sekitar Bengawan Solo. Kondisi Museum Sangiran yang masuk wilayah Sragen jauh lebih baik dari museum fosil Trinil di Ngawi. Keduanya museum itu menjadi bukti ditemukannya fosil manusia Jawa yang hidup dan berevolusi di sekitar Bengawan Solo. Selain fosil-fosil manusia, ditemukan pula fosil binatang-binatang di zaman purba dengan ukuran yang jauh lebih besar dari yang biasa kita lihat sekarang ini. Sayang sekali masyarakat sekitar museum masih hidup dalam kemiskinan sehingga fosi-fosil yang memiliki nilai historis dan ilmiah banyak dijual ke para pedagang internasional.



Phitecanthropus Erectus







(Sangiran is an archaeological excavation site on the island of Java in Indonesia. The area comprises about 48 km² and is located in Central Java, about 15 kilometers north of Surakarta in the Solo River valley. In 1996 it was accepted as World Heritage by the UNESCO.In 1934 the anthropologist Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald started to examine the area. During excavations in the next years fossils of some of the first known human ancestors, Pithecanthropus erectus ("Java Man", now reclassified as part of the species Homo erectus), were found here. About 60 more human fossils, among them the enigmatic "Meganthropus", have since been found here. In addition, there are considerable numbers of remains of the animals that these primitive humans hunted, and of others that merely shared the habitat)

Di Solo kami makan siang di rumah makan tradisional yang menyajikan makanan daerah seperti pecel, soto dan lain-lain. Tidak lupa dengan segelas teh manis sebagai penutupnya sebagaimana tradisi yang ada di sana. Kami semua meminta porsi kedua karena nikmatnya dan karena porsi makan di rumah makan itu memang kecil bagi ukuran perut kami.

Dalam perjalanan ke Yogyakarta melalui Klaten, kami menyempatkan singgah di Candi Prambanan. Ketika itu saat ashar. Matahari sudah mendekati ufuk barat langit. Udara mulai beranjak sejuk membuat berjalan-jalan di antara bangunan candi menjadi sangat menyenangkan dan menimbulkan sensasi yang luar biasa. Bayang-bayang candi menambah suasana demikian mengesankan. Satu persatu bangunan candi kami datangi. Kami benar-benar takjub pada arsitekturnya, pada detil relief dan penataan batu-batu yang begitu mempesona. Anak-anakku pun berpose di antara bangunan candi, tak lupa kami pun berfoto sekeluarga. Sampai sekarang aku masih saja terkesan jika melihat foto itu di album, candi prambanan di latar belakang serta bayang-bayang di latar depan, dengan cahaya yang terang damai, sungguh sebuah kenangan yang sulit dilupakan.
Cukup lama kami di Prambanan, memberi kesempatan buat anak-anakku bermain, berlari di halaman yang luas, bermain kursi gantung dan permainan lainnya yang tersedia. Setelah puas bermain barulah kami melanjutkan perjalanan.

Menjelang isya kami tiba di Yogyakarta. Inilah acara penutup perjalanan kami, yaitu berjalan-jalan sepanjang Malioboro, membeli cinderamata ala kadarnya dan makan di lesehan, nasi gudeg dan burung dara goreng. Gudeg adalah sayur yang terbuat dari nangka muda yang diolah dalam kuali dari tanah dan didiamkan selama beberapa hari. Biasanya disajikan dengan sepotong ayam, kerecek, tempe bacem dan telur ayam rebus.

Nasi Gudeg










Malam itu kami langsung pulang ke Bandung. Kang Nandang melarikan mobil dengan kecepatan maksimal. Harus kuakui dia memang pengemudi yang handal dan idola keluarga kami. Lepas tengah malam kami istirahat sebentar di Sidareja untuk sekedar minum kopi. Menjelang subuh kami sampai di rumah. Alhamdulillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar