Jumat, 29 April 2011

WONOSOBO



Gunung Sumbing





SEINGATKU sudah tiga kali atau lebih aku ke kota Wonosobo. Kota di dataran tinggi yang berada di antara Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro ini merupakan kota yang berudara sejuk bahkan cenderung dingin. Kota yang bersih dengan alun-alun yang luas dan pasar yang ramai.



Gunung Sindoro








Pertama kali aku ke Wonosobo sekitar tahun 1979. Aku ke sana bersama Ribut teman sekelasku di SMEA PPS. Kami hiking dari Ngrambe (Ngawi) melalui Solo, Yogya dan Magelang, menginap di sebuah mesjid tua di Yogya lalu berjalan ke Sleman dan berziarah di makam dr Wahidin Sudirohusodo. Dari Sleman kami ke Magelang melalui kota kecil Muntilan yang ramai dan ramah. Magelang di pagi hari merupakan tempat yang nyaman untuk berjalan kaki. Gedung-gedung tua dengan pepohonan yang rindang sungguh pemandangan yang mengasyikkan untuk dinikmati. Dari Magelang kami melalui Secang, Parakan dan Temanggung yang berada di lereng pegunungan. Pohon tembakau seluas mata memandang. Kota begitu indah bersih sejuk dan nyaman. Gunung Sumbing dan Sindoro nampak biru dan megah. Subhanallah. Menjelang sore kami sampai di Wonosobo dan berkunjung ke rumah pakpuh Ariesman di daerah Sapen.Udara gunung menyergap kami. Air dari pegunungan yang begitu dingin mengalir deras dan menyegarkan. Mandi menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Inilah pertama kali kami merasakan mandi di Wonosobo. Begitu dinginnya ketika itu sehingga orang menjual minyak klentik (minyak yang dibuat dari santan kelapa) dengan cara memotong-motongnya karena minyak yang cair telah menjadi bekuan.

Keesokan harinya kami pergi ke dataran tinggi Dieng yang merupakan sebuah plateau. Dieng plateau merupakan perbatasan dari tiga kabupaten selain Wonosobo. Perjalanan menuju Dieng menanjak dengan kebun sayur di kiri kanan jalan. Para petani bekerja dengan masih menutupi bagian tubuhnya dengan sarung. Menjelang tengah hari kami pun sampai. Dataran tinggi Dieng seperti sebuah kerajaan tua di pegunungan. Candi-candi berserakan di antara padang rumput, kawah gunung berapai yang mengepulkan asap serta telaga warna. Warna air telaga ada yang merah, biru, hijau, putih susu dan coklat. Kami terperangkap dalam ketakjuban. Allah menciptakan alam demikian indah dan nenek moyang kami menghargainya dengan membuat cand-candi yang megah tempat mereka bersembahnyang memuja Nya.

Sekitar tahun 1993 aku berkunjung lagi ke Wonosobo. Kali ini dengan keluargaku (anak ketiga kami belum lahir) dan keluarga mas Tarno. Kami menggunakan mobil pinjaman dari kantor karena mendadak ada berita pakpuh Ariesman sakit. Bersama kami ikut pula mang Eman adik pakpuh Ariesman. Kami tiba di Wonosobo tengah malam dan langsung tidur. Itu adalah pertemuanku yang terakhir dengan pakpuh Ariesman, karena tidak lama kemudian pakpuh meninggal dunia.

Pakpuh Aries, demikian kami memanggilnya adalah orang Cipatik Soreang yang pada masa revolusi melakukan long march ke Yogya karena Jawa Barat harus dikosongkan dari tentara Siliwangi. Singkat cerita pakpuh sampai ke Ngawi dan bertemu dengan bupuh kemudian menikah dan pindah ke Wonosobo untuk berbisnis pencelupan. Ketika industry tekstil berkembang, pencelupan tidak diperlukan lagi maka usaha pakpuh pun gulung tikar. Di akhir hayatnya dia mengandalkan penghasilan dari uang pension sebagai Veteran Kemerdekaan RI. Aku cukup dekat dengannya dan dia pernah menyarankan aku menjadi seorang polisi, tapi ayahku tidak mendukung. Ayahku ingin aku menjadi seorang dosen atau mentri. Kini aku telah menjadi seorang dosen tapi belum menjadi seorang mentri karena belum ada seorang pun presiden yang menelponku ketika mereka menyusun cabinet.

Sekali lagi aku ke Wonosobo di sekitar tahun 1998. Ketika itu aku diajak pak Mul tetanggaku mengunjungi rumahnya di Banjarnegara. Ia menunjukkan kolam-kolam budi daya ikan air tawar yang dikelola keluarganya dan mengajakku berbisnis perikanan. Ketika itu aku mengajak pak Mul mengunjungi keluarga bupuh Ariesman di Wonosobo. Kamipun berkunjung ke keluarga mbak Ninik (anak bupuh) yang bersama suaminya (Wasis) membuat toko di depan terminal bus Sapen. Mas Wasis orang yang pandai berbisnis. Ada saja usahanya mulai dari berkebun kelapa sawit, jual beli kayu, membuat toko, mengontrakkan rumah dll. di samping bekerja sebagai pelaut internasional. Terminal Sapen kemudian ditutup karena pemda membuat terminal di tempat lain. Toko dan rumah mas Wasis pun dijual, mereka sekeluarga kemudian tinggal di Yogya. Sekarang di Wonosobo tinggal ada mas Har (anak tertua bupuh).

Pada kunjunganku ke Wonosobo itu aku menyempatkan diri menjumpai pakpuh Sukar (no). pakpuh Sukar adalah kakak bupuh Ariesman yang selama ini kutahu berprofesi sebagai supir bus antar kota. Belakangan ia tidak begitu kuat lagi sehingga beralih menjadi supir pribadi seseorang. Ia menikah di usia tua dan tidak memiliki anak kandung sampai sekarang. Belakangan ia tinggal di sebuah desa di Salam yang masuk wilayah Magelang.

Inilah selayang pandang tentang Wonosobo dan Dieng

Kabupaten Wonosobo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas



Lambang Kabupaten Wonosobo




Kabupaten Wonosobo, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Wonosobo. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Magelang di timur, Kabupaten Purworejo di selatan, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Banjarnegara di barat, serta Kabupaten Batang dan Kabupaten Kendal di utara.
Kabupaten Wonosobo berdiri 24 Juli 1825 sebagai kabupaten di bawah Kesultanan Yogyakarta seusai pertempuran dalam Perang Diponegoro. Kyai Moh. Ngampah, yang membantu Diponegoro, diangkat sebagai bupati pertama dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Setjonegoro.

Geografi

Sebagian besar wilayah Kabupaten Wonosobo adalah daerah pegunungan. Bagian timur (perbatasan dengan Kabupaten Temanggung) terdapat dua gunung berapi: Gunung Sindoro (3.136 meter) dan Gunung Sumbing (3.371 meter). Daerah utara merupakan bagian dari Dataran Tinggi Dieng, dengan puncaknya Gunung Prahu (2.565 meter). Di sebelah selatan, terdapat Waduk Wadaslintang.



Peta Wonosobo






Ibukota Kabupaten Wonosobo berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten, yang merupakan daerah hulu Kali Serayu. Wonosobo dilintasi jalan provinsi yang menghubungkan Semarang-

Pembagian administratif
Kabupaten Wonosobo terdiri atas 15 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Wonosobo.

Etimologi

Kata Wonosobo berasal dari bahasa Jawa: Wanasaba, yang secara harafiah berarti: "tempat berkumpul di hutan". Bahasa Jawa sendiri mengambilnya dari Bahasa Sansekerta: vanasabhā yang artinya kurang lebih sama. Kedua kata ini juga dikenal sebagai dua buku dari Mahabharata: "Sabhaparwa" dan "Wanaparwa".
Kawasan Wisata Dieng: terletak di kecamatan kejajar.Berjarak 26 km dari kota Wonosobo,Dieng adalah pegunungan yang sangat menarik dan menawan.banyak turis-turis yg singgah disana.suhu udaranya amat dingin mencapai 18 'C pada siang hari dan 13 'C Pada malam hari.

Dieng

Dieng adalah dataran tinggi di Jawa Tengah, yang masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Letaknya berada di sebelah barat kompleks Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

Dieng adalah wilayah vulkanik aktif dan dapat dikatakan merupakan gunung api raksasa. Kawah-kawah kepundan banyak dijumpai di sana. Ketinggian rata-rata adalah sekitar 2.000m di atas permukaan laut. Suhu di Dieng sejuk mendekati dingin, berkisar 15—20 °C di siang hari dan 10 °C di malam hari. Pada musim kemarau (Juli dan Agustus), suhu udara kadang-kadang dapat mencapai 0 °C di pagi hari dan memunculkan embun beku yang oleh penduduk setempat disebut bun upas ("embun racun") karena menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian.

Secara administrasi, Dieng mencakup Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara dan Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Hingga tahun 1990-an wilayah ini tidak terjangkau listrik dan merupakan salah satu wilayah paling terpencil di Jawa Tengah.



Candi Arjuna, Dieng






Nama Dieng berasal dari gabungan dua kata Bahasa Kawi: "di" yang berarti "tempat" atau "gunung" dan "Hyang" yang bermakna (Dewa). Dengan demikian, Dieng berarti daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam. Nama Dieng berasal dari bahasa Sunda karena diperkirakan pada masa pra-Medang sekitar tahun 600 Masehi daerah itu berada dalam
Dataran tinggi Dieng (DTD) adalah dataran dengan aktivitas vulkanik di bawah permukaannya, seperti Yellowstone ataupun Dataran Tinggi Tengger. Sesungguhnya ia adalah kaldera dengan gunung-gunung di sekitarnya sebagai tepinya. Terdapat banyak kawah sebagai tempat keluarnya gas, uap air dan berbagai material vulkanik lainnya. Keadaan ini sangat berbahaya bagi penduduk yang menghuni wilayah itu, terbukti dengan adanya bencana letusan gas Kawah Sinila 1979. Tidak hanya gas beracun, tetapi juga dapat dimungkinkan terjadi gempa bumi, letusan lumpur, tanah longsor dan banjir.
Selain kawah, terdapat pula danau-danau vulkanik yang berisi air bercampur belerang sehingga memiliki warna khas kuning kehijauan.

Secara biologi, aktivitas vulkanik di Dieng menarik karena ditemukan di air-air panas di dekat kawah beberapa spesies bakteri termofilik ("suka panas") yang dapat dipakai untuk menyingkap kehidupan awal di bumi.

Tokoh-tokoh
• Letjend. S. Parman adalah salah satu dari pahlawan revolusi.

Organisasi Pecinta Alam
Banyak sekali Organisasi Pecinta Alam di Wonosobo, salah satunya ENW (Expediton Natural Wonosobo) yang berdiri pada tahun 2001, ENW sering melakukan kegiatan aksi sosial di bidang pelestarian lingkungan alam seperti kegiatan Penghijauan dll. Pada mulanya berdirinya ENW dilatar belakangi atas keprihatinan keadaan alam di Wonosobo yang mulai memburuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar