Senin, 02 Mei 2011

Samarinda



Mesjid di Tepi Sungai Mahakam










PENGALAMAN menyebrang ke Pulau Kalimantan terjadi tahun 1986. Ketika itu GMNI mengadakan kongres di Samarinda. Aku diajak oleh Yayat Sumitra yang menjadi ketua GMNI Kota Bandung untuk ikut ke kongres sebagai peninjau.

Seingatku kami dari Bandung menginap terlebih dahulu di Jakarta. Aku lupa apakah di rumah Sudirman Kadir atau Kristiya Kartika. Keesokan harinya kami berangkat dari Jakarta menuju Balikpapan dengan menggunakan pesawat Bouraq dengan transit terlebih dahulu di bandara Syamsudin Noor Banjarmasin sekitar 15 atau 30 menit. Dengan demikian kota Banjarmasin adalah kota pertama yang kuinjak di Kalimantan. Sebenarnya tidak tepat benar dikatakan sebagai Banjarmasin, karena belakangan aku tahu bahwa bandara berada di kota Banjarbaru, setengah jam perjalanan dari Banjarmasin, ibukota Kalimantan Selatan . Dari bandara Syamsudin Noor kami melanjutkan perjalanan ke Balikpapan. Untuk mencapai Samarinda yang merupakan ibukota Kalimantan Timur, ada dua cara, menggunakan pesawat terbang atau menggunakan bus. Ketika itu kami menggunakan pesawat Twin Otter yang lebih mirip seperti perahu terbang karena ukurannya kecil sehingga di dalam pesawat tidak ada sela-sela di tengah pesawat tempat orang lewat. Pesawatpun tidak bisa terlalu tinggi naik ke udara, sehingga nampak seperti di atas ketinggian pohon kelapa. Perbedaan tekanan udara sekecil apapun terasa oleh penumpang, turbulensi menyebabkanku seperti naik komidi putar ombak banyu. Menjelang tengah hari kami sampai di Samarinda. Suasananya lebih mirip di terminal bus ketimbang bandara. Di sinilah aku benar-benar merasakan adanya ketimpangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa.

Sungai adalah jantung kota Samarinda. Kehidupan berputar di sungai Mahakam. Ketika itu belum ada jembatan yang menghubungan bagian kota yang satu dengan bagian yang lain sehingga perahu bermotor merupakan sarana satu-satunya bagi penduduk kota untuk bergerak dari satu tepian ke tepian lainnya. Aku senang berada di tepian sungai yang begitu besar dan deras arusnya itu, menyaksikan hiruk pikuk kehidupan di sungai. Kapal-kapal besar menarik tongkang berisi kayu gelondongan atau batubara. Di sebrang sana orang-orang Bugis menenun sarung yang dikenal dengan sebutan sarung Samarinda.
Samarinda memiliki budaya yang sangat kaya, karena terbentuk dari perpaduan budaya pelbagai suku seperti Daya, Melayu, Bugis, Jawa, Cina dan suku-suku lain. Daya pun memiliki pelbagai sub budaya yang masing-masing memiliki kekhasan. Sayangnya suku Daya memang mengalami masalah dengan kebudayaan mereka karena habitat tempat mereka hidup terganggu oleh eksploitasi dari para pengusaha yang tidak memiliki wawasan luas mengenai kehidupan.

Kongres GMNI dibuka di Lamin Etam, yaitu kantor Gubernur Kaltim. Lamin Etam adalah bahasa Daya yang berarti Rumah Kita. Setelah pembukaan kami kembali ke sebuah Rumah Panti Asuhan tempat Kongres diselenggarakan. Panti Asuhan itu juga sekaligus tempat kami menginap selama kami di Samarinda. Di panti asuhan yang hampir 90% bangunannya terbuat dari kayu itu kami berkumpul dengan para mahasiswa dari seluruh kampus dari seluruh Indonesia. Kongres berjalan beberapa hari dari pagi hingga tengah malam, yang selain membicarakan masalah organisasi juga membicarakan masalah politik dan ideology. Ideology yang dibahas tentunya adalah ideology Pancasila karena sejak tahun 1985 semua organisasi kemasyarakatan dan organisasi politik di Indonesia diharuskan menggunakan asas tunggal yaitu Pancasila. Pembicara mengenai Pancasila datang dari Depdagri. Kongres berakhir dengan memilih ketua formatur untuk presidium yaitu Kristiya Kartika, tapi nama-nama presidium ditentukan kemudian di Jakarta.

Di sela-sela kongres kami melihat industry di Samarinda. Pabrik-pabrik pengelohan kayu yang memproses kayu menjadi plywood bertebaran di sepanjang sungai. Sebuah kayu berdiamater satu atau dua meter bisa habis dikupas dalam beberapa menit saja. Tidak heran jika kayu di hutan Kalimantan bekurang dengan deret ukur. Pembangunan ketika itu belum menyadari arti penting menjaga ekosistem, sehingga hutan dibabat dengan cepat untuk alasan ekonomi semata-mata. Itulah dosa-dosa Orde Baru di bidang lingkunga hidup yang tak mungkin bisa dimaafkan.

Kamipun menyempatkan waktu pergi menyusuri sungai Mahakam kearah hulu, ke kerajaan Kutai Kertanegara yang berada di Tenggarong. Istananya berada di tepi sungai Mahakam. Ini bukanlah Kutai Hindu yang berdiri di abad ke-empat, tapi Kutai modern yang Islam. Istananya bergaya Eropa, masih nampak megah hingga saat itu. Di belakang keraton terdapat pemakaman raja-raja Kutai lengkap dengan silsilahnya. Koleksi istana masih cukup lengkap sehingga dijadikan museum. Belakangan raja Kutai dinobatkan kembali sebagai upaya memelihara warisan sejarah dan budaya Kutai.

Peristiwa yang tak dapat kulupakan adalah adanya kebakaran besar di Samarinda ketika itu. Kebakaran terjadi di malam hari dan melumatkan rumah-rumah kayu dengan lahapnya. Sebagai daerah produsen kayu hutan maka rumah-rumah di Samarinda pada umumnya memang terbuat dari kayu kualitas terbaik. Kayu-kayu itu dipancangkan di tepi-tepi sungai karena penduduk di sana hidup di pinggiran sungai. Kayu besi namanya, semakin lama berada di air sungai semakin kuat saja. Tapi api adalah lawan yang tangguh. Kebakaranpun membumihanguskan bangunan-bangunan indah kota Samarinda.

Ketika itu ada karya arsitektur di kota Samarinda yang memperoleh Agha Khan Award yaitu Citra Niaga yang merupakan pasar modern di Samarinda. Arsiteknya orang Indonesia. Sayang Citra Niaga pun mengalami kebakaran. Itu menunjukkan bahwa kota Samarinda, seperti halnya kota-kota lain di Indonesia belum memperhatikan unsur keselamatan. Sarana pemadam kebakaran sangat terbatas. Hidran di tepi jalan kadangkala tidak berfungsi.

Kini Samarinda telah memiliki dua buah jembatan di atas sungai Mahakam. Selain itu juga memiliki kompleks gelanggang olah raga yang luas dan megah dengan stadion utama yang cukup modern. GOR tersebut terletak di luar kota, dibangun di antara bukit-bukit batubara muda. Ketika GOR dibangun aku sempat kesana, ketika itu Samarinda menyiapkan diri untuk melaksanakan PON.

Aku sempat bertanya mengenai arti Samarinda. Seorang pemandu mengatakan Samarinda berasal dari kata samar dan indah. Ya memang keindahan kota nampak samar-samar indah jika kita lihat dari sebrang sungai Mahakam. namun ada pula yang mengatakan samarinda adalah berkaitan dengan rumah kediaman orang Bugis yang sama rendah, seperti termuat pada tulisan di wikipedia the free encyclopedia berikut ini :

Samarinda
From Wikipedia, the free encyclopedia

Samarinda is the capital of the Indonesian province of East Kalimantan (Kalimantan Timur) on the island of Borneo. The city lies on the banks of the Mahakam River. As well as being the capital, Samarinda is also the most populous city in East Kalimantan with a population of 726.223. Although it has status as the capital of East Kalimantan Province, some government institutions are located in Balikpapan, such as Police, Indonesian Army District VI of Tanjung Pura, and Pelabuhan Indonesia (Port Transportation). Samarinda is known for its traditional food amplang, as well as the cloth sarung samarinda. The city also has a bridge connecting its river banks, Mahakam Bridge. The city center is on one side and the other side is named Samarinda Seberang.

The name Samarinda originates from the description of the way in which the Bugis houses were constructed. At that time houses were customarily built on a raft and generally had the same height. This provided important social symbolism of equality between residents; no person's house, and thus no person, was seen as higher or lower than another. They named the settlement 'Samarenda', meaning 'equal in height'. After hundreds of years of use the pronunciation of the name changed slightly and the city became known as Samarinda.

History
When the Gowa War began, the Dutch under Admiral Speelman's command attacked Makassar from the sea. Meanwhile, the Netherlands' local ally Arung Palaka led a ground attack. The Kingdom of Gowa was forced to surrender and Sultan Hassanudin made to sign the Bongaya Treaty on November 19, 1667.

The treaty did not quell all trouble for the Dutch however, since the Bugis from Gowa continued their struggle using guerilla tactics. Some Buginese moved to other islands close by such as Kalimantan. A few thousand people led by Lamohang Daeng Mangkona or Pua Ado I, moved to East Kalimantan, known then as Kutai, where they were welcomed by the local Sultan.

The Sultan of Kutai gave the migrants land in Kampung Melantai around the Karang Mumus River, now known as Kampung Selili, where established farms and fisheries. In payment, the Bugis people promised to help the Sultan defend Kutai whenever needed.
The arrival of the first Bugis on 21 January 1668 was chosen to mark the city's anniversary.

In 1955, the Apostolic Vicariate of Samarinda was established in the city. In 1961, it was promoted as the Diocese of Samarinda. In 2003, the diocese was promoted as the Metropolitan Archdiocese of Samarinda.

The name Samarinda originates from the description of the way in which the Bugis houses were constructed. At that time houses were customarily built on a raft and generally had the same height. This provided important social symbolism of equality between residents; no person's house, and thus no person, was seen as higher or lower than another. They named the settlement 'Samarenda', meaning 'equal in height'. After hundreds of years of use the pronunciation of the name changed slightly and the city became known as Samarinda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar