Senin, 22 Agustus 2011

Menangis di Sidang Paripurna



Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat
terletak di samping Gedung Sate







Ketika aku menjadi anggota Dewan, DPRD Provinsi Jawa Barat diketuai Eka Santosa yang kukenal sejak menjadi anggota GMNI di tahun 80-an dan bersama-sama dengan Lamintang dan Ferdi menjadi pengurus Balitbang PDI Jawa Barat di era Kwik Kian Gie. Eka menggantikan Idin Rafiudin yang dikenal dengan Kang Idin. Kang Idin meninggal belum lama setelah menjadi Ketua DPRD. Sebelumnya dia bergiat sebagai konsultan rekayasa pengairan. Bersama Kang Idin, Syamsudin, Ferdi dan Ketus Sustiawan aku pernah bergiat dalam Lembaga Pengabdian Masyarakat untuk membantu memberikan sentuhan sosial pada PDI Perjuangan. Di samping itu kami pun mencari dana untuk menghidupi Partai. belakangan baru aku tahu bahwa Taufik Kiemas menjagokannya untuk menjadi Ketua DPD sekaligus sebagai Gubernur Jawa Barat.

Sebuah surat dari Fraksi PDI Perjuangan ke Pimpinan Dewan menempatkanku di Komisi F yang membidangi masalah energy, yang ketika itu diketuai Irfan Anshory dari PAN. Aku sempat berada di sana beberapa bulan dan menerima protes-protes masyarakat berkaitan dengan menara listrik tegangan tinggi milik PLN yang dinilai mengganggu warga. Namun belum juga tuntas masalah tersebut ditangani aku dipindah ke Komisi A yang membidangai bidang pemerintahan dan politik. Rahadi dan kemudian Sutardi yang menjadi ketuanya. Sejak Di komisi A ini aku tak lagi dipindahkan ke komisi lain hingga masa bakti DPRD 1999-2004 berakhir. Hanya ada beberapa tugas tambahan yang menurutku cukup berat yaitu menjadi anggota Panitia Anggaran yang menyusun dan mengawasi APBD dan menjadi Ketua Pansus Ranperda tentang Program Pembangunan Daerah, Rencana Umum Tata Ruang Provinsi Jawa Barat serta Ranperda tentang kelistrikan daerah.

Sebagai anggota Panitia Anggaran aku mempunyai kesempatan untuk melihat pembangunan daerah secara holistic dan mengenal semua pejabat daerah mulai dari Gubernur. Wakil Gubernur, Sekda, Asisten, Kepala Biro, Kepala Dinas, Kepala Badan, Kepala Bakorwil ,para kepala UPTD seperti Rumah Sakit hingga para pelaksana lapangan. Di sinilah aku menyadari bahwa seberapa pun besar APBD tidak akan banyak berarti jika tidak ada prioritas dan pemihakan . prioritas diperlukan karena banyaknya program membuat pembangunan menjadi tidak fokus. Pemihakan diperlukan agar anggaran benar-benar menjadi alat untuk menciptakan kesejahteraan khususnya bagi masyarakat yang tidak mampu.

Posisi sebagai ketua Pansus membuatku memiliki peluang untuk mempengaruhi masa depan Jawa Barat khususnya di bidang tata ruang, pembangunan dan energy. Rasanya aku telah berusaha semaksimal mungkin untuk menghasilkan peraturan daerah yang terbaik bagi masyarakat tetapi tentu saja perda—perda yang sekarang ini diberlakukan tidak lepas dari pergulatan kepentingan dan kompromi politik yang kompleks selama proses penyusunannya. Aku berterima kasih pada Irfan Anshory dan Hasan Zainal yang sebagai sesama pimpinan pansus membantu menyelesaikan tugas berat tersebut. Teti Kadi juga harus dicatat sebagai anggota Pansus yang aktif sehingga wajar jika sekarang dia ada di DPR RI. pernah kami berada di Makasar pada malam natal di sebuah hotel yang dekat dengan lokasi peledakan bom. Pulang dari sana pesawat Indonesia Airways yang kami tumpangi terpaksa mendarat darurat di Bandara Juanda Surabaya karena sebuah baling-balingnya tidak berfungsi.

Sebagai anggota komisi A aku (tepatnya kami) banyak menghadapi masalah-masalah pelik berkaitan dengan hukum, pertanahan dan hak-hak asasi manusia. Tiga masalah itulah yang kurasakan menonjol selama masa baktiku. Pada sisi lain Aku merasa bangga karena selama di komisi A itulah kami sempat berperan memuluskan proses distribusi lahan bagi para eks pekerja perkebunan di Jatinangor. Aku senang karena kerja politik kami memungkinkan para eks pekerja perkebunan memiliki lahan untuk tempat tinggal dan pekarangan secara gratis sebagai hak milik mereka.

Hal lain yang membuatku senang adalah aku turut mengawal kehadiran KPID (Komite Penyiaran Indonesia Daerah) sejak sosialisasi oleh anggota DPR RI dan akademisi seperti Efendi Ghozali di Kafe de Palm hingga proses seleksi anggota. Sayangnya aku tak bisa membantu Bambang sebagai salah seorang anggota KPID padahal dialah yang dari awal mengkapanyekan perlunya KPID dan menemani anggota parlemen serta para akademisi UI tersebut. Aku ingat betul bahwa Untung yang mengganjalnya di tingkat rapat komisi A, padahal dia tidak mengikuti proses seleksi ini sejak awal. Kekecewaan seperti ini seringkali harus kualami di DPRD.

Berkaitan dengan upaya menciptakan demokratisasi di daerah, yang perlu dicatat adalah dukungan komisi A terhadap KPUD (Komite Pemilihan Umum Daerah) secara politik dan anggaran. Setia Permana ketika melantik KPUD Kota dan Kabupaten mengatakan “pacantel” (berdamai setelah berselisih) dengan DPRD yang saat itu kuwakili.

Peristiwa yang paling menyakitkan sepanjang masa baktiku di periode 1999-2004 adalah harus menerima kenyataan tidak terpilihnya calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang kami perjuangkan yaitu Tayo Tarmadi dan Rudi Harsa Tanaya yang diusung PKB dan PDI Perjuangan karena kalah 10 suara dari Dany Setiawan-Nukman Abdul Hakim. Entah kebetulan atau tidak 10 suara tersebut persis sama dengan suara abstain dari Fraksi TNI/Polri. Aku sempat meneteskan air mata di ruang sidang paripurna karena kekalahan ini. Kekalahan ini sempat memecah kekompakan di dalam partai karena ada teman-teman fraksi yang bermain di dua kaki karena alasan ambisi politik pribadi maupun alasan financial. Buntutnya beberapa teman pindah partai dan di recall. Dampaknya berkepanjangan hingga Pemilu 2009 di mana PDI Perjuangan dikalahkan Partai Golkar di tingkat daerah maupun nasional. Nampaknya ada korelasi positif kemenangan dalam Pilkada dengan kemenangan dalam Pemilu.