Senin, 19 September 2011

Inggit Garnasih













Sebuah pesan pendek datang sebagai undangan untuk menghadiri syukuran pembuatan film tentang kisah hidup Ibu Inggit Garnasih bertempat di Gedung Indonesia Menggugat. Ini adalah sebuah upaya untuk menggalang dukungan bagi istri pertama presiden pertama Republik Indonesia yang lebih dikenal dengan nama Ibu Inggit yang diusulkan masyarakat Jawa Barat menjadi pahlawan nasional. Sebelumnya sebuah seminar nasional menyimpulkan bahwa Ibu Inggit besar jasanya bagi Negara ini mengingat pengabdiannya mendampingi Bung Karno dalam perjuangan merebut kemerdekaan sehingga layak dijadikan sebagai pahlawan nasional.

Jauh-jauh hari sebelumnya Ramadhan K.H. membuat sebuah autobiografi Ibu Inggit berjudul Kuantar ke Gerbang Kisah Cinta Inggit dengan Sukarno, yang ditulis dalam bentuk roman. Poeradisastra dalam sekapur sirih roman tersebut menulis amat provokatif : “separuh daripada semua prestasi Sukarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih dalam ‘Bank Jasa Nasional Indonesia’. Pernyataan Poeradisastra tersebut mungkin ada benarnya karena Ibu Inggit berperan mendampingi Bung Karno sejak masih berstatus mahasiswa di THS (sekarang menjadi ITB), hingga dipenjara di Sukamiskin dan Banceuy yang berlanjut ke pembuangan di Ende dan Bengkulu. Ketika saat Indonesia merdeka tiba dan Bung Karno menjadi presiden pertama, Ibu Inggit tidak lagi berada di samping orang yang dicintai dan dikaguminya. Perempuan perkasa itu memilih berpisah karena tidak bisa menerima kenyataan cintanya harus dibagi dengan Fatmawati, teman sekolah anak angkatnya.

Ibu Inggit adalah manusia yang mengesampingkan kepentingan pribadinya untuk kepentingan bersama yang lebih besar. Ia tidak ditakdirkan untuk memasuki Istana Merdeka bersama Bung Karno. Ia membela Bung Karno yang dituduh menulis surat bernada minta ampun pada Jendral Verheyen dan mengatakan “itu mah pamali, itu mah mustahil”. Ia memaafkan Fatmawati yang dianggapnya sebagai anak. Ia setia menjalani hari tuanya dengan berjualan bedak buatan sendiri. Ia memaafkan Bung Karno yang ketika masih sebagai mahasiswa disapanya dengan panggilan Kusno.

pada tahun 1997 aku berziarah ke makam bu Inggit di Babakan Ciparay. Pada saat itu aku mengajak teman-teman se partai napak tilas perjuangan Bung Karno. Dimulai dari rumah tinggal bu Inggit di jalan Ciateul yang kemudian berganti nama menjadi jalan Inggit Garnasih, kemudian ke makam ibu Inggit. Ketika itu makam bu Inggit terletak dalam sebuah bangunan sederhana dari kayu beratap genting. Kami berdoa sambil mengenangkan perjuangan Inggit dalam megupayakan kemerdekaan bagi negri. Seorang pengurus partai mengajak kami ke rumah cucu kemenakan Inggit, bernama Tito. Tito adalah anak Ratna Juami yang merupakan anak angkat Bung Karno. Dalam perkawinannya dengan Bung Karno, Inggit tidak dikaruniai anak sehingga ia mengangkat Ratna Juami sebagai anak angkatnya. Ratna adalah kemenakan Inggit. Ratna dan ibu kandung Inggit ikut dalam pembuangan ke Ende bersama Bung Karno. Ibu kandung Inggit (mertua Bung Karno) wafat dalam pembuangan di Ende dan dimakamkan di sana. Ratna Juami kemudian menikah dengan Asmara Hadi, wartawan di era revolusi sekaligus pengikut Bung Karno.

Di rumah Tito banyak teman-teman perjuangan Ratna Juami berkumpul. Yang kukenal adalah Ny Sidik Danubrata. Anak perempuannya ,Levana menikah dengan Bayu, anak Sukarno dari Hartini. Bayu meninggal ketika sedang melanjutkan studi di AS. Levana kemudian menyepi ke Bali. Tito dan Kemal Asmarahadi, dua anak Ratna Juami kemudian mencoba menbangun kembali Partindo (Partai Indonesia) dengan ideology marhaenisme namun tidak mampu mengikuti Pemilu.

Masyarakat Jawa Barat mencoba mengangkat Ibu Inggit agar dapat diterima sebagai pahlawan nasional. Endang Karman salah seorang yang gigih memperjuangkan hal itu. Akupun pernah dilibatkannya menjadi panitia seminar pengusulan Inggit sebagai pahlawan nasional dari Jawa Barat itu. Nina Lubis adalah salah seorang sejarahwan yang mendukung usulan itu, tetapi sayang usulan itu kandas di tingkat nasional.
Belakangan Endang Karman, Sucipto, Permadi, Peringeten, Stanis, Tri Wartono membentuk panitia pemugaran makam Inggit Garnasih. Menurut informasi dari Stanis, pemugaran itu telah usai dilaksanakan dengan biaya gotong royong dari pelbagai pihak.

Indonesia harus memberikan penghargaan yang sepantasnya. Sebuah gelar bernama pahlawan nasional bahkan belum mampu membayar dedikasi dan pengorganan yang diberikan Ibu Inggit bagi Bung Karno dan republik ini. Dedikasi dan pengorbanan Ibu Inggit merupakan nilai-nilai kepahlawanan yang semakin terasa bermakna di tengah kekacauan nilai hidup berbangsa dewasa ini di tengah pusaran arus globalisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar