Minggu, 16 Oktober 2011

Kendaraan Roda Empat

















Bapak dan Ibu Mertua

Menjadi mahasiswa S2 membuatku merasa muda kembali kendati Usiaku ketika itu –di tahun 2000 tidaklah muda lagi. Aku berangkat dari rumah pukul 05.15 agar dapat ikut kereta api patas pertama yang berangkat dari stasiun Rancaekek pukul 05.30. berdesak-desakan dalam kereta sepagi itu menyenangkan karena bisa mengusir hawa dingin yang menusuk. Biasanya aku tiba di stasiun Hall pukul 06.00 kemudian melanjutkan perjalanan ke kampus UPI di Jalan Setiabudi dengan kendaraan angkutan kota jurusan Ledeng. Biasanya ketika aku Tiba di kampus, hari masih pagi dan suasana masih lengang. Tujuan pertamaku adalah kantin di kampus Program Pascasarjana yang menyediakan meja dengan bangku panjang di samping kampus di bawah pohon lengkeng. Secangkir kopi dan sepotong dua potong kue menjadi sarapan pagiku. Satu dua orang mahasiswa yang sama-sama sarapan pagi di situ menjadi teman berbincang.

Ketika aku mulai menjalankan tugas sebagai anggota DPRD Provinsi Jawa Barat—pengganti antar waktu (PAW)—maka kebiasaan naik kereta api masih tetap kujalani, apalagi gedung DPRD lebih dekat dari stasiun Hall dibanding kampus UPI. Masalah muncul karena kegiatan sebagai anggota Dewan begitu padatnya sehingga pelan-pelan kuliahku terbengkelai. Masalah lainnya adalah bahwa jadwal kerja Dewan tidak beraturan waktunya. Kadang aku harus sudah berada di Dewan pada pukul 05.00 pagi dan pulang larut malam, sedangkan kereta terakhir adalah pukul 20.00. Taksi menjadi pilihanku, sayangnya ongkos taksi dari Gedung Sate ke rumah bisa mencapai Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah). Mas Tikto (Sunitiyoso Pratikto) yang menjadi Direktur PDAM Kota Bandung berinisiatif meminjamiku mobil untuk menjemput dan mengantarku pulang. Hal itu dilakukannya karena tidak tega melihatku naik kereta api setiap hari.

Rupanya kebiasaanku naik kereta api diketahui Tatang teman sekomisi dari fraksi PG. Dia adalah PNS di Polda Jabar yang bertugas di bagian humas sehingga dekat dengan wartawan. Entah bagaimana mulanya, beberapa hari kemudian di harian Pikiran Rakyat ada berita mengenai anggota Dewan yang menggunakan kereta api pergi pulang dari rumah ke gedung Dewan. Tentulah aku yang dimaksudkannya, karena setahuku semua anggota Dewan selainku menggunakan mobil pribadi ke tempat tugas. aku merasa tidak nyaman dan mulai berpikir untuk membeli kendaraan roda empat.

Ada beberapa Pertimbanganku mengapa harus membeli kendaraan. Pertama adalah jadwal kerja yang tidak teratur dan di luar jadwal kereta api. Kedua ongkos taksi begitu mahalnya sehingga jika dikumpulkan dalam sebulan bisa untuk menyicil kendaraan. Ketiga aku tidak mau merepotkan mas Tikto. Dan keempat aku tidak ingin menjadi bahan berita di koran.

Aku mulai mencari-cari informasi mengenai kendaraan yang paling sederhana dan paling murah yang bisa kuperoleh disesuaikan dengan honor yang kuterima sebagai anggota Dewan. Setelah bertanya ke sana ke mari dan berdiskusi dengan teman-teman – antara lain dengan Bastian— tahun 2002 aku memutuskan membeli sebuah mobil jenis minibus merk D jenis T standar dengan cara leasing dan diangsur selama tiga tahun. Uang mukanya Rp 50 juta. Separuhnya kuperoleh dari bantuan Dewan dan separuhnya lagi uang tabungan. Angsuran perbulannya sekitar Rp 2,5 juta.

Mobil baruku belum diberi perlindungan dari karat dan belum ber-AC. Untuk perlindungan dari karat aku harus membawanya ke bengkel dengan biaya sendiri. AC kubeli beberapa bulan kemudian karena harganya lumayan mahal menurutku, Sekitar Rp 7 juta. Kini mobil itu telah berumur sembilan tahun namun masih setia menemaniku dan keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar