Sabtu, 14 Januari 2012

Mencoba Subway di Kota Singa








Singapura dalam gambar











Singapura adalah sebuah negara kota dengan penduduk sekitar 6 juta orang terdiri dari Cina, Melayu dan India dan mereka menggunakan empat bahasa resmi yaitu Inggris, Cina, Melayu dan Tamil. Nama Singapura berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti Kota Singa meskipun singa tidak pernah hidup di kota itu, binatang buas yang kemungkinan dilihat oleh Sang Nila Utama pendiri Singapura adalah harimau.

Dulunya Singapura adalah wilayah luar dari imperium Sriwijaya yang diberi nama Tumasik atau kota laut. Baru pada abad ke-16 menjadi bagian Kesultanan Johor. Tentara Portugis membakar kota itu hingga terbengkelai selama dua abad. Singapura kemudian diduduki Inggris karena pada tahun 1819 Raffles atas nama British East India Company datang meminta izin Sultan Hussein Syah untuk menjadikannya sebagai pos perdagangan dan pada tahun 1824 keseluruhan pulau diberikan pada British East India Company oleh Sultan. Setelah menjadi pemukiman Inggris pada tahun 1826, Singapura menjadi kota di tahun 1836.Selama PD II Jepang menduduki Malaysia setelah mengalahkan Inggris di Singapura. Inggris menyerah pada 15 Februari 1942 dan PM Churchill menyebutnya sebagai "the worst disaster and largest capitulation in British history". Ribuan orang Cina dibunuh setelah kejatuhan Singapura dan dikenal dengan The Sook Ching massacre. Jepang baru mengembalikan Singapura pada Inggris pada bulan September 1945 setelah kalah melawan sekutu. Singapura menyatakan kemerdekaan dari Inggris pada 31 Agustus 1963 sebelum bergabung dalam Federasi Malaysia bersama Malaya, Sabah dan Sarawak. Setelah adanya konflik ideologi antara partai penguasa di Singapura dan Malaya, Tunku Abdul Rahman melepas Singapura dari federasi dua tahun kemudian. Saat ini ada lebih dari 7.000 multinational corporations dari AS, Jepang, dan Eropa di Singapura. Ada pula 1.500 perusahaan China dan 1.500 dari India, sehingga Singapura menjadi pusat pertumbuhan ekonomi tertinggi di ASEAN.

Kamipun menyusuri jalan-jalan di kota itu melihat disiplin mereka dalam berlalulintas dan menjaga ketertiban serta kebersihan kota. Warna hijau dari tanaman sepanjang jalan serta bebungaan yang bermekaran menambah semarak penampilan kota yang modern dengan bangunan2 jangkung berarsiktektur indah. Meskipun demikian bangunan-bangunan lama peninggalan kolonial Inggris masih menjadi daya tarik. Nampak satu dua orang berphose di depan bangunan-bangunan itu, ada juga aktivitas wedding photografy. Bangunan2 lama orang-orang Cina juga dipelihara dengan baik dengan diberi cat warna-warni, sementara perahu kayu masih melayari sungaisungai di tengah kota meski tidak seramai di Bangkok. Yang menarik perhatian adalah kibaran bendera cucian para penghuni apartemen yang dijemur dengan menggunakan semacam galah keluar dari jendela kamar mereka.

Setelah melihat bangunan teater buah durian (Esplenade) dan patung merlion (ikan berkepala singa) yang menjadi penanda kota, kamipun melanjutkan perjalanan ke World Trade Center di Waterfront. Dari kami menggunakan cable car menyebrang ke Sentosa Island sambil melihat hiruk pikuk pelabuhan yang merupakan salah satu pelabuhan bongkar muat terbesar di dunia. Sentosa Island adalah sebuah pulau yang dijadikan zona rekreasi meskipun tidak sedahsyat Dunia Fantasi di Jakarta. Di Sentosa Island pengunjung menggunakan semacam kereta api mengelilingi pulau dan dipandu untuk mengetahui sejarah Singapura khususnya di pulau itu.

Sore itu kami beristirahat di sebuah hotel di kawasan Orchard Road. Setelah makan malam kamipun tidak menyia-nyiakan waktu berjalan-jalan di jalan yang terkenal itu. Suasana memang sungguh menyenangkan. Pertokoan semarak dengan warna-warni lampu seperti menjelang suasana tahun baru saja. Trotoar sangat luas sehingga orang bisa berlalu lalang dengan santai menikmati pemandangan. Jika lelah kita bisa duduk di bangku-bangku yang telah disediakan. Jika kita ingin menyebrang dari satu sisi jalan ke sisi jalan yang lain, kita tinggal ke zebra cross dan dijamin semua pengemudi memberi kesempatan bagi kita untuk menyebrang. Ini memang sebuah kota yang beradab.
Sementara teman-teman pergi berbelanja Aku mengajak istri dan anakku mencoba menggunakan subway atau kereta bawah tanah. Kami turun dari trotoar menggunakan eskalator dan tiba di stasiun di bawah tanah. Celingak-celinguk sebentar lalu mengikuti orang-orang membeli tiket di ticket box. Aku hanya menyebut sebuah terminal tertentu dan tiga buah tiket kuperoleh dengan harga terjangkau. Tiket itu tinggal digosokkan di depan pintu stasiun, dan pintupun terbuka secara otomatis. Setasiun nampak sepi dan aku mencari-cari kereta...tapi tak satupun nampak. Seseorang berbahasa Melayu bertanya “hendak kemana?” dan ketika kusebut sebuah tujuan dia menunjukkan arah ke sebuah pintu. Benar saja tidak lama kemudian pintu itu terbuka, keretapun muncul. Kamipun naik dan kereta itupun berkelebat pergi dalam kegelapan malam. Beberapa menit kemudian kamipun tiba di sebuah tempat. Kami keluar menukarkan tiket ke ticket box dan petugas memberi kami kembalian beberapa sen dolar Singapura. Naik dengan eskalator kami tiba kembali di Orchard Road yang ramai.

Orchard Road dikenal sebagai bulevar tempat pusat perbelanjaan di mana turis dari seluruh dunia berbelanja. Pemandangan yang lazim di jalan adalah orang-orang yang hilir mudik menenteng tas-tas belanjaan yang jumlahnya bisa lebih dari satu. Akupun mencoba memasuki salah sebuah toko membeli sebuah tas dan sebuah mainan robot dari plastik yang bisa digerak-gerakkan secara manual. Setelah menikmati happening art dari para seniman yang berpentasi di trotoar. Seorang seniman mengecat seluruh tubuhnya dengan warna prada (keemasan) dan bergeming di panggung mini yang dibuatnya. Orang-orang datang menonton aksinya mengambil foto dan memasukkan koin ke kotak yang disediakan atau berlalu begitu saja.

Keesokan harinya kamipun meninggalkan penginapan menuju bandara Changi untuk kembali ke Indonesia. Changi International Airport adalah bandara internasional modern dan salah satu yang terbesar, termodern dan tersibuk di dunia. Memasukinya seperti memasuki sebuah mal di mana kita bisa melakukan pelbagai aktivitas di dalamnya. Ada airport magazine yang memandu kita mengenal setiap sudut dan lorong bandara dan barang-barang yang bisa dibeli lengkap dengan foto-foto model yang berwajah Indo. Interior bandara sangat indah, ada taman hijau dan air terjun yang menyejukkan. Ada pula praying corner yang bisa digunakan oleh seluruh umat dari pelbagai agama yang ingin beribadah atau sekedar diam bermeditasi. Toko-toko sangat lengkap dengan harga “duty free shop”. Aku menikmati kelengkapan buku-buku di beberapa toko buku di sana. Toko buku adalah tempat paling nyaman di bandara. Di sana aku bisa memuaskan dahaga akan pengetahuan secara gratis dengan modal berdiri di depan rak berjam-jam. Sebagai bagian dari sopan santun aku mengambil satu dua buku yang tidak terlalu mahal dan membawanya ke kasa. Berbasa-basi dengan kasir, menerima bungkusan dan keluar dengan perasaan lega sambil membayangkan buku-buku bagus yang tidak bisa kubeli saat itu.

Rabu, 11 Januari 2012

endratari, Batu Mulia dan Asam Jawa

Catatan dari Thailand

Thailand dapat dikatakan cukup berhasil mengemas pariwisatanya dengan berbasis pada kebudayaan lokal. Memang ada beberapa komoditas wisatanya yang hanya cocok untuk dinikmati oleh orang-orang dewasa, tetapi lebih banyak lagi obyek wisata yang memberikan pengayaan pengalaman bagi mereka yang datang berkunjung. Di sebuah obyek wisata yang berada di luar kota Bangkok misalnya kita bisa melihat sebuah pertunjukan kolosal dalam bentuk sendratari mengenai sejarah kerajaan Thailand yang penuh dengan patriotisme dan heroisme. Pertunjukan yang dikemas sekitar 2 jam tersebut menceritakan bagaimana rakyatThailand menjaga kemerdekaan dan kedaulatan mereka dari serangan negara tetangga. Sendratari tersebut melibatkan ratusan pemain dengan tata panggung yang kolosal dan properti yang membawa suasana ratusan tahun yang lalu termasuk di dalamnya pasukan gajah.

Setelah menyaksikan teater yang cukup membantu mengenali karakter rakyat Thailand kami pun menyaksikan pertunjukan sirkus yang melibatkan gajah dan buaya karena dua binatang ini memang lekat dengan kehidupan sehari-hari rakyat Thailand sehingga disebut sebagai negara gajah putih. Buaya tentu tidak asing bagi mereka karena kehidupan memang bermula dari tepian sungai.

Kamipun mengunjungi sebuah workshop batu-batu mulia yang dikemas dengan baik, di mana pengunjung diajak menyaksikan simulasi pertambangan batu mulia dengan menggunakan semacam perahu kecil menyusuri aliran sungai buatan sesuai dengan proses penambangan batu. Simulasi itu menggunakan teknologi informasi yang canggih sehingga mengingatkan kami seperti berada di Dufan. Ujungnya memang pemasaran batu-batu mulia. Silakan belanja...

Catatan lain selama berada di Thailand adalah bahwa cendera mata mereka berkualitas baik dengan harga terjangkau dan dengan pelayanan para penjualnya yang ramah dan santai tanpa ada kesan memaksa pembeli. Meskipun kota Bangkok sama padatnya dengan Jakarta, lalu lintas juga macet bahkan di jalan-jalan layang, tetapi trotoar nampak rapih dan bersih tanpa PKL. Ada satu dua rumah di kolong jalan layang tetapi ditata dengan baik dengan tanaman hijau. Pengemis boleh dikata tidak kami jumpai. Hanya para pedagang lotere nampak di trotoar yang lebar dan bersih. Gerbang-gerbang warna keemasan lengkap dengan foto raja, ratu dan keluarganya nampak di mana-mana.

Di beberapa titik ada sentra pedagang kaki lima yang pada umumnya menjual makanan gorengan khas Thailand terdiri dari bermacam-macam serangga atau minuman air kelapa bakar. Meskipun di kaki lima tapi tindak nampak sampah berserakan sehingga kami bisa menikmati kudapan sambil duduk santai di tengah keramaian. Selebihnya suasana terasa seperti di Bali, di mana bisa dilihat tempat orang memberikan sesaji di dekat hotel, pertokoan maupun perkantoran.

Buat asam jawa (tamarine) seolah lekat dengan Thailand, kami dapat menjumpainya dijual di supermarket dengan kemasan yang baik. Makanan khas lainnya juga mudah didapat tetapi memang harus hari-hati untuk melihat bahan-bahannya karena bisa saja mengandung daging atau lemak babi. Swadee Krab...

Selasa, 10 Januari 2012

Pattaya






Perjalanan dari Bangkok ke Pattaya memerlukan waktu beberapa jam melalui kawasan industri yang nampak sedang mengalami pertumbuhan, pesawahan dan desa-desa. Penduduk seempat banyak tinggal di tepi-tepi sungai kecil, dan nampaknya pemerintah membuatkan akses jalan untuk mereka berupa jalan kecil mirip dermaga dengan tiang-tiang tinggi. Rute yang kami tempuh adalah Bangkok-Chonburi-Pattaya Highway No. 7.

Selama perjalanan Dadang Eka melucu tak habis-habis, karena pembawaannya memang senang heureuy (berkelakar). satu atau dua kali kami singgah di pemberhentian untuk makan siang atau membeli penganan khas Thailand. Lucunya jika masuk rumah makan kami akan berebut telur dadar atau tumis kangkung karena dianggap halal. Makanan memang menjadi masalah bagi orang muslim karena di rumah makan biasanya disajikan makanan yang mengandung daging babi. Kiai Soebki dan istrinya begitu berhati-hati, sehingga membawa bekal makanan sendiri dari Indonesia : tempe dan teri goreng kering. Makanan Thailand favoritkua adalah tomyam, sejenis sup dengan daging ayam atau seafood yang penuh rempah-rempah dengan rasa pedas masam segar. Tomyam biasanya disajikan sebagai appetizer (makanan pembuka).

Menjelang malam kami tiba di Pattaya. Ketika kami memasuki wilayah pantai, suasana hingar bingar sudah mulai menghentak di kafe-kafe sepanjang jalan pantai seperti atau bahkan lebih ramai dari Kuta Bali. Laki-laki kulit putih bercengkrama atau menari dengan gadis-gadis pribumi sambil menenggak minuman beralkohol. Beberapa perempuan menari di atas meja. Musik berdentum keras seperti merayakan kegelapan malam.

Pattaya terletak di timur Teluk Thailand, berjarak 165 km sebelah tenggara kota Bangkok terletak pada tapi tidak menjadi bagian dari Amphoe Bang Lamung (Banglamung) diProvinsi Chonburi. Pattaya merupakan bagian dari zona industri Eastern Seaboard sekaligus pusat Pattaya-Chonburi Metropolitan Area.

Selama beberapa abad Pattaya hanyalah sebuah desa nelayan yang kemudian berubah pada 26 April 1961 ketika sekitar 100 tentara Amerika yang berperang di Vietnam datang untuk bersantai. Sejak itu desa nelayan berubah menjadi resor pantai yang populer dan didatangi sekitar 4 juta pengunjung setiap tahunnya. Pemukiman nelayan sepanjang pantai diganti dengan hotel resor dan pertokoan termasuk mal tepi pantai terbesar di Asia (the CentralFestival Pattaya Beach Mall and hotel Hilton) yang terletak di Jalan Pantai di pusat Pattaya.

Nama Pattaya berasal dari perjalanan Phraya Tak (Raja Taksin) dan tentaranya dari Ayutthaya ke Chantaburi sebelum kejatuhan ibukota ke tangan orang-orang Burma tahun 1767. Ketika tentaranya memasuki tempat yang sekarang dikenal dengan Pattaya, Phraya Tak mendahului tentara Nai Klom yang mencoba menjegalnya. Ketika keduanya bertemu, Nai Klom terpesona dengan kegagahan Phrya Tak dan disiplin tentaranya. Dia kemudia menyerah tanpa melakukan pertempuran. Tempat di mana dua pasukan tentara berhadapan satu sama lain dinamakan Thap Phraya, yang berarti Tentara Phraya. Belakangan nama itu berubah menjadi Phatthaya yang berarti angin yang berembus dari barat laut ke tenggara sebagai permulaan musim hujan. Secara internasional dikenal dengan Pattaya sementara ejaan yang benar adalah Phatthaya seperti masih tertulis di banyak di rambu-rambu lalulintas.

Malam itu kami pergi ke sebuah teater para waria yang mempertunjukkan sebuah opera dengan tata panggung yang megah. Seusai pertunjukkan para pemain ke luar ke halaman parkir dengan busana shownya yang glamour. Pengunjung dapat melihat kecantikan para waria dan berfotoria bersama mereka untuk kenang-kenangan.

kami menginap di kawasan Jomtien Beach yang berada di bagian selatan teluk dan bisa melihat laut lepas dari kamar tidur. Pagi hari anak-anak bisa bermain di sepanjang pantai sebrang hotel tempat kami menginap. Kawasan itu menawarkan aktivitas olahraga air seperti jet ski, parasailing atau perahu boat.

Sabtu, 07 Januari 2012

Bangkok (Krung Thep Maha Nakhon)






Sky Train kota Bangkok









Pada libur sekolah Juni-Juli 2004 Ketut Sustiawan (yang kini menjadi anggota DPR RI) mengajak kami : Ikhwan Fauzi, Sahal Tastari, Iswara, Dadang Eka, aku dan kawan-kawan lainnya untuk berlibur ke luar negri dengan syarat harus membawa keluarga. Dia berjanji mencarikan biaya untuk kami, tapi untuk keluarga harus “bayar masing-masing”. Setelah membahas pelbagai kemungkinan tujuan, kami akhirnya menyepakati untuk pergi ke Thailand dan Singapura. Ketut, Dadang, Sahal membawa semua keluarganya. Iswara mengajak istrinya, Ikhwan membawa kedua anak perempuannya dan aku mengajak istri dan anak bungsuku yang masih bersekolah di SD.

Dari bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng kami terbang ke Thailand tengah malam dan pagi hari mendarat di bandara Don Muang, Bangkok. Waktu subuh di Bangkok hari sudah nampak terang, kami menyempatkan diri shalat di sebuah masjid di lingkungan sebuah sekolah di luar bandara sambil mencari tempat sarapan pagi di dekat nya. Perhatianku langsung tertuju pada jalan raya yang menyediakan jalur khusus buat para penyandang cacat ditandai dengan gambar kursi roda. Thailand memang sudah selangkah lebih maju dalam bidang kesejahteraan sosial di tingkat ASEAN bahkan mungkin juga di Asia.

Seingatku saat itu kami langsung mengadakan tur di pelbagai obyek wisata di kota Bangkok (Krung Thep Maha Nakhon) . Tujuan pertama adalah ke istana kerajaan yang cukup luas dan megah. Bangunan-bangunan istana seperti menggabungkan gaya Eropa dan Thailand. Bangunan Thailand ditandai dengan warna merah dan kuning emas serta bentuk atap rumah runcing mengingatkanku pada atap rumah di Minangkabau. Wisatawan yang datang ke istana sangat ramai, terutama wisatawan manca. Obyek foto yang menarik adalah bangunan kuil yang ada di istana.

Setelah mengelilingi istana kami menyebrangi sunga Chao Praya menuju ke sebuah Wat Arun, kuil umat Budha yang megah di sebrang sungai. Bangunan kuil bertingkat-tingkat dengan didominasi warna putih dengan ukiran warna-warni, puncaknya seperti kubah masjid yang runcing.




Wat Arun di tepian Chao Praya





Senyampang di Bangkok, kamipun melayari sunga Chao Praya yang membelah kota Bangkok. Dengan menggunakan perahu bermotor kami melayari kota dan menyaksikan kehidupan di tepian sungai yang semarak. Rumah-rumah panggung dari orang-orang Melayu muslim masih dipelihara dan dipertahankan untuk kepentingan sejarah dan pariwisata. Di belakangnya gedung-gedung jangkung bertebaran menunjukkan modernisasi yang sedang berlangsung. Arus sungai deras dan dapat dikatakan bebas dari sampah sehingga menyenangkan dipandang mata. Kami memberi makan ikan-ikan dengan roti yang kami beli dari para pedagang yang menjajakan dagangannya di perahu.

Menjelang sore kami pergi ke Siam Paragon pusat keramaian Bangkok yaitu sebuah pusat belanja terbesar di Asia yang menjual pernak-pernik khas Thailand. Kesempatan itu kugunakan untuk mengajak anakku mencoba moda transportasi monorail (sky train) yang menghubungkan beberapa titik tujuan di sekitar kota Bangkok. Malam itu kami menginap di Bangkok.