Senin, 12 Maret 2012

Pak/Bu Tani dan Masalahnya






Sawah yang menghijau di sebuah desa









Meskipun tidak begitu lama aku ditugaskan di Komisi B namun cukup bagiku untuk mengetahui pelbagai masalah perekonomian : pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan, perdagangan, perbankan dan pariwisata. kali ini masalah Pak/Bu Tani yang ingin kusampaikan pada para pembaca yang budiman.

Masalah pertanian yang menonjol adalah berkaitan dengan kesulitan petani untuk meningkatkan produktivitas karena keterbatasan ketrampilan, modal maupun teknologi. Masalah tersebut semakin kompleks karena land ownership (kepemilikan tanah) yang rendah yaitu sekitar 0,2 ha per petani. Tidak heran banyak petani sebenarnya tidak memiliki lahan untuk digarap, sehingga mereka menjadi buruh tani…kadang-kadang di lahan yang dulu merekia miliki. Kompleksitas semakin bertambah karena konflik kepentingan dalam tata ruang wilayah. Lahan-lahan subur di Jawa Barat terutama adalah lahan yang beririgasi baik yang memperoleh pasokan air dari beberapa bendungan besar: Saguling, Cirata, Jatiluhur, Jatitujuh dll dan karena lokasi tersebut memiliki infrastruktur yang baik maka investasi di bidang manufaktur sewaktu-waktu dapat menggusur dan menyingkirkan para petani dari lahan mereka. Pemerintah daerah seringkali bersifat mendua dan seringkali mengorbankan petani (pertanian), di satu sisi mereka mengatakan perlunya peningkatan produktivitas pertanian namun di sisi yang lain mereka memberi izin masuknya investasi di bidang manufaktur maupun perumahan di lahan-lahan pertanian (persawahan) yang subur.

Dalam kunjungan2 komisi B maupun reses fraksi PDI Perjuangan, aku bersama teman2 sekomisi maupun sefraksi dan biasanya ditemani para birokrat mengunjungi area persawahan, berdialog dengan kelompok tani, melihat bendungan dan saluran irigasi kadangkala hingga malam tiba dan rembulan muncul di atas pesawahan. Beberapa masalah yang sering dialami petani adalah keterbatasan saprodi (sarana produksi) seperti benih yang baik, pupuk dan obat-obatan. Biasanya pada saat dibutuhkan barang-barang tersebut sulit dijumpai di pasar dan mahal harganya. Hal itu karena adanya birokrasi dalam distribusi pupuk ditambah penyimpangan dalam penjualan pupuk bersubsidi. Pupuk bersubsidi yang seharusnya diperuntukkan untuk petani jatuh ke para pengusaha manufaktur. Lebih dari itu kadangkala petani membeli pupuk palsu atau pupuk oplosan. Meskipun modus operandinya tidak berubah dari tahun ke tahun akan tetapi para penegak hukum nampaknya tidak pernah benar-benar bisa mengatasinya. Masalah lainnya yang dialami adalah kurangnya modal usaha. Karena itu pihak perbankan khususnya Bank Jabar Banten (bank bjb) sebagai bank milik masyarakat Jawa Barat harus turun tangan menjalankan fungsi intermediasinya dengana menyedian kredit usaha pertanian tanpa agunan dan harus dengan bunga yang rendah.

Hal yang menggembirakan adalah adanya upaya-upaya dari pemerintah maupun kaum tani untuk mengembangkan pertanian alamiah (organic) dengan memanfaatkan kekayaan alam yang ada khususnya dalam pemupukan dan pemberantasan hama. Dengan demikian para petani tidak lagi tergantung pada industry fertilizer dan farmasi. Di samping itu para petani dapat menyelamatkan kesuburan tanah dan membebaskan pangan dari zat-zaqt kimia yang membahayakan tubuh. Produk hasil pertanian organic semakin meluas dan pemasarannyapun cukup bagus. Sayangnya produk tersebut baru bisa dinikmati kalangan berada karena harganya mahal.

Pokok-pokok pikiranku mengenai masalah-masalah pertanian biasanya kusuarakan di rapat-rapat paripurna Dewan dihadapan Gubernur. Akupun menyampaikannya melalui media cetak. Biasanya D. Gunadi dari Galamedia sering memuat pernyataan-pernyataan ku mengenai masalah pertanian dan perekonomian. Akupun menulis kolom di Kompas, Kontan ataupun Daily Investor mengenai masalah-masalah pertanian ini. Bagaimanapun pertanian harus mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah karena menyangkut ketahanan pangan di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar