Minggu, 13 Mei 2012

Ujung Barat Indonesia




Sebelum beranjak tidur malam aku keluar dari kamar menuju tepi pantai Gapang. Dalam kegelapan aku dapat menemukan restoran dan seingatku aku memesan nasi goreng dan segelas minuman panas untuk makan malamku. Restoran sepi. Hanya dua atau tiga meja terisi tamu.  Di antaranya turis manca. Tiga atau empat perempuan bule dengan didampingi seorang pemandu. Sedangkan aku makan sendirian sambil menyukuri kenyataan bahwa aku akhirnya sampai di Pantai Gapang, kota Sabang, Pulau Weh, NAD.  Maka akupun menikmati makan malamku  ditemani debur ombak yang mengempas dermaga di ujung restoran. Dikejauhan ada satu dua kapal atau perahu dengan  lampu menerangi kegelapan lautan Indonesia. Seusai menghabiskan santap malamku akupun tergerak turun ke dermaga. Sinar lampu membantuku melihat air laut yang bening dengan riak-riak gelombang yang tenang . ikan-ikan memenuhi kaki dermaga.  Sebuah pemandangan yang mengesankan.
Saat bangun pagi keesokan harinya, aku bergegas ke pantai yang sepi.  Sepotong surga di depanku. Aku merasa seperti Adam yang diturunkan ke dunia.  Bersijingkat di atas pasir putih aku menuju pantai penuh bebatuan yang dijilati deburan ombak.  Dengan leluasa aku menceburkan diri dan menenggelamkan seluruh tubuhku ke kedalaman laut yang bening dan hangat. Matahari mulai bersinar ketika aku mulai berenang kemudian menyandarkan diri di antara bebatuan berasalas pasir putih yang lembut. Sungguh aku ingin waktu berhenti saat itu.
Waktuku tidak banyak.  Seorang pemandu sudah menungguku di atas sepeda motornya. Akupun naik ke atas sadel dan sejurus kemudian motorpun melaju meninggalkan penginapan.  Tujuan pertama adalah sebuah teluk yang menjadi tempat berkumpulnya turis-turis Eropa. Tempat itu memang sungguh indah dan tersembunyi.  Ada banyak penginapan dan warung. Sepagi itu para turis sudah mulai memenuhi tepi pantai. Ada yang mencari sarapan pagi atau sekedar duduk menikmati matahari. Beberapa dari mereka kawin dengan penduduk setempat dan tinggal menetap di sana. Seorang wanita Perancis mencocok tanah di halaman rumahnya dan menanaminya dengan bunga  marrygold, ditemani anaknya yang masih balita.
Dari teluk itu kami menuju ke ujung barat pulau Weh yang berupa hutan lindung. Di tengah jalan kami berkunjung ke rumah penduduk  di rumah panggung mereka yang terbuat dari kayu. Kami mengobrol sebentar sambil minum teh. Tuan rumah menceritakan situasi sebelum dan setelah peradamaian di Aceh.  Mereka hidup lebih tenang sekarang dan dengan segala keterbatasan mereka memulai hidup yang baru.
Setelah kampung terakhir di Sabang, kamipun memasuki hutan dengan jalan berkelok-kelok dan menanjak. Sesekali jalan terhalang oleh pohon-pohon yang tumbang. Untungnya motor kami bisa melaluinya dan akhirnya tiba di gerbang yang dijaga petugas kemananan. Pemanduku berbincang sebentar dengan mereka dan kamipun melanjutkan perjalanan makin masuk ke dalam hutan. Sekitar pukul 10.00 kami pun tiba di tugu  Kilometer nol  kota Sabang yang sekaligus sebagai penanda titik paling barat Indonesia. Akupun teringat lagu “dari Sabang sampai Merauke”.  Alhamdulillah. 


Aku berkeliling tugu peringatan nol derajat, mengambil beberapa foto dengan camera telpon selularku, melihat lautan Indonesia dari ketinggian bukit. Inilah ujung terbarat negriku. Keharuan menyergapku.  Matakupun berkaca-kaca. Setelah itu yang ada jalan menurun dan berliku kembali ke Pantai Gapang.  
Menjelang  pukul 12.00 aku check out dari penginapan dan dengan dengan menggunakan motor yang sama aku menuju kota Sabang. Ini adalah sebuah perjalanan yang tak akan terlupakan. Sepanjang perjalanan laut yang mengelilingi pulau Weh terlihat dari ketinggian dan nampai begitu indah.  Ada pulau-pulau kecil tak jauh dari tepi pantai menyembul di antara laut biru dengan ombak putih. Sebuah obyek foto yang harus diabadikan. 

Kamipun tiba di kota Sabang pada tengah hari.  Tujuanku adalah sebuah kedai makan. Kamipun segera menjadi bagian dari pengunjung yang makan siang di kedai itu. Ramai sekali suasananya mirip suasana di warteg. Tak lama kemudian semua kedai dan toko-toko di Sabang akan tutup. Penduduk kota akan beristirahat. Mereka baru akan memulai aktivitasnya kembali setelah waktu ashar.  Aku menyempatkan diri singgah ke Kantor Dinas Pariwisata Kota Sabang untuk mencatatkan diri sebagai pengunjung tugu  KM  0 (nol yang kesekian dan pejabat berwenang memberiku sebuah piagam kenang-kenangan.
Setelah berkeliling kota akupun berangkat ke pelabuhan.  Menjelang ashar aku memasuki ferry yang kemudian mengantarkanku kembali ke Banda Aceh untuk kemudian terbang ke Jakarta dengan Garuda.  Selamat tinggal Sabang, selamat tinggal Aceh…  damailah dalam pangkuan Ibu Pertiwi n: Indonesia. “ Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia…”







Senin, 07 Mei 2012

Menyebrang ke Sabang


Meski belum pukul 13.00 aku check out dari hotel Cakradonya setelah makan siang. Pemanduku sudah menunggu di lobby dan sejurus kemudian kamipun meninggalkan halaman hotel menuju pelabuhan laut Malahayati (?).  sebelum sampai di pelabuhan kami singgah di sebuah pemakaman korban tsunami  yang lebih menyerupai taman berwujud sebuah bukit kecil  dengan lapisan hamparan rumput hijau segar.  Ratusan jenazah dimakamkan di situ. Berdiri di depannya aku merasakan kepedihan yang amat sangat dan bulu kuduk pun serta merta meremang. Aku terhenyak namun kemudian berdoa, juga buat sahabatku Aliudin yang tewas bersama seluruh—kecuali seorang putrinya yang menjadi santriwati di
sebuah ponpes di subang—keluarganya . 

Menjelang petang di tanggal 24 Maret 2006 itu aku tiba di dermaga pelabuhan darurat yang menghubungkan Banda Aceh di Pulau Sumatra dan Sabang di Pulau Weh.  Setelah membeli sebuah tiket aku menunggu ferry yang akan menyebrangkanku bersama penumpang-penumpang lain.  Satu atau dua jam kemudian ferry tiba dan para penumpang bergegas memasukinya.  Masih diperlukan beberapa waktu lagi sampai ferry benar-benar penuh dan kemudian lepas sauh meninggalkan dermaga untuk bertolak ke Sabang. 

Ketika ferry bertolak meninggalkan Banda Aceh, aku agak bimbang apakah aku lega atau cemas ketika itu. Tak sempat berpikir panjang laut biru yang bergelombang tinggi pun menyergap.  Kota Banca Aceh di ujung  paling utara Pulau Suvarnadwipa itupun pelan-pelang hilang dari pandangan. Ferry melalui satu dua pulau berupa bukit yang menghijau. Di dalam ferry beberapa prajurit TNI –nampaknya dari AD—hilir  mudik sambil membawa senapan. Meskipun perjanjian perdamaian antara Pemerintah RI dengan GAM telah ditandadatangani kedua belah pihak tapi nampaknya keamanan belum sepenuhnya pulih.

Sambil merasakan hati atau pikiran yang berkecamuk, aku mendengar suara ribute-ribut orang bertengkar di dalam kapal, entah antar awak kapal atau antara awak kapal dengan penumpang. Tentu saja insiden itu menambah perasaanku menjadi galau. Tapi aku harus ke Sabang karena tidak mungkin aku turun di tengah jalan. Nasib menuntunku menuju Indonesia nol derajat.

Senja menyapa ketika fery tiba di pelabuhan di Pulau Weh.  Dengan setengah sok tahu aku keluar dari pelabuhan dan  menyelinap di antara penumpang angkutan kota yang menuju Sabang sambil tak dapat memastikan tujuanku di sana.  Kurang lebih setengah jam perjalanan mobil pun tiba di kota Sabang. Akupun turun begitu saja  ketika ada orang lain turun. Di trotoar aku termangu sejenak  kemudian berjalan ke arah kerumunan orang-orang menanyakan tempat penginapan. Seorang pengemudi becak bermotor mengatakan penginapan ada di Pantai Gabang sekitar sepuluh kilometer dari kota. Tanpa pikir panjang Akupun minta dia mengantarkanku kesana. 

Perjalanan ke Pantai Gapang membuatku terpana. Keindahan kota Sabang menyergapku tanpa ampun. Kontur kota yang berbukit memudahkan mata menatap keindahan teluk dan pantai di kejauhan dengan kapal-kapal , ada yang bersauh di samping ada yang hilir mudik.  Lautnya begitu biru dan tenang. Hutan atau gerombolan pepohonan yang rimbun dan hijau memberikan pemandangan yang permai. Kotapun Nampak santai . semua itu menebus kegalauan dalam penyebaranganku.

Pengemudi becak bermotor yang kutumpangi ternyata seorang mantan marinir yang masih bertugas sebagai informan bagi negara. Ia menceritakan Aceh seperti apa adanya, tentang GAM dll. Menurutnya pulau Sabang menjadi tempat pelarian aktivis GAM yang dikejar di Banda Aceh. Akupun dikenalkan pada satu dua orang mantan kombatan GAM yang ditemuinya sepanjang perjalanan.  Ada satu dua alat-alat berat yang rusak dan terbakar yang menurutnya terjadi karena persaingan mencari rejeki di antara para mantan anggota GAM. Rasa ngeriku sepanjang perjalanan berbanding lurus dengan keindahan yang kutemui sepanjang perjalanan . 

Menjelang Isya kami sampai di Pantai Gapang. Tempat menginapku mala mini adalah Leguna Resort sebuah resor di tengah hutan  di tepi pantai. Bangunan yang akan kutempati untuk menginap malam ini  adalah  cottage berupa rumah panggung terbuat dari kayu.  Ada beberapa cottage yang nampaknya hanya satu dua saja yang terisi. 

Malam itu menjadi malam yang panjang bagiku karena aku merasakan suasana mencekam. Sesekali lenguhan sapi di kebun mengusik kesunyian malam. Sekitar jam 21.00, dengan menggunakan sepeda motor, seorang petugas dari kepolisian sektor datang ke front office.  terlibat pembicaraan pendek dengan  resepsionis lalu kemudian pergi.  Aku mematikan lampu kamar, berdoa dan berusaha tidur di Room 18 bertarif Rp 175.000,00 per malam.