Sabtu, 25 Agustus 2012

Batanghari


Candi Tinggi di Tepian Sungai Batanghari


SEKITAR tahun 2005  kami mendarat di bandara Sultan Thaha di kota Jambi.  Nama Sultan Thaha berasal dari nama pahlawan yang memimpin perlawanan terhadap Belanda (1855-1907). Kota Jambi merupakan  ibukota Provinsi Jambi. Sebagai ibukota, kota Jambi tidaklah begitu besar. Penduduknya berkisar   1 juta orang. Sebagian besar merupakan  orang Melayu , yakni Melayu Muda (Deutero Melayu) yang sudah mendapat pengaruh kebudayaan luar seperti kebudayaan Hindu, Islam, Eropa,  dll. Suku Melayu konon sudah ada di Jambi 3500 tahun sebelum Masehi. 

Suku-suku asal di Provinsi  Jambi ada tujuh di antaranya suku Kubu atau Anak Dalam dan Kerinci, Penghulu, Batin, Pindah,  Bajau dan Melayu. Suku Kubu Disebut Anak Dalam karena mereka tinggal di pedalaman, berpindah-pindah dan tersebar di hutan di daerah sungai Batanghari. Suku Kerinci berasal dari ras Proto Melayu (Melayu Tua) yang bermigrasi dari Hindia Belakang, melalui Sungai Batanghari kemudian tiba di Dataran Tinggi Kerinci.  Suku Penghulu berasal dari Minagkabau. Suku Batin berasal dari pegunungan di barat daya. Suku Ameng (Pindah) berasal dari Rawas.  Suku Bajau yang termasuk Proto Melayu disebut orang Laut karena tinggal di pantai. Tidak seperti suku-suku yang lain yang hidup bertani, suku Bajau hidup sebagai nelayan. 

Meskipun tergolong kota kecil Jambi memiliki kelebihan karena memiliki sungai Batanghari yang besar sehingga  Jambi memiliki pelabuhan di samping memiliki bandara. Dari Pelabuhan tersebut ribuan kapal keluar  mengangkut karet, kayu lapis, kayu gergajian dan hasil hutan lainnya. Panjang Sungai Batanghari mencapai 637 kilometer, berasal dari Gunung Kerinci (3.805 meter) di Provinsi Sumatra Barat dan bermuara di Selat Malaka. Kehidupan masyarakat berpusat di aliran sungai Batanghari dan anak-anak sungainya. aku sempat melayari sungai itu untuk merasakan aura kebesarannya,

Sungai Batanghari terancam pendangkalan, penyempitan dan polusi yang berasal dari limbah industri , limbah perkebunan, limbah rumah tangga maupun limbah yang berasal dari penggundulan hutan. Taman Nasional Kerinci Seblat yang terletak pada rangkaian pegunungan Bukit Barisan merupakan kawasan konservasi yang luasnya mencapai 1,5 juta hektar pun terancam keberadaannya sehingga berpengaruh terhadap kelestarian sungai Batanghari. Ji ka pendangkalan terus terjadi maka akses sejauh 150 km dari kota Jambi ke selat Malaka pun terancam karena kapal-kapal besar tidak akan lagi dapat berlayar ke hulu. 

Pada aliran sungai Batanghari ini dulu terdapat kerajaan besar Melayu (abad ke-tujuh) yang meninggal jejak kebesarannya berupa pelbagai bangunan candi Budha seperti Candi Muara Jambi, Candi Astano, Candi Tinggi, Candi Gumpung, Candi Kembar Batu, Candi Gedong, Candi Kedaton, dan Candi Kota Mahligai. Peziarah Budha dari Cina bernama I’tsing pernah tinggal selama dua bulan  di kerajaan Melayu yang berada di tepian Sungai Batanghari tersebut dalam perjalanannya dari  Sriwijaya ke India. Ketika pengaruh Sriwijaya memudar, kerajaan Melayu-Jambi mengambil alih posisi kepemimpinan politik di wilayah itu. “Pengembangan kerajaan dengan perekonomian yang cemerlang di pinggir lembah Batanghari, raja Melayu-Jambi memberi contoh atas kesiapan penduduk maritim menyesuaikan diri dengan perubahan perekonomian” (Pierre-Yves Manguin, 2002:102).

Para pemangku kepentingan menyadari peran penting Batanghari dan melakukan kerjasama untuk menyelamatkannya. Memang harus ada satu manajemen terpadu aliran sungai yang bersifat lintas sektoral dan lintas spasial.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar