Sabtu, 11 Agustus 2012

BUKIT TINGGI DI MALAM HARI


Bandara Kertajati

TATKALA bertugas di Panitia Anggaran ada satu isu politik besar yang menonjol untuk dibahas yaitu mengenai realisasi pembangunan bandara Kertajati di Majalengka.  Majalengka dipilih sebagai lokasi bandara mengalahkan lokasi alternative lainnya : Ciparay di Kabupaten Bandung dan sebuah lokasi lain di Kabupaten  Subang.  Kendati dalam rencana tata ruang regional Jawa Barat ketika itu Majalengka belum direncanakan sebagai tempat bagi sebuah bandara internasional sebagai pintu gerbang Jawa Barat tapi di kalangan eksekutif dan legislative bandara di Majalengka telah menjadi semacam kesepakatan untuk di bangun ditandai dengan adanya anggaran untuk studi kelayakan dlsb. 

Sebagai anggota DPRD 2004-9 dari wilayah Cirebon, aku bersama beberapa anggota lainnya mendapat tugas melihat pelbagai obyek pembangunan di sana termasuk  bandara Kertajati.  Ketika itu di bulan puasa menjelang maghrib kami masih berputar-putar di perkampungan  di tempat di mana bandara tersebut akan dibangun. Sebenarnya bukan hanya sebuah bandara tapi tepatnya sebuah aero city, karena meliputi suatu kawasan bandara serta pelbagai fasilitas penunjangnya yang mencakup wilayah ribuah hektar.  Malamnya kami terus ke Cirebon dan bermalam di sana.
Masalah yang menjadi topic berkaitan dengan pembangunan bandara tersebut adalah mengenai bagaimana mencara dana untuk membangun dan seberapa besar anggaran bisa dialokasikan dari APBD  Jawa Barat untuk  membuat disain, persiapan kelembagaan dan penyediaan lahan.  Pembahasan tersebut menuntun kami untuk melakukan studi ke Padang, karena di sana telah dibangun sebuah bandara baru.  

Padang
Itulah awal mula aku berkunjung ke Padang.  Kami tiba senja hari setelah beberapa saat penerbangan dari Jakarta.  Setelah  check ini di sebuah hotel, aku mengajak Maman Abdurahman dari Fraksi PAN untuk ke Bukit Tinggi, karena acara meninjau bandara baru akan dilakukan keesokan harinya.  Dia setuju dan dengan ditemani beberapa teman lainnya sore itu kami bergegas memasuki bus menuju Bukit Tinggi. 

Perjalanan menuju Bukit Tinggi begitu mempesona. Keluar dari Padang kami melewati jalan-jalan yang berkelok-kelok di antara bebukitan, hutan, sungai dan ngarai. Kami pun melewati beberapa kota seperti Padang Panjang dan kota kecilan lainya. Menjelang maghrib kami tiba di Pandai Sikek. Berhenti sebentar di sana untuk shalat maghrib di sebuah rumah yang dijadikan industri rumahan dan gerai tenun khas Sumatra Barat.  Berbelanja seperlunya kemudian perjalanan pun dilanjutkan.

Jam Gadang
Sekitar isya kami tiba di kota Bukit Tinggi. Kami melewati rumah Bung Hatta yang masih terpelihara dengan baik kemudian ke istana Bukit Tinggi, sebuah tempat bersejarah dalam masa revolusi dan berkaitan dengan perjuangan Bung Karno dan Bung Hatta di sana. Akhirnya kami tiba di objek yang menjadi land mark kota Bukit Tinggi yaitu Jam Gadang. Kami segera turun kemudian memperhatikan dengan seksama dan penuh takjub pada menara tertinggi di kota itu dengan jam besar (gadang) di puncaknya. Tidak lupa kami berkeliling lokasi itu di tengah udara dingin yang menusuk malam itu. Maklum Bukit Tinggi terletak di dataran  tinggi seperti Lembang. 

 Bukit Tinggi terkenal sejak zaman penjajahan sebagai pusat intelektual di Sumatra Barat ditandai dengan banyaknya sekolah-sekolah yang bagus kualitasnya bahkan hingga saat ini. Banyak pula tokoh lahir atau dibesarkan di sana seperti Bung Hatta. Puas rasanya bisa mengunjungi kota ini meski hanya beberapa menit saja, karena kami harus kembali ke Padang malam itu juga. Dalam perjalanan pulang kami singgah di sebuah pasar tradisional yang menjadi pusat kuliner khas Bukit Tinggi.  Tidak lupa kami mampir ke sebuah pusat oleh-oleh untuk membeli satu dua bungkus keripik singkong balado yang pedas.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar