Selasa, 27 Agustus 2013

Transit di Bandara Internasional Kolombo Sri Lanka



Perjalanan selalu memiliki sesuatu yang tidak terduga, kejutan atau bisa juga sebuah misteri. Itu kualami saat kembali dari Mesir menuju tanah air.  Pengalaman seperti itu seringkali kualami dan membuat setiap perjalanan selalu menarik meski dari dan ke tempat yang sama. Itu kualami di bandara Kairo, Dubai dan Srilanka.

Saat hendak kembali ke Jakarta aku menunggu  agak lama pesawat agak lama di bandara Kairo.  Saat  shalat maghrib di mushola kacamataku tertinggal di tempat wudhu .  itu baru kusadari saat selesai shalat.  Situasi di mushola sangat ramai. Aku sudah melangkah meninggalkan tempat itu dan tiba-tiba merasa padanganku buram.  Ternyata aku tidak berkacamata. Akupun segera bergegas ke mushola. Setengah tidak percaya di sana seseorang telah menyimpan kacamataku. Rasanya seperti bertemu malaikat. “thank you”  atau “syukran” kataku padanya. Dia pun tersenyum. Alhamdulillah. Masih di bandara aku berkeliling mencari sesuatu khas Mesir. Nafsu berbelanjaku cukup tinggi, hanya  saja persediaan pound  Mesir di sakuku yang membatasinya. Lumayan, aku mendapat beberapa VCD belly dance.

Menjelang tengah malam pesawat yang membawaku dari Mesir tiba di bandara Dubai. Transit di sana agak lama sehingga kami bisa berjumpa dengan beberapa kawan yang hendak pulang ke Indonesia. Para pengusaha furniture dari Cirebon itu Nampak ceria  karena barang-barang yang dipamerkannya di Index Dubai menarik buyers di kawasan Timur Tengah dan Eropa. Selain barang yang dipamerkan laku terjual, merekapun mendapatkan kontrak penjualan.

Setelah beberapa jam transit pesawat pun meninggalkan Dubai menuju Jakarta.  Mendapatkan tempat duduk di sebelah kanan aku diapit oleh Bachtiar dari TVRI Jabar Banten di sebelah kanan  dekat jendela dan di sebelah kiri oleh seorang gadis manis asal Inggris. Meski aku sempat berkenalan tapi aku lupa namanya. Dia seorang volunteer  (relawan) dari sebuah organisasi social internasional yang bertugas di Sri Lanka yang saat itu dilanda perang saudara. Bachtiar menyebutnya “si emak”.  Dari situlah aku baru menyadari bahwa pesawat akan mendarat di Sri Lanka.

Benar saja. Setelah beberapa jam penerbangan pesawat mendarat di sebuah landasan bandara pada pagi hari. Kru pesawat memberitahu penumpang bahwa pesawat telah mendarat di bandara internasional Kolombo. Penumpang tujuan Kolombo pun bergegas merapikan diri, berkemas mengangkat kopor dan barang bawaan dan pelahan meninggalkan pesawat sambil terkantuk-kantuk, termasuk “si emak”.  Pesawat transit selama kuranglebih satu jam. Beberapa penumpang turun ke bandara.  Disergap kantuk berat aku hanya berdiam diri di pesawat, sambil sesekali mengintip ke luar jendela. Di kejauhan hanya rimbun pohon kelapa yang kulihat, karena Kolombo memang terletak di tepi Samudra Indonesia (di peta ditulis Samudra Hindia).

Kolombo adalah ibukota Sri Lanka, Negara yang saat itu dilanda konflik antara etnis Sinhala yang merupakan 70% populasi  yang beragama Budha dengan etnis Tamil yang merupakan 20% populasi dan beragama Hindu.  Konflik disebabkan karena orang Tamil keberatan bahasa Sinhala dijadikan bahasa resmi Negara. Menurut sejarah, orang Sinhala menyebrang dari India enam abad sebelum Masehi dan mendirikan kerajaan Sinhala selama kurang lebih 2000 tahun, sedangkan Tamil yang juga dari India datang belakangan dan mendirikan kerajaan Tamil di utara.  Nama Sri Lanka berasal dari bahasa Sinhala yang artinya “tanah yang gilang gemilang” digunakan sejak tahun 1972 menggantikan nama Sailan.


Kamis, 02 Mei 2013

Menyaksikan Mummi Firaun di Museum Nasional Mesir



Beberapa Tempat  Menarik Di  Kairo

The Egyptian Museum, Cairo


Sebagai Negara dengan kebudayaan tertua di dunia Mesir memiliki banyak peninggalan sejarah dan obyek pariwisata. Di samping piramida, sungai Nil, pasar El Khalili, dan Masjid  Al Azhar masih ada beberapa tempat menarik lainnya yang bisa dikunjungi di Mesir. Berikut ini adalah beberapa tempat di seputar Kairo:

1.      Museum Nasional Mesir (The Egyptian Museum)  

Museum ini merupakan tempat dari warisan kebudayaan dan sejarah Mesir yang panjang.  Terletak di pusat kota, museum nasional dikunjungi wisatawan dari pelbagai penjuru dunia terutama dari Negara Eropa. Koleksinya sangat lengkap mencapai 120.000 item benda bersejarah dan penataannya baik seperti di pertokoan.  Boleh dikatakan museum nasional merupakan harta karun Mesir yang sesungguhnya karena menyimpan benda-benda bersejarah sejak ribuan tahun sebelum Masehi. didirikan tahun 1835 museum ini sempat berpindah-pindah hingga akhirnya tahun 1902 berpindah ke tempat yang sekarang yaitu di Tahrir Square . Untuk memasuki museum ini pengunjung dipungut biaya LE 50 (50 pon Mesir). sayangnya pada Revolusi Mesir 2011 museum sempat mengalami kerusakan, dua mummi dirusak demikian juga beberapa artefak.

Ada dua lantai utama di Museum  yaitu  lantai dasar dan lantai satu. Di lantai dasar terdapat koleksi papyrus dan koin di zaman kuno. Papyrus dalam bentuk fragmen kecil karena usianya yang melebihi dua ribu tahun. Sedangkan koin terbuat dari pelbagai metal yang berbeda yakni emas, perak dan perunggu dari Mesir, Yunani, Romawi dan Islam. Terdapat pula artefak dari New Kingdom, pada periode 1550-1069 SM termasuk patung, meja dan sarcophagus (peti mati). Ada pula item dari kuburan Firaun Thutmosis III, Thutmosis IV, Amenophis II, Hatshepsut dan banyak artefak dari Lembah Raja- Raja.

2. Museum Mummi 

Bagian paling berharga dan presitisius di museum nasional Mesir  ini adalah museum yang menyimpan mumi raja-raja Mesir.  Museum ini dijaga ketat oleh aparat keamanan yang bersenjata lengkap. Pengamanannya pun berlapis=lapis, salah satunya melalui metal detector. Tiket masuknya pun lumayan mahal yaitu LE 100 (100 pon Mesir).

Museum mummi  (Royal Mummy Room) yang memajang 11  mummi kerajaan pada masa Pharaoh (Firaun). Para sejarawan kesulitan menentukan masa kekuasaan para Firaun tersebut.  Tapi mereka memperkirakan Sneferu berkuasa sekitar tahun 2620 SM   dan Akhenaten berkuasa tahun  1350 SM. Mummi Firaun yang berkuasa pada zaman Nabi Musa AS juga dipajang di sana. Mummi Firaun itulah obyek paling menarik bagiku. Tidak pernah terbayangkan Mummi Firaun ada di depan mataku. Penguasa yang ingin dipertuhan ini terbujur kaku dalam bentuk mummi yang berwarna kehitaman. Dalam Al Quran diceritakan Nabi Musa AS atas pertolongan Allah membelah laut Merah dengan tongkatnya sehingga bisa menyebrang bersama ummatnya. Firaun dan para pengikutnya mengejar melalui jalan itu, tapi laut Merah menutup dan binasalah mereka . namun Allah SWT menghendaki agar jasad Firaun diselamatkan agar manusia dapat melihatnya sebagai tanda kekuasaanNya. Jasad itu terbujur kaku di depanku dalam bentuk mummi.


3.  Benteng Salahuddin Al Ayubi (The Saladin Citadel)

terletak bukit di bukit dekat pusat kota Kairo. Benteng ini memiliki  udara yang segar dengan pemandangan yang indah ke kota Kairo. Kini benteng Saladin menjadi tempat cagar budaya dengan masjid dan museum. Untuk memasuki benteng ini pengunjung dipungut biaya LE 40 (40 pon Mesir).

Benteng dibangun oleh pemimpin dinasti Ayubi, Salahuddin, antara tahun 1176-1183 untuk berlindung dari kaum Salib. Beberapa tahun setelah mengalahkan Khalifah Fatimiyah, Salahuddin membangun tembok besar yang meliputi Kairo dan Fustat, dengan maksud agar tentaranya dapat mempertahankan dua kota tersebut sekaligus, dan menurutnya adalah baik untuk mengelilinginya dengan tembok dari satu tepian ke tepian sungai Nil lainnya.  

Benteng terdapat di pusat tembok dank arena dibangun di bukit maka akan sulit untuk diserang. Di benteng itulah pemerintahan Mesir sampai abad ke-19. Untuk memasok air ke benteng, Salahuddin membuat sumur sedalam 85 meter yang dinamakan sumur Yusup yang dikenal sebagai sumur spiral karena menggunakan 300 lingkaran menuju sumur. Air dari sumur dinaikkan ke permukaan dan kemudian ke benteng dengan menggunakan serangkaian jembatan air (aqueduct). Sumur itu kemudian ditambah dengan kincir air dari Sungai Nil di masa Nasir Muhammad dari dinasti Mamluk.     

Nasir juga membangun kembali masjid dan kemudian diberi nama masjid Nasir di tahun 1318. Masjid ini seperti replica masjid Biru (Blue Mosque) di Istambul Turki. Masjid ini memiliki tata akustik yang bagus sehingga tidak diperlukan adanya pengeras suara. Suara imam masjid dan khatib dapat terdengar jelas oleh para jamaan yang melaksanakan shalat berjamaah di dalamnya.     

Aku sempat berpose dengan menggunakan busana perang Salahuddin berupa jubah berwarna merah dengan topi dan penutup dada dari besi, lengkap dengan perisai dan pedang.


4.       Museum Papirus

KATA papyrus melalui bahasa Latin berasal dari bahasa Yunani papuros. Dalam bahasa Arab disebut Bardy atau Warak. Tanaman papyrus berada di delta sungai Nil. Papyrus sangat penting di masa Mesir Kuno. Saat teknologi pengolahan papyrus ditemukan maka Mesir memonopoli papyrus dan bahkan mengekspornya ke Negara lain.

Tanaman papyrus berada di delta sungai Nil. Tingginya bisa mencapai 4-5 meter dan dipanen pada bulan Oktober-Desember setelah terjatuh kerena banjir. Orang Mesir Kuno membuat papyrus menjadi kertas sejak 3000 SM. Tidak Cuma dibuat kertas, papyrus juga menjadi komponen pembuatan perahu, tambang dan keranjang. Akarnya bisa  untuk bahan bakar, batangnya yang kering bisa dibuat tikar, peti, meja dan sandal. Mengapa papyrus dibuat menjadi kertas karena ringan, kuat dan tipis, tahan lama dan mudah dibawa.

Teknik modern produksi papyrus di Mesir saat ini dikembangkan tahun 1962 oleh Dr Hassan Rajab, seorang insinyur Mesir yang lama terpesona oleh teknis misterius Mesir Kuno. Dalam rangka menemukan kembali pembuatan kertas papyrus di Mesir, dia membawa pohon papyrus dari Sudan dan Ethiopia dan membuat perkebunan papyrus terbesar di dunia di Pulau Yakub di Giza yang sekarang dikenal sebagai Desa Firaun.

Dr Hassan Rajab kemudian membuka Institut Papyrus di tahun 1968 dalam upaya membangun kembali teknik kuno dan menunjukkan pada public. Kini museum itu adalah suatu toko yang diakui pemerintah dalam membuat dan menjual papyrus yang asli dalam bentuk pelbagai souvenir dan pakaian Firaun-an. Institut Papyrus Hassan Ragab yang  juga dikenal sebagai Museum Papyrus berada di sisi barat sungai Nil, satu kilometer dari pusat kota Kairo. Museum memiliki koleksi reproduksi papyrus dan lukisan terkenal dari Mesir kuno.  Selama tahun 1970-80an tempat ini menjadi destinasi wisata ketiga terpenting di Mesir setelah Piramid dan Museum Mesir.  

5.      Toko Wewangian

Salah satu tempat yang bisa dikunjungi di Kairo adalah toko parfum.  Ada banyak toko parfum di sana yang bisa kita kunjungi. Saya mengunjungi salah satu di antaranya. Toko yang kukunjungi menyediaakan minyak esensial dan minyak untuk  aromatherapy.   Aromatherapy baik untuk penyembuhan spiritual dan membuat orang memperoleh energy atau relaks.

Manajer toko menjelaskan bahwa Ada tiga kelompok wewangian yang berbeda. Yang pertama adalah Sari Bunga (flower essences) yang hanya berasal dari satu macam bunga. Kelompok kedua adalah campuran (essence blends) yang bisa terdiri dari lima sampai tujuhpuluh bunga, kelompok ini menjadi dasar dari pelbagai parfum yang terkenal.  Dan yang terakhir adalah kelompok ketiga adalah rempah-rempah (spices) yang berasal dari pepohonan  yang dibawa oleh binatang. 

Perusahaan memiliki lahan di Faiyoum (90 km dari Kairo) dan memanen bunga dua kali dalam setahun. (di Indonesia kita bisa panen bunga setiap hari). Kemudian sarinya diambil dengan mesin  kayu yang digerakkan tangan. Sari (essence) dimasukkan ke dalam kendi yang terbuat dari batu pualam, tidak menggunakan plastic karena zat kimianya  bisa bercampur dengan essence. Sari bunga kemudian disimpan di tempat gelap supaya lebih menyatu. 60% diekspor ke Perancis. Di sana perusahaan mencampurnya dengan tambahan kimia dengan merek dan kemasan yang menarik dan dengan harga yang menarik pula tentunya.

Toko parfum juga menjual botol-botol yang fancy  terbuat dari kaca yang kuat yang dinamakan pyrex. Botol-botol ini ditiup  diwarnai dengan tangan sehingga setiap botol unik. Botol ini digunakan untuk menyimpan essence dan bisa dijadikan dekorasi di rumah.

 Aku membeli sari bunga untuk aromaterapi di rumah. Namun aku kadang menggunakannya sebagai parfum dengan mengoleskannya sedikit di bagian tengkuk terutama pada saat menjelang shalat Jumat.  Memang terbukti bagus, meski sudah kugunakan bertahun-tahun, essence di botol baru terpakai 25% saja. Harumnyapun masih bertahan seperti semula. Sayang aku tidak membeli botol pyrex yang lucu itu  karena harganya mahal.


    


Selasa, 16 April 2013

Menikmati Secangkir Kopi Turki di Pasar El Khalili



Pedagang Cinderamata di Pasar El Khalili 

Tanggal 10 November 2006 aku masih berada di Kairo. Ketika itu matahari sedang terik. Dengan beberapa teman kami berkunjung ke sebuah pasar tradisional yang termasyhur di kota itu. Namanya pasar El Khalili atau dalam bahasa setempat disebut Khan El Khalili. Anda yang menonton film Ketika Cinta Bertasbih bisa melihat di film itu bagaimana situasi keramaian pasar El Khalili.  Acara kami yang pertama adalah makan siang di sebuah kedai. Setelah itu dilanjutkan dengan menjelajahi lorong-lorong pasar yang suasananya seperti di Pasar Kota Kembang Bandung. Bedanya jika di Pasar Kota Kembang Bandung hanya menjual tekstil di sana segala macam barang dijual terutama souvernir.

Setelah berkeliling menyaksikan keriuhan  jual beli di pasar kami sampai di sebuah tempat di salah satu sudut di lorong pasar itu. Namanya Khan El Khalili Restaurant & Naguib Mahfouz Cafe. Bagian muka restoran itu kecil saja dan tidak menonjol. Bedanya di bagian depan ada dua orang penerima tamu berseragam warna merah seperti prajurit di Keraton Yogyakarta.  Restoran ini adalah tempat terkenal di pasar itu bahkan di Kairo atau Mesir dan menjadi tempat tujuan wisatawan dunia berkunjung. Tidak tanggung-tanggung restoran itu dioperasikan oleh hotel Oberoi. Restoran itu sedemikian terkenal karena di tempat itulah Najib Mahfuz (Naguib Mahfouz) seorang novelis Mesir yang mendapat Hadiah Nobel Sastra di tahun 1988 sering bekunjung semasa hidupnya.  Khan el-Khalili dan Miqdad Alley adalah dua novelnya yang berlatar belakang suasana pasar itu.

Najib Mahfuz (Naguib Mahfouz)
Pengunjung Khan El Khalili Restaurant & Naguib Mahfouz Cafe sangat ramai siang itu, kebanyakan wisatawan manca terutama dari Eropa. Mereka kebanyakan makan siang di bagian dalam restoran itu. Karena kami sudah makan siang di kedai maka kami bertiga (Siswanda, aku dan mas Pemandu) hanya duduk-duduk di cafe untuk minum masing-masing secangkir kecil  Turkish Coffee (kopi Turki).  Kopi Turki itu sangat pekat, begitu pekatnya sehingga aku menganggap seisi cangkir adalah “endek-endek” semua. Rasanya sangat pahit dan begitu kita teguk rasa kopi itu langsung menjalar sampai ke kepala. Apa boleh buat sudah dipesan dan harus dibayar. Secangkir harganya LE 10 (10 pon Mesir).  Sebenarnyabukan kopi itu yang menjadi kenangan berharga, melainkan  Najib Mahfuzlah yang memberi arti.

Tempat di  mana aku minum siang itu adalah tempat di mana novelis Mesir itu biasa duduk mencari inspirasi untuk karya-karyanya. Najib mengamati orang-orang yang hilir mudik dan berjual beli di pasar El Khalili atau merasakan keriuhan pasar sambil minum kopi atau minuman lain kesukaannya.  Meja kursi kafe di sudut Najib Mahfuz itu masih dipertahankan seperti apa adanya, bahkan disediakan pula buku-buku yang ditulis semasa hidupnya. Pengunjung bisa menikamti minuman di situ sambil membaca buku-bukunya yang ditulis dalam bahasa Arab  sambil membayangkan Najib Mahfuz. Kafe itu memang dibuat untuk mengenang Najib. “Khan El Khalili Restaurant & Naguib Mahfouz Cafe, created as tribute to the Nobel Laureate novelist, since their opening, have become a landmark of thispart of Khan, andhave been patronized by writers, artists, inteellectuals and tourist ever since...”.

Najib mahfuz punya menu minuman kesukaan yang oleh pengelola Khan El Khalili Restaurant & Naguib Mahfouz Cafe dipertahankan dengan nama Naguib Mahfouz. Akupun memesan minuman itu, soft drink yang berwarna merah muda seperti sirup cincau di ini, dengan rasa masam karena terbuat dari tamarin atau asam Jawa.  Secangkir besar harganya LE 13 (13 pon Mesir).  Sambil menikmati minuman tersebut aku minta pemanduku membacakan sebuah buku karya Najib.  Maka sempurnalah acara minum-minum siang itu.

Kota Kairo


Tentu saja aku tidak melupakan untuk membeli beberapa souvenir. Apalagi kalau bukan CD dari album penyanyi Mesir kenamaan Ummi Kalthoum. Akupun menyempatkan melihat toko rempah-rempah yang menjadi salah satu daya tarik KhanEl Khalili.  Acara hari itu kemudian kututup dengan mengunjungi Masjid Iman Husein di sebrang pasar untuk melaksanakan shalat Ashar dan sekaligus berziarah. Konon yang dimakamkan di sini hanya kepala Iman Husein saja. Wallahu alam.

Jumat, 29 Maret 2013

Masjid Al Azhar Kairo

Masjid M. Ali



Akhir tahun 2006

Setelah mengunjungi piramida Giza dan menikmati keindahan sungai Nil, aku berkesempatan mengunjungi beberapa masjid-masjid yang indah di Kairo. Salah satu masjid yang kukunjungi tidaklah terlalu indah dan megah tetapi merupakan salah satu masjid yang tertua, yaitu masjid Al Azhar. Masjid ini dibangun sekitar tahun 1200an,  pada era Majapahit masih berkuasa di Nusantara.  Aku merasa beruntung dapat mengunjungi masjid ini, apalagi pada saat shalat Jumat tiba. Siang itu aku bersama tiga orang teman diantar seorang pemandu dari Mesir dan pemandu dari Indonesia yang sedang mengambil gelar magister di Universitas Al Azhar Kairo.  Di  luar  masjid suasana yang tidak biasa sudah terasa. Mobil-mobil baracuda dan panser kepolisian Mesir sudah berjajar di sekitar masjid. Polisi berseragam hitam menenteng senapan dalam posisi siap siaga. Memasuki pintu gerbang masjid polisi berpakaian preman berjajar di kiri kanan pintu masuk sambil mengawasi para jamaah yang datang.

Setelah melewati  halaman masjid yang terbuka kamipun duduk di dalam bagian masjid yang beratap.  Tiang-tiang dan kolom-kolom masjid terbuat dari kayu yang berukir seperti bangunan masjid Demak atau masjid Sang Ciptarasa Cirebon.  Cahaya di dalamnya agak remang mungkin dipengaruhi oleh warna masjid yang kebanyakan berwarna hitam.  Satu-satu jamaah memenuhi masjid. Pakaian mereka kebanyakan seperti pakaian orang-orang di Indonesia, bercelana panjang dan berkemeja atau polo shirt bahkan t-shirt.  Postur tubuh mereka tidak terlalu tinggi, kebanyakan berkulit putih dengan wajah Arab, yang nampak dominan adalah hidung mereka yang mancung dan rambut mereka yang keriting halus.
Setelah adzan berkumandang, seorang imam  dengan jubah dan sorban menaiki mimbar yang bertangga.  Dia berdiri di tengah tangga dan berkhutbah dalam bahasa Arab.  Beberapa kamera dari pelbagai stasiun televisi nampak di antara deretan jamaah.  Selebihnya tidak ada bedanya dengan shalat jumat yang diselenggarakan di Indonesia.

Saat imam dan jamaah mengucapkan salam, yang artinya shalat telah berakhir , saat itulah terjadi keramaian di dalam masjid. Beberapa orang membuka spanduk dan berteriak mengucapkan yel-yel.  Rupanya ada demonstrasi. Para awak televisi bergegas mengabadikan momen tersebut. Seorang demonstran digendong pada bahu demonstran lain sehingga nampak menonjol kemudian mengepal-ngepalkan tangannya sambil berteriak dalam bahasa Arab : demi jiwa,  demi darah.  Rupanya mereka berdemonstrasi mendukung tentara Hezbollah Lebanon yang dihujani rudal Israel bahkan beberapa diantaranya tewas.

Dari dalam ruangan demonstran bergerak ke halaman masjid yang terbuka dan kemudian berakhir di sana. Rupanya pihak kepolisian mesir hanya memberi toleransi pada mereka  berdemonstransi di dalam masjid. Pemanduku mengatakan bahwa begitu mereka bergerak untuk berdemonstrasi ke luar halaman masjid maka pihak kepolisian segera menangkap mereka.  Dengan berakhirnya demonstrasi, para polisi yang bertugas segera berbaris dan  memasuki kendaraan kemudian meninggalkan masjid.

Siang hari di Kairo setelah shalat Jumat memang terik tetapi tidaklah terasa terlalu panas karena suhu di Mesir ketika itu lumayan dingin. Kami kemudian mencari tempat makan siang yang tidak terlalu jauh dari situ.  Seingat ku kami kemudian makan di salah satu kedai di pasar El Khalili

Berlayar di Sungai Nil



Sungai Nil dapat dikatakan sebagai kehidupan dan ikon Mesir. Semua kehidupan berpusat di sepanjang sungai ini.  Mengalir dari atas Mesir menuju lower Egypt  dan berakhir di laut Mediterania yang mempertemukan Asia, Eropa dan Afrika.  Sesungguhnya sungai itu berasal dari  Danau Vicotria di jantung Afrika, melintasi pelbagai negara  seperti Uganda dan Sudan sebelum tiba di Mesir.  Bahkan anak sungainya berasal dari Kongo, Tanzania, Kenya dan Ethiopia. Aliran sungai itu menjadi  berkah dan keindahan tiada tara bagi negara Mesir yang berupa padang pasir luas.  Irigasi dibuat sedemikian baiknya antara lain dengan membuat bendungan Aswan  hingga tiada setetes pun air dari sungai itu melainkan menjadi sumber kehidupan bagi manusia, flora, fauna  dan alam semesta. Saat sungai itu tiba di Kairo, ia menjadi pemandangan yang menakjubkan dan membuatku terharu untuk kemudian ingat pada Nya dan bersyukur diberi kesempatan melihatnya. 

Siang itu kami sempat makan siang di sebuah restoran terapung di sungai Nil. Restoran terapung itu berupa sebuah kapal yang berlayar menyusuri kota Kairo. Bersantap siang di sebuah kapal yang berlayar di siang yang terik tentu menjadi kenangan yang tidak terlupakan.  Apalagi sungai Nil sangat bersih, tidak dipenuhi sampah seperti sungai-sungai kita. Tampak bersama  kami banyak wisatawan dari negara lain terutama dari Eropa. Orang China pun ada. Nampaknya mereka adalah delegasi perdagangan yang sedang berpromosi.  Mereka makan sangat sederhana dan hemat tapi promosinya  luar biasa. Saat makan siang selesai dan kapal merapat ke dermaga, kulihat di  front desk banyak brosur dan majalah mereka. ketika  kubaca, majalah mereka tidak saja berbahasa Inggris tetapi juga berbahasa Arab. Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar setahuku tidak membuat media promosi perdagangan dalam bahasa Arab. 

Di malam  hari bulan November 2006, Sungai Nil tetap memancarkan pesona.Kali ini aku mencoba mengikuti acara nightlife yang diselenggarakan The Pharaohs Cruising Restaurants. Prinsipnya sama dengan restoran terapung di siang hari hanya saja kapalnya lebih besar  lebih mewah  dan terdiri dua lantai dengan eksterior dan interior ala kerajaan di masa Firaun. Sejak memasuki pelataran parkir kemudian menuju dermaga situasinya sudah terbangun sebagai kehidupan ke rajaan dengan pengawal-pengawal berbusana khas Mesir.  Saat pengunjung telah memenuhi kursi yang tersedia, kapal pun melepas sauh dan pelahan-lahan meninggalkan dermaga untuk melayari sungai Nil. Kota Kairo nampak gemerlapan di malam hari, sementara di sungai kapal-kapal dan perahu kecil berlalu lalang dalam kegelapan. Cahaya warna-warni muncul dari kapal-kapal itu menambah indah pemandangan.

Makan malampun dimulai ala prasmanan. Ada minuman, kudapan berupa kue-kue, buah-buahan dan menu utama berupa nasi dan roti dengan lauk pauk khas Mesir berupa masakan dari daging dan ikan dengan bumbu rempah yang kuat. Makanan dengan menu Eropa dan sea food juga tersedia. Saat pengunjung bersantap malam di meja mereka masing-masing, hiburan pun dimulai. Hiburan utama adalah tari perut (belly dance). Seorang penari berwajah Arab berambut pirang pun muncul dengan  iringan musik timur tengah. Busana yang dikenakan sangat khas penari perut : rok dan penutup dada warna  hijau metalik dengan hiasan untaian manik-manik keemasan yang gemerlapan.  Keindahan tarian itu menyatu dengan keindahan sang penari sehingga memukau pengunjung dari awal hingga akhir. Saat semua imajinasi dan hasrat memuncak, sebuah pertunjukan yang memberi keseimbangan dihadirkan. Seorang laki-laki berpakaian darwis dengan menggendong boneka bayi masuk ke tengah-tengah ruangan menarikan tarian sufi berupa gerakan memutar yang tiada habis-habisnya.  Gerakan memutar dan kibasan busana yang digunakan dalam iringan musik sufi mengingatkanku pada Jalalludin Rumi. Bukan hanya itu, tarian itu tiba-tiba saja mengingatkanku dan mungkin juga pengunjung yang lain pada kematian.  

Andai kita tidak ingin berpesiar dengan kapal melayari sungai Nil, kita dapat datang ke sebuah restoran di tepi sungai di malam hari agar kita bisa memandang kehidupan malam di sungai dan gemerlap lampu-lampu dari gedung jangkung di sebrang sungai. Ini pun tidak kalah asyiknya. Sambil bercengkrama dengan teman kita bisa menikmati hasis, yaitu rokok ala Arab dengan menggunakan alat pengisap seperti saxophone. Ketika kita mengisap ujungnya maka air di dalam alat itu memunculkan gelombang udara, sementara kita memperoleh kesegaran dari asap tembakau yang terisap.  Rasa hasis bisa bermacam-macam tergantung selera, misalnya rasa mint atau menthol.

Rabu, 06 Februari 2013

Mengunjungi Mesir


                                                                         
                                                                           Piramida Di Giza

Beberapa hari ini media televisi menayangkan berita Presiden Republik Indonesia SBY sedang berada di Saudi Arabia untuk melaksanakan umrah. Meskipun demikian yang nampak di layar kaca adalah pidato SBY meminta KPK untuk mempercepat proses pemeriksaan Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi Hambalang.  Hari ini running text memunculkan berita SBY sudah berada di Mesir dan mengunjungi asrama mahasiswa Indonesia. maka ingatanku segera saja terbang ke Kairo.  

Dubai-Kairo
Ketika berada di Dubai awal November 2006 aku ditugasi teman-teman untuk mengunjungi Kairo untuk melihat realisasi penggunaan bantuan dari APBD Jawa Barat yang diberikan pada para mahasiswa asal Provinsi Jawa Barat yang sedang melanjutkan studi di Universitas Al Azhar.  Kebetulan pak Agustiar, Kadis Indag mengajakku ke sana, maka berangkatlah aku  kesana bersama beberapa orang: Kohar kepala Biro di Gedung Sate, Bachtiar reporter TVRI, nyonya Kohar, nyonya Agustiar, Siswanda  dan aku.  Agustiar menyusul setelah berkunjung ke Kedubes RI di Qatar.

Dari bandara internasional Dubai pesawat Emirates menerbangkan kami melintasi jazirah Arabia, menyebrangi Laut Merah kemudian melintas di  benua Afrika, di negri Mesir, untuk kemudian mendarat di bandara Kairo. Hari telah malam ketika kami tiba. Dari sama kami kami melewati jalan-jalan kota Kairo untuk kemudian tiba di hotel Zoser yang berada di provinsi Giza. Pemandangan yang tidak biasa adalah banyak aparat keamanan bersenjata lengkap bahkan sampai di lobby hotel.  Suhu sangat dingin malam itu.

Gedung KBRI 

Kedubes RI
Acara pertama di Mesir adalah mengunjungi Kedutaan Besar Republik Indonesia di jantung kota Kairo. Gedung Kedubes sangat megah seperti gedung Bank Indonesia yang ada  di Bandung.  Aku tak bisa menyembunyikan rasa banggaku berada di sana. Ketika itu sedang berlangsung Indonesia Day  yang diisi pameran produk-produk Indonesia dan pertunjukan kesenian oleh masyarakat Indonesia yang ada di sana. Pak Dubes dan para atase menyambut kami dengan senang.  Bagiku rasanya seperti mimpi berada di sana di antara saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air.
Hubungan diplomatik IndonesiaMesir  dimulai pada tanggal 10 Juni 1947 setelah ditandatangani perjanjian persahabatan antara Menteri Luar Negeri Indonesia, H. Agus Salim dan Perdana Menteri Mesir, Mr. Fahmy El Nouikrasyi. Dua bulan kemudian berdiri Kantor Perwakilan Indonesia di Mesir dengan HM Rasyidi sebagai kuasa usaha. Pada tanggal 25 Februari 1950 kantor itu ditingkatkan menjadi Kedutaan Besar Republik Indonesia dengan HM Rasyidi sebagai duta besar pertama. Sampai sekarang Pemerintah Indonesia telah menempatkan 18 duta besar luar biasa dan berkuasa penuh di Mesir.

Dari kedubes kami langsung mengunjugi para mahasiswa Indonesia asal Jawa Barat di dekat kampus Al Azhar. Mereka menunjukkan asrama yang sedang direnovasi  antara lain untuk dijadikan balai pertemuan mahasiswa.

Piramida Giza
Keesokan paginya kami berkunjung ke piramida Giza, disebut demikian karena piramida tersebut berada di provinsi Giza.   Aku setengah tidak percaya berada di antara tiga piramida yang biasanya hanya kulihat di media cetak atau televisi.  Kami berlima terkagum-kagum melihat bangunan yang terbuat dari tumpukan batu-batu besar berusia ribuan tahun tersebut.
Piramida Agung Giza adalah piramida tertua dan terbesar dari tiga piramida yang ada di Nekropolis Giza dan merupakan satu-satunya bangunan yang masih menjadi bagian dari Tujuh Keajaiban Dunia. Dipercaya bahwa piramida ini dibangun sebagai makam untuk firaun dinasti keempat Mesir, Khufu (Χεωψ, Cheops) dan dibangun selama lebih dari 20 tahun dan diperkirakan berlangsung pada sekitar tahun 2560 SM. . Piramida ini kadang-kadang disebut sebagai Piramida Khufu

Tidak lupa kamipun mengunjungi patung singa berkepala manusia atau sphynx.  Hidung patung itu tidak utuh lagi, konon dipatahkan oleh tebasan pedang para prajurit Islam yang tiba di Mesir di masa Khalifah Rasyidin.