Jumat, 29 Maret 2013

Masjid Al Azhar Kairo

Masjid M. Ali



Akhir tahun 2006

Setelah mengunjungi piramida Giza dan menikmati keindahan sungai Nil, aku berkesempatan mengunjungi beberapa masjid-masjid yang indah di Kairo. Salah satu masjid yang kukunjungi tidaklah terlalu indah dan megah tetapi merupakan salah satu masjid yang tertua, yaitu masjid Al Azhar. Masjid ini dibangun sekitar tahun 1200an,  pada era Majapahit masih berkuasa di Nusantara.  Aku merasa beruntung dapat mengunjungi masjid ini, apalagi pada saat shalat Jumat tiba. Siang itu aku bersama tiga orang teman diantar seorang pemandu dari Mesir dan pemandu dari Indonesia yang sedang mengambil gelar magister di Universitas Al Azhar Kairo.  Di  luar  masjid suasana yang tidak biasa sudah terasa. Mobil-mobil baracuda dan panser kepolisian Mesir sudah berjajar di sekitar masjid. Polisi berseragam hitam menenteng senapan dalam posisi siap siaga. Memasuki pintu gerbang masjid polisi berpakaian preman berjajar di kiri kanan pintu masuk sambil mengawasi para jamaah yang datang.

Setelah melewati  halaman masjid yang terbuka kamipun duduk di dalam bagian masjid yang beratap.  Tiang-tiang dan kolom-kolom masjid terbuat dari kayu yang berukir seperti bangunan masjid Demak atau masjid Sang Ciptarasa Cirebon.  Cahaya di dalamnya agak remang mungkin dipengaruhi oleh warna masjid yang kebanyakan berwarna hitam.  Satu-satu jamaah memenuhi masjid. Pakaian mereka kebanyakan seperti pakaian orang-orang di Indonesia, bercelana panjang dan berkemeja atau polo shirt bahkan t-shirt.  Postur tubuh mereka tidak terlalu tinggi, kebanyakan berkulit putih dengan wajah Arab, yang nampak dominan adalah hidung mereka yang mancung dan rambut mereka yang keriting halus.
Setelah adzan berkumandang, seorang imam  dengan jubah dan sorban menaiki mimbar yang bertangga.  Dia berdiri di tengah tangga dan berkhutbah dalam bahasa Arab.  Beberapa kamera dari pelbagai stasiun televisi nampak di antara deretan jamaah.  Selebihnya tidak ada bedanya dengan shalat jumat yang diselenggarakan di Indonesia.

Saat imam dan jamaah mengucapkan salam, yang artinya shalat telah berakhir , saat itulah terjadi keramaian di dalam masjid. Beberapa orang membuka spanduk dan berteriak mengucapkan yel-yel.  Rupanya ada demonstrasi. Para awak televisi bergegas mengabadikan momen tersebut. Seorang demonstran digendong pada bahu demonstran lain sehingga nampak menonjol kemudian mengepal-ngepalkan tangannya sambil berteriak dalam bahasa Arab : demi jiwa,  demi darah.  Rupanya mereka berdemonstrasi mendukung tentara Hezbollah Lebanon yang dihujani rudal Israel bahkan beberapa diantaranya tewas.

Dari dalam ruangan demonstran bergerak ke halaman masjid yang terbuka dan kemudian berakhir di sana. Rupanya pihak kepolisian mesir hanya memberi toleransi pada mereka  berdemonstransi di dalam masjid. Pemanduku mengatakan bahwa begitu mereka bergerak untuk berdemonstrasi ke luar halaman masjid maka pihak kepolisian segera menangkap mereka.  Dengan berakhirnya demonstrasi, para polisi yang bertugas segera berbaris dan  memasuki kendaraan kemudian meninggalkan masjid.

Siang hari di Kairo setelah shalat Jumat memang terik tetapi tidaklah terasa terlalu panas karena suhu di Mesir ketika itu lumayan dingin. Kami kemudian mencari tempat makan siang yang tidak terlalu jauh dari situ.  Seingat ku kami kemudian makan di salah satu kedai di pasar El Khalili

Berlayar di Sungai Nil



Sungai Nil dapat dikatakan sebagai kehidupan dan ikon Mesir. Semua kehidupan berpusat di sepanjang sungai ini.  Mengalir dari atas Mesir menuju lower Egypt  dan berakhir di laut Mediterania yang mempertemukan Asia, Eropa dan Afrika.  Sesungguhnya sungai itu berasal dari  Danau Vicotria di jantung Afrika, melintasi pelbagai negara  seperti Uganda dan Sudan sebelum tiba di Mesir.  Bahkan anak sungainya berasal dari Kongo, Tanzania, Kenya dan Ethiopia. Aliran sungai itu menjadi  berkah dan keindahan tiada tara bagi negara Mesir yang berupa padang pasir luas.  Irigasi dibuat sedemikian baiknya antara lain dengan membuat bendungan Aswan  hingga tiada setetes pun air dari sungai itu melainkan menjadi sumber kehidupan bagi manusia, flora, fauna  dan alam semesta. Saat sungai itu tiba di Kairo, ia menjadi pemandangan yang menakjubkan dan membuatku terharu untuk kemudian ingat pada Nya dan bersyukur diberi kesempatan melihatnya. 

Siang itu kami sempat makan siang di sebuah restoran terapung di sungai Nil. Restoran terapung itu berupa sebuah kapal yang berlayar menyusuri kota Kairo. Bersantap siang di sebuah kapal yang berlayar di siang yang terik tentu menjadi kenangan yang tidak terlupakan.  Apalagi sungai Nil sangat bersih, tidak dipenuhi sampah seperti sungai-sungai kita. Tampak bersama  kami banyak wisatawan dari negara lain terutama dari Eropa. Orang China pun ada. Nampaknya mereka adalah delegasi perdagangan yang sedang berpromosi.  Mereka makan sangat sederhana dan hemat tapi promosinya  luar biasa. Saat makan siang selesai dan kapal merapat ke dermaga, kulihat di  front desk banyak brosur dan majalah mereka. ketika  kubaca, majalah mereka tidak saja berbahasa Inggris tetapi juga berbahasa Arab. Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar setahuku tidak membuat media promosi perdagangan dalam bahasa Arab. 

Di malam  hari bulan November 2006, Sungai Nil tetap memancarkan pesona.Kali ini aku mencoba mengikuti acara nightlife yang diselenggarakan The Pharaohs Cruising Restaurants. Prinsipnya sama dengan restoran terapung di siang hari hanya saja kapalnya lebih besar  lebih mewah  dan terdiri dua lantai dengan eksterior dan interior ala kerajaan di masa Firaun. Sejak memasuki pelataran parkir kemudian menuju dermaga situasinya sudah terbangun sebagai kehidupan ke rajaan dengan pengawal-pengawal berbusana khas Mesir.  Saat pengunjung telah memenuhi kursi yang tersedia, kapal pun melepas sauh dan pelahan-lahan meninggalkan dermaga untuk melayari sungai Nil. Kota Kairo nampak gemerlapan di malam hari, sementara di sungai kapal-kapal dan perahu kecil berlalu lalang dalam kegelapan. Cahaya warna-warni muncul dari kapal-kapal itu menambah indah pemandangan.

Makan malampun dimulai ala prasmanan. Ada minuman, kudapan berupa kue-kue, buah-buahan dan menu utama berupa nasi dan roti dengan lauk pauk khas Mesir berupa masakan dari daging dan ikan dengan bumbu rempah yang kuat. Makanan dengan menu Eropa dan sea food juga tersedia. Saat pengunjung bersantap malam di meja mereka masing-masing, hiburan pun dimulai. Hiburan utama adalah tari perut (belly dance). Seorang penari berwajah Arab berambut pirang pun muncul dengan  iringan musik timur tengah. Busana yang dikenakan sangat khas penari perut : rok dan penutup dada warna  hijau metalik dengan hiasan untaian manik-manik keemasan yang gemerlapan.  Keindahan tarian itu menyatu dengan keindahan sang penari sehingga memukau pengunjung dari awal hingga akhir. Saat semua imajinasi dan hasrat memuncak, sebuah pertunjukan yang memberi keseimbangan dihadirkan. Seorang laki-laki berpakaian darwis dengan menggendong boneka bayi masuk ke tengah-tengah ruangan menarikan tarian sufi berupa gerakan memutar yang tiada habis-habisnya.  Gerakan memutar dan kibasan busana yang digunakan dalam iringan musik sufi mengingatkanku pada Jalalludin Rumi. Bukan hanya itu, tarian itu tiba-tiba saja mengingatkanku dan mungkin juga pengunjung yang lain pada kematian.  

Andai kita tidak ingin berpesiar dengan kapal melayari sungai Nil, kita dapat datang ke sebuah restoran di tepi sungai di malam hari agar kita bisa memandang kehidupan malam di sungai dan gemerlap lampu-lampu dari gedung jangkung di sebrang sungai. Ini pun tidak kalah asyiknya. Sambil bercengkrama dengan teman kita bisa menikmati hasis, yaitu rokok ala Arab dengan menggunakan alat pengisap seperti saxophone. Ketika kita mengisap ujungnya maka air di dalam alat itu memunculkan gelombang udara, sementara kita memperoleh kesegaran dari asap tembakau yang terisap.  Rasa hasis bisa bermacam-macam tergantung selera, misalnya rasa mint atau menthol.