Jumat, 29 Maret 2013

Berlayar di Sungai Nil



Sungai Nil dapat dikatakan sebagai kehidupan dan ikon Mesir. Semua kehidupan berpusat di sepanjang sungai ini.  Mengalir dari atas Mesir menuju lower Egypt  dan berakhir di laut Mediterania yang mempertemukan Asia, Eropa dan Afrika.  Sesungguhnya sungai itu berasal dari  Danau Vicotria di jantung Afrika, melintasi pelbagai negara  seperti Uganda dan Sudan sebelum tiba di Mesir.  Bahkan anak sungainya berasal dari Kongo, Tanzania, Kenya dan Ethiopia. Aliran sungai itu menjadi  berkah dan keindahan tiada tara bagi negara Mesir yang berupa padang pasir luas.  Irigasi dibuat sedemikian baiknya antara lain dengan membuat bendungan Aswan  hingga tiada setetes pun air dari sungai itu melainkan menjadi sumber kehidupan bagi manusia, flora, fauna  dan alam semesta. Saat sungai itu tiba di Kairo, ia menjadi pemandangan yang menakjubkan dan membuatku terharu untuk kemudian ingat pada Nya dan bersyukur diberi kesempatan melihatnya. 

Siang itu kami sempat makan siang di sebuah restoran terapung di sungai Nil. Restoran terapung itu berupa sebuah kapal yang berlayar menyusuri kota Kairo. Bersantap siang di sebuah kapal yang berlayar di siang yang terik tentu menjadi kenangan yang tidak terlupakan.  Apalagi sungai Nil sangat bersih, tidak dipenuhi sampah seperti sungai-sungai kita. Tampak bersama  kami banyak wisatawan dari negara lain terutama dari Eropa. Orang China pun ada. Nampaknya mereka adalah delegasi perdagangan yang sedang berpromosi.  Mereka makan sangat sederhana dan hemat tapi promosinya  luar biasa. Saat makan siang selesai dan kapal merapat ke dermaga, kulihat di  front desk banyak brosur dan majalah mereka. ketika  kubaca, majalah mereka tidak saja berbahasa Inggris tetapi juga berbahasa Arab. Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar setahuku tidak membuat media promosi perdagangan dalam bahasa Arab. 

Di malam  hari bulan November 2006, Sungai Nil tetap memancarkan pesona.Kali ini aku mencoba mengikuti acara nightlife yang diselenggarakan The Pharaohs Cruising Restaurants. Prinsipnya sama dengan restoran terapung di siang hari hanya saja kapalnya lebih besar  lebih mewah  dan terdiri dua lantai dengan eksterior dan interior ala kerajaan di masa Firaun. Sejak memasuki pelataran parkir kemudian menuju dermaga situasinya sudah terbangun sebagai kehidupan ke rajaan dengan pengawal-pengawal berbusana khas Mesir.  Saat pengunjung telah memenuhi kursi yang tersedia, kapal pun melepas sauh dan pelahan-lahan meninggalkan dermaga untuk melayari sungai Nil. Kota Kairo nampak gemerlapan di malam hari, sementara di sungai kapal-kapal dan perahu kecil berlalu lalang dalam kegelapan. Cahaya warna-warni muncul dari kapal-kapal itu menambah indah pemandangan.

Makan malampun dimulai ala prasmanan. Ada minuman, kudapan berupa kue-kue, buah-buahan dan menu utama berupa nasi dan roti dengan lauk pauk khas Mesir berupa masakan dari daging dan ikan dengan bumbu rempah yang kuat. Makanan dengan menu Eropa dan sea food juga tersedia. Saat pengunjung bersantap malam di meja mereka masing-masing, hiburan pun dimulai. Hiburan utama adalah tari perut (belly dance). Seorang penari berwajah Arab berambut pirang pun muncul dengan  iringan musik timur tengah. Busana yang dikenakan sangat khas penari perut : rok dan penutup dada warna  hijau metalik dengan hiasan untaian manik-manik keemasan yang gemerlapan.  Keindahan tarian itu menyatu dengan keindahan sang penari sehingga memukau pengunjung dari awal hingga akhir. Saat semua imajinasi dan hasrat memuncak, sebuah pertunjukan yang memberi keseimbangan dihadirkan. Seorang laki-laki berpakaian darwis dengan menggendong boneka bayi masuk ke tengah-tengah ruangan menarikan tarian sufi berupa gerakan memutar yang tiada habis-habisnya.  Gerakan memutar dan kibasan busana yang digunakan dalam iringan musik sufi mengingatkanku pada Jalalludin Rumi. Bukan hanya itu, tarian itu tiba-tiba saja mengingatkanku dan mungkin juga pengunjung yang lain pada kematian.  

Andai kita tidak ingin berpesiar dengan kapal melayari sungai Nil, kita dapat datang ke sebuah restoran di tepi sungai di malam hari agar kita bisa memandang kehidupan malam di sungai dan gemerlap lampu-lampu dari gedung jangkung di sebrang sungai. Ini pun tidak kalah asyiknya. Sambil bercengkrama dengan teman kita bisa menikmati hasis, yaitu rokok ala Arab dengan menggunakan alat pengisap seperti saxophone. Ketika kita mengisap ujungnya maka air di dalam alat itu memunculkan gelombang udara, sementara kita memperoleh kesegaran dari asap tembakau yang terisap.  Rasa hasis bisa bermacam-macam tergantung selera, misalnya rasa mint atau menthol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar