Selasa, 16 April 2013

Menikmati Secangkir Kopi Turki di Pasar El Khalili



Pedagang Cinderamata di Pasar El Khalili 

Tanggal 10 November 2006 aku masih berada di Kairo. Ketika itu matahari sedang terik. Dengan beberapa teman kami berkunjung ke sebuah pasar tradisional yang termasyhur di kota itu. Namanya pasar El Khalili atau dalam bahasa setempat disebut Khan El Khalili. Anda yang menonton film Ketika Cinta Bertasbih bisa melihat di film itu bagaimana situasi keramaian pasar El Khalili.  Acara kami yang pertama adalah makan siang di sebuah kedai. Setelah itu dilanjutkan dengan menjelajahi lorong-lorong pasar yang suasananya seperti di Pasar Kota Kembang Bandung. Bedanya jika di Pasar Kota Kembang Bandung hanya menjual tekstil di sana segala macam barang dijual terutama souvernir.

Setelah berkeliling menyaksikan keriuhan  jual beli di pasar kami sampai di sebuah tempat di salah satu sudut di lorong pasar itu. Namanya Khan El Khalili Restaurant & Naguib Mahfouz Cafe. Bagian muka restoran itu kecil saja dan tidak menonjol. Bedanya di bagian depan ada dua orang penerima tamu berseragam warna merah seperti prajurit di Keraton Yogyakarta.  Restoran ini adalah tempat terkenal di pasar itu bahkan di Kairo atau Mesir dan menjadi tempat tujuan wisatawan dunia berkunjung. Tidak tanggung-tanggung restoran itu dioperasikan oleh hotel Oberoi. Restoran itu sedemikian terkenal karena di tempat itulah Najib Mahfuz (Naguib Mahfouz) seorang novelis Mesir yang mendapat Hadiah Nobel Sastra di tahun 1988 sering bekunjung semasa hidupnya.  Khan el-Khalili dan Miqdad Alley adalah dua novelnya yang berlatar belakang suasana pasar itu.

Najib Mahfuz (Naguib Mahfouz)
Pengunjung Khan El Khalili Restaurant & Naguib Mahfouz Cafe sangat ramai siang itu, kebanyakan wisatawan manca terutama dari Eropa. Mereka kebanyakan makan siang di bagian dalam restoran itu. Karena kami sudah makan siang di kedai maka kami bertiga (Siswanda, aku dan mas Pemandu) hanya duduk-duduk di cafe untuk minum masing-masing secangkir kecil  Turkish Coffee (kopi Turki).  Kopi Turki itu sangat pekat, begitu pekatnya sehingga aku menganggap seisi cangkir adalah “endek-endek” semua. Rasanya sangat pahit dan begitu kita teguk rasa kopi itu langsung menjalar sampai ke kepala. Apa boleh buat sudah dipesan dan harus dibayar. Secangkir harganya LE 10 (10 pon Mesir).  Sebenarnyabukan kopi itu yang menjadi kenangan berharga, melainkan  Najib Mahfuzlah yang memberi arti.

Tempat di  mana aku minum siang itu adalah tempat di mana novelis Mesir itu biasa duduk mencari inspirasi untuk karya-karyanya. Najib mengamati orang-orang yang hilir mudik dan berjual beli di pasar El Khalili atau merasakan keriuhan pasar sambil minum kopi atau minuman lain kesukaannya.  Meja kursi kafe di sudut Najib Mahfuz itu masih dipertahankan seperti apa adanya, bahkan disediakan pula buku-buku yang ditulis semasa hidupnya. Pengunjung bisa menikamti minuman di situ sambil membaca buku-bukunya yang ditulis dalam bahasa Arab  sambil membayangkan Najib Mahfuz. Kafe itu memang dibuat untuk mengenang Najib. “Khan El Khalili Restaurant & Naguib Mahfouz Cafe, created as tribute to the Nobel Laureate novelist, since their opening, have become a landmark of thispart of Khan, andhave been patronized by writers, artists, inteellectuals and tourist ever since...”.

Najib mahfuz punya menu minuman kesukaan yang oleh pengelola Khan El Khalili Restaurant & Naguib Mahfouz Cafe dipertahankan dengan nama Naguib Mahfouz. Akupun memesan minuman itu, soft drink yang berwarna merah muda seperti sirup cincau di ini, dengan rasa masam karena terbuat dari tamarin atau asam Jawa.  Secangkir besar harganya LE 13 (13 pon Mesir).  Sambil menikmati minuman tersebut aku minta pemanduku membacakan sebuah buku karya Najib.  Maka sempurnalah acara minum-minum siang itu.

Kota Kairo


Tentu saja aku tidak melupakan untuk membeli beberapa souvenir. Apalagi kalau bukan CD dari album penyanyi Mesir kenamaan Ummi Kalthoum. Akupun menyempatkan melihat toko rempah-rempah yang menjadi salah satu daya tarik KhanEl Khalili.  Acara hari itu kemudian kututup dengan mengunjungi Masjid Iman Husein di sebrang pasar untuk melaksanakan shalat Ashar dan sekaligus berziarah. Konon yang dimakamkan di sini hanya kepala Iman Husein saja. Wallahu alam.