Selasa, 27 Agustus 2013

Transit di Bandara Internasional Kolombo Sri Lanka



Perjalanan selalu memiliki sesuatu yang tidak terduga, kejutan atau bisa juga sebuah misteri. Itu kualami saat kembali dari Mesir menuju tanah air.  Pengalaman seperti itu seringkali kualami dan membuat setiap perjalanan selalu menarik meski dari dan ke tempat yang sama. Itu kualami di bandara Kairo, Dubai dan Srilanka.

Saat hendak kembali ke Jakarta aku menunggu  agak lama pesawat agak lama di bandara Kairo.  Saat  shalat maghrib di mushola kacamataku tertinggal di tempat wudhu .  itu baru kusadari saat selesai shalat.  Situasi di mushola sangat ramai. Aku sudah melangkah meninggalkan tempat itu dan tiba-tiba merasa padanganku buram.  Ternyata aku tidak berkacamata. Akupun segera bergegas ke mushola. Setengah tidak percaya di sana seseorang telah menyimpan kacamataku. Rasanya seperti bertemu malaikat. “thank you”  atau “syukran” kataku padanya. Dia pun tersenyum. Alhamdulillah. Masih di bandara aku berkeliling mencari sesuatu khas Mesir. Nafsu berbelanjaku cukup tinggi, hanya  saja persediaan pound  Mesir di sakuku yang membatasinya. Lumayan, aku mendapat beberapa VCD belly dance.

Menjelang tengah malam pesawat yang membawaku dari Mesir tiba di bandara Dubai. Transit di sana agak lama sehingga kami bisa berjumpa dengan beberapa kawan yang hendak pulang ke Indonesia. Para pengusaha furniture dari Cirebon itu Nampak ceria  karena barang-barang yang dipamerkannya di Index Dubai menarik buyers di kawasan Timur Tengah dan Eropa. Selain barang yang dipamerkan laku terjual, merekapun mendapatkan kontrak penjualan.

Setelah beberapa jam transit pesawat pun meninggalkan Dubai menuju Jakarta.  Mendapatkan tempat duduk di sebelah kanan aku diapit oleh Bachtiar dari TVRI Jabar Banten di sebelah kanan  dekat jendela dan di sebelah kiri oleh seorang gadis manis asal Inggris. Meski aku sempat berkenalan tapi aku lupa namanya. Dia seorang volunteer  (relawan) dari sebuah organisasi social internasional yang bertugas di Sri Lanka yang saat itu dilanda perang saudara. Bachtiar menyebutnya “si emak”.  Dari situlah aku baru menyadari bahwa pesawat akan mendarat di Sri Lanka.

Benar saja. Setelah beberapa jam penerbangan pesawat mendarat di sebuah landasan bandara pada pagi hari. Kru pesawat memberitahu penumpang bahwa pesawat telah mendarat di bandara internasional Kolombo. Penumpang tujuan Kolombo pun bergegas merapikan diri, berkemas mengangkat kopor dan barang bawaan dan pelahan meninggalkan pesawat sambil terkantuk-kantuk, termasuk “si emak”.  Pesawat transit selama kuranglebih satu jam. Beberapa penumpang turun ke bandara.  Disergap kantuk berat aku hanya berdiam diri di pesawat, sambil sesekali mengintip ke luar jendela. Di kejauhan hanya rimbun pohon kelapa yang kulihat, karena Kolombo memang terletak di tepi Samudra Indonesia (di peta ditulis Samudra Hindia).

Kolombo adalah ibukota Sri Lanka, Negara yang saat itu dilanda konflik antara etnis Sinhala yang merupakan 70% populasi  yang beragama Budha dengan etnis Tamil yang merupakan 20% populasi dan beragama Hindu.  Konflik disebabkan karena orang Tamil keberatan bahasa Sinhala dijadikan bahasa resmi Negara. Menurut sejarah, orang Sinhala menyebrang dari India enam abad sebelum Masehi dan mendirikan kerajaan Sinhala selama kurang lebih 2000 tahun, sedangkan Tamil yang juga dari India datang belakangan dan mendirikan kerajaan Tamil di utara.  Nama Sri Lanka berasal dari bahasa Sinhala yang artinya “tanah yang gilang gemilang” digunakan sejak tahun 1972 menggantikan nama Sailan.