Senin, 24 Juli 2017

Masjid Menara Kudus




Menjelang pukul dua siang kami memasuki kota Kudus setelah satu dua jam perjalanan dari kota Demak diselingi singgah di Kadilangu yang merupakan tempat Sunan Kalijaga. Memasuki kota Kudus ditandai dengan hiasan iklan perusahaan rokok kretek di kiri kanan jalan menandakan kedigdayaan kota itu dalam industri rokok kretek. Tujuan utama kami ke kota ini bukan ingin melihat pabrik rokok atau memborong rokok tapi mengunjungi Masjid Kudus yang tekenal itu, yang menaranya diabadikan dalam pecahan  mata uang rupiah.
Memasuki bagian tengah kota yang padat dan jalan yang tidak begitu lebar sampailah kami di Masjid Kudus, meski mobil harus diparkir beberapa ratus meter di luar area masjid. Cuaca sedang cerah ketika itu, matahari bersinar sangat terik dan udara begitu panas. Melalui jalan-jalan sempit  di antara rumah-rumah penduduk yang sudah tua yang menandakan tuanya pemukiman di sana, akhirnya kami tiba pada tujuan yang kami cari. Suasana ramai ketika itu dengan para pengunjung masjid maupun para peziarah.
 Aku terpesona dengan dengan arsitektur menara masjid yang menyerupai candi terbuat dari batu bata, mengingatkanku pada bangunan bale bengong di Puri Taman Ayun di Bali. Mirip sekali. Hal ini tidak terlepas dari asal usul kota Kudus. Kudus berasal dari bahasa Arab Al Quds atau Yerusalem, bisa juga berarti suci dari kondisi setempat yang merupakan tempat yang suci sejak era Hindu. Menurut berbagai sumber, dahulu kota Kudus bernama Tajug, yang artinya atap bangunan tradisional yang digunakan untuk bersembahyang warga Hindu di daerah itu. Sunan Kudus yang datang kemudian melakukan pendekatan dengan membuat struktur atas menara Kudus berbentuk Tajug. Konon menara masjid Kudus sudah dibangun sebelum masjid Kudus berdiri. Pendirian menara ini dijadikan penanda kelahiran kota Kudus.
Kami memasuki masjid untuk melaksanakan shalat kemudian berkeliling melihat-lihat masjid peninggalan Sunan Kudus dan menikmati menara masjid dari serambi. Masjid Menara Kudus atau Masjid Al Manar bernama Masjid Al Aqsa Manarat Qudus. Disebut Al Aqsa karena batu pertama dibawa Sunan Kudus dari Al Aqsa di Baitul Maqdis (Yerusalem) Palestina. Masjid ini didirikan pada tahun 1549 dengan memadukan pola arsitektur yang memadukan budaya Islam dengan budaya Hindu. Pintu gerbangnya yang bernama Paduraksa seperti pintu gerbang pura di Bali
Kami pun tidak lupa menyempatkan diri berziarah ke makam wali dan keluarganya. Sunan Kudus bernama Ja’far Sidiq atau Raden Undung. Beliau dikenal sebagai salah seorang Wali Sanga. Sunan Kudus memiliki banyak ilmu, menguasai ilmu tauhid, hadis, tafsir, fikih sampai sastra sehingga disebut Waliyul Ilmi. Saat menyebarkan agama Islam beliau sangat berhati-hati. Untuk menghargai pemeluk Hindu yang menghormati sapi, maka Sunan Kudus mengajarkan untuk mengonsumsi daging kerbau. Ajaran ini berlangsung sampai sekarang dan menjadi salah satu kekhasan kuliner kota Kudus.
Dalam Babad Jawa dan Hikayat Melayu, nama Sunan Kudus pertama muncul saat perang jihad pertama di Jawa yang terjadi antara Kerajaan Islam Demak dengan Kerajaan Hindu Majapahit, pada 1524 dan 1526. Saat itu, Sunan Kudus mendampingi imam masjid Demak keempat yang tidak lain merupakan ayahnya sendiri, memimpin peperangan melawan Majapahit. Dalam pertempuran sengit itu, ayah Sunan Kudus gugur. Sunan Kudus kemudian diangkat menjadi imam masjid Demak. Sedangkah menurut Hikayat Hasanudin, Sunan Kudus adalah imam masjid Demak kelima. Pada 1526 dan 1527, Raja Demak Sultan Trenggana memerintahkan Sunan Kudus menyerang Majapahit. Serangan itu dipimpin langsung oleh Sunan Kudus dan berakhir dengan kemenangan Kerajaan Demak. Setelah itu, Sunan Kudus kembali dengan aktivitas keagamaannya di masjid Demak, yakni membumikan ajaran agama Islam.
Sunan Kudus mengembangkan filosofi gusjiang, yang berarti bagus, mengaji dan berdagang. Melalui filosofi tersebut Sunan menuntun masyarakat menjadi orang berkepribadian bagus, tekun mengaji dan mau berdagang. Usaha yang berkembang di antaranya usaha batik dan pembuatan jenang atau dodol. Para pedagang Timur Tengah, Tiongkok dan Nusantara yang berdagang kain, barang pecah belah dan hasil pertanian di Pelabuhan Tanjung Karang, Kudus terinspirasi dengan filosofi Sunan Kudus tersebut. Sayang pelabuhah Tanjung Karang kini tiada lagi karena sedimentasi.

Rabu, 19 Juli 2017

Kadilangu



Berkunjung ke Kadilangu



Selesai mengunjungi Masjid Demak serta menikmati kuliner khas kota Demak di alun-alun Masjid Demak, kami bermaksud berkunjung ke Kudus. Di antara Demak dan Kudus terdapat tempat yang istimewa bernama Kadilangu. Letaknya di sebelah kanan jalan nasional, berbelok beberapa kilometer. Ke sinilah kami menuju.
Meski hanya sebuah kelurahan, Kadilangu adalah tempat istimewa karena di tempat inilah terletak beberapa peninggalan Sunan Kalijaga, satu-satunya Wali asal Jawa dari sembilan wali yang disebut Wali Sanga. Peninggalan Sunan Kali Jaga yang ada adalah makam dan masjid, meskipun demikian yang banyak dikunjungi adalah makam Sunan Kalijaga, sementara Masjid Kadilangu nyaris tidak ada yang mengunjungi karena tidak sepopuler Masjid Demak. Maklum masjid Kadilangu bukanlah masjid besar seperti masjid Demak yang dibangunnya. Usai memimpin pembangunan masjid Demak, Sunan Kalijaga diberi tanah oleh Raden Patah atau Sultan Demak di Kadilangu yang kemudian berkembang menjadi 27 desa, tapi kemudian tinggal sepuluh desa saja karena desa-desa yang lain diambil Belanda pada tahun 1880, karena Belanda takut Kadilangu menjadi negara dalam negara.
 Suasana sangat ramai di pintu gerbang komplek makam Kadilangu. Suasananya mirip di pemakaman Sunan Ampel di Surabaya. Di lorong yang panjang para pedagang berdagang apa saja yang berkaitan maupun tidak dengan prosesi ziarah. Misalnya saja kitab-kitab, mulai dari Al Qur-an, hadits, kitab kuning, riwayat Wali Sanga, riwayat masjid-masjid, buku sejarah kerajaan Islam di Pulau Jawa, maupun buku-buku wirid, doa dan buku ziarah kubur. Kemudian busana, baik busana muslim, pakaian shalat, pakaian adat Jawa, batik, t-shirt serta aksesoris. Ada pula dijual kaligrafi dari huruf Arab maupun Jawa terbuat dari kayu yang diukir, kulit binatang yang ditatah maupun ditulis dengan tinta warna, dari kertas maupun dari kain. Selain itu juga dijual berbagai penganan khas Jawa yang beraneka rupa.
Memasuki komplek pemakaman suasana beralih ke suasana peziarahan dengan ramainya suara para peziarah melatunkan ayat suci Al Qur-an maupun yang sedang berdzikir, berwirid maupun berdoa dengan khusuknya. Makam Sunan Kalijaga merupakan inti pusat peziarahan di komplek makam tersebut, terpisah oleh pagar dan pintu khusus, makam Sunan terdapat di dalam bangunan yang berdiri lama dengan arsitektur yang indah bercat putih. Ke situlah kami menuju untuk melantunkan doa sambil mengenangkan hidup Sunan Kalijaga yang penuh perjuangan untuk menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa sambil menyampaikan ajaran-ajarannya yang dikenal dengan Dasa Pitutur atau Sepuluh Nasihat.
Sunan Kalijaga semasa muda bernama Said atau Raden Setya, ia  adalah anak Tumenggung Wilatikta, pejabat kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawa, Said adalah murid Sunan Bonang dan setelah menjadi seorang wali bernama Sunan Kalijaga. Ia kawin dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishak, saudara sepupu Sunan Gunung Jati.  Sunan Kalijaga memiliki pengetahuan luas di bidang kesenian dan kebudayaan Jawa. Ia memanfaatkan tradisi pertunjukan wayang sebagai sarana penyebaran agama Islam (dakwah). Ia pun menciptakan lagu Ilir-ilir yang berisi ajakan masuk agama Islam. Ia  adalah guru dari Hadiwijaya (Bupati Pajang). Selain itu ia juga guru dari Ki Gede Pamanahan, Ki Juru Martani, dan Panjawi, ketiganya adalah keturunan Ki Ageng Selo. Dalam percaturan politik di Demak dan Pajang, Sunan Kalijaga sangat berpengaruh. Ketika Pajang dan Jipang saling berebut kekuasaan atas Demak, ia memihak Pajang dan Pajang pun menang. Pusat pemerintahan Demak pun dipindahkan ke Pajang. Panjawi diberi kekuasaan atas Pati.  Atas pengaruh Sunan Kalijaga pula Ki Gede Pamanahan memperoleh haknya atas Mataram yang diramalkan Sunan Giri akan menjadi kerajaan seperti Pajang.
Puas berziarah dan melihat satu persatu makam keluarga Sunan Kalijaga kamipun meninggalkan makam menuju Kudus. Di tengah perjalanan kami singgah di Masjid Kadilangu. Inilah masjid yang didirikan Sunan Kalijaga. Masjidnya tidak sebesar masjid Demak, seukuran dengan masjid-masjid di pemukiman saat ini. Hanya saja ini memang masjid tua, didirikan pada tahun 1532 dan merupakan cagar budaya yang dilindungi. Dinding-dindingnya terbuat dari tembok tebal bercat putih. Pintu-pintu dan jendelanya terbuat dari kayu jati tua yang bagus, tebal dan kokoh. Kamipun menyempatkan melakukan shalat sunat tahiyatul masjid dua rakaat untuk kemudian melanjutkan perjalanan.

Senin, 22 Mei 2017

Berkunjung Ke Demak







Saat Dimas diterima kuliah di Fakultas Hukum Undip aku menyempatkan diri ke Semarang, dan menginap di Hotel Dibya Puri. Hotel ini milik salah satu BUMN. Bangunannya peninggalan Belanda dengan langgam arsitektur Eropa. Sayang sekali hotel ini tidak terawat dengan baik sehingga nampaknya sedikit yang berminat menginap di sana meski lokasinya berada di tengah-tengah kota dekat dengan pusat perdagangan.
Usai dengan urusan Dimas di Undip aku mengajaknya menyempatkan berjalan-jalan ke luar kota Semarang, bersama Ibu dan kang Permadi. Tujuan pertama ke Demak. Jaraknya sekitar 30 km dari Semarang, melalui jalan pantura atau yang dikenal sebagai Jalan Daendels. Sebelumnya aku pernah menyusuri jalan ini sampai Gresik dan Surabaya. Saat itu aku berangkat dari Bandung dan harus tiba di kantor wali kota Surabaya pagi hari untuk melakukan studi soal transportasi umum di Surabaya. Yang kedua saat aku berbisnis furnitur ke Jepara, pulangnya sempat singgah di Masjid Demak untuk shalat Isya dan makan tongseng di kaki lima. Tongseng kambingnya memang enak. Yang ketiga saat melakukan perjalan berdua dengan istriku ke Ngawi. Saat kembali pulang ke Bandung melewati Cepu Blora Demak Semarang Cirebon.
 Karena melihat banyaknya peninggalan bersejarah di Demak maka aku ingin mengajak anakku untuk melihatnya. Jadilah siang itu kami berangkat dari Semarang menuju Demak. Menjelang waktu Dzuhur sampailah kami di Demak dan langsung menuju Masjid Agung Demak yang tersohor itu. Setelah melaksanakan shalat mulailah kami menelusuri sejarah Masjid Agung Demak sekaligus sejarah Kerajaan Demak dan tidak lupa menziarahi makam para raja beserta keluarganya yang ada di lingkungan masjid.
1.       Sejarah Masjid Demak.
Menurut catatan sejarah, masjid Demak didirikan oleh para wali sekitar tahun 1478  terkait dengan penyebaran Islam di Pulau Jawa. Arsitekturnya bersifat Jawa, atapnya bersusun tiga, khas atap masjid Indonesia yang mengkhiaskan tiga tingkatan pencapaian keagamaan seseorang yaitu Iman (percaya), Islam (mengamalkan)  dan Ikhsan (berbuat baik).  Ada lima pintu melambangkan rukun Islam. Jendelanya enam buah melambangkan Rukun Iman. Pada tahun 1980-an bangunan dipugar dengan biaya Rp 688.712.000 dan diresmikan pemugarannya oleh Pak Harto tanggal 21 Maret 1987. Tiang utama masjid (sakaguru) yang terbuat dari tatal (serpihan kayu) diganti, tapi tiang utama masih disimpan di museum.
2.       Sejarah Kerajaan Demak.
Kerajaan Demak yang bercorak Islam berdiri sekitar tahun 1500-1550. Raden Patah adalah raja pertamanya, dia adalah anak raja Majapahit dari ibu Cina yang dikatakan merupakan seorang putri berasal dari Campa. Saat hamil putri ini dihadiahkan kepada Ario Damar seorang vasal Majapahit yang berkuasa di Palembang. Di Palembang inilah Raden Patah dilahirkan. Saat dewasa R. Patah kembali ke Majapahit dan diberi kekuasaan di daerah Demak.  Atas dukungan dari Jepara, Gresik, dan daerah pesisir lain R. Patah naik takhta Kerajaaan Demak dan melepaskan dari dari kekuasaan Kerajaan Mahapahit dan memerintah sampai tahun 1518. Dari Demak inilah Islam disebarkaqn ke seluruh Pulau Jawa. Pada tahun 1511 hubungan perniagaan khususnya beras ke Malaka terganggu dengan direbutnya Malaka oleh Portugis. Tahun 1513 R. Patah menugaskan Pati Unus menyerbu Malaka.
Raja Demak kedua bernama Pangeran Sabrang Lor yang menurut catatan Tome Pires pada saat itu Demak memiliki angkatan laut dengan 40 kapal jung (kapal perang ukuran besar lebih besar dari kapal-kapal Portugis atau Cina).
Kejayaan Demak terjadi di era Sultan Trenggono, raja Demak yang ketiga. Demak diproklamasikan sebagai Kesultanan dan Masjid Demak dijadikan lambang kekuasaan Islam.  Sultan Trenggono menggunakan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Majapahit didimusnahkan pada tahun 1527 dan semua peralatan keraton dibawa ke Demak.
Tahun 1546 secara mendadak Sultan Trenggono wafat dan digantikan oleh Sunan Prawoto. Tidak lama kemudian Sunan Prawoto dibunuh oleh putra Pangeran Seda Lepen. Pangeran Kalinyamat muncul sebagai raja dan kemudian juga wafat terbunuh.
Adipati Jipang bernama Ario Penangsang yang didukung Sunan Kudus menuntuk takhta Kesultanan Demak. Hadiwijaya atau yang lebih dikenal dengan Joko Tingkir, Adipati Pajang, bersekutu dengan Ratu Kalinyamat tampil dan menentang Jipang. Kemenangan diperoleh Hadiwijaya yang kemudian mengangkat diri sebagai Sultan Demak dan kemudian memindahkan kekuasaannya ke Pajang.  Ini menandakan mulainya Dinasti Pajang.
3.       Makam para raja dan keluarga Kerajaan Demak
Komplek makam sultan-sultan Demak dan para abdinya, yang terbagi atas empat bagian:
Makam Kasepuhan, yang terdiri atas 18 makam, antara lain makam Sultan Demak I (Raden Fatah) beserta istri-istri dan putra-putranya, yaitu Sultan Demak II (Raden Pati Unus) dan Pangeran Sedo Lepen (Raden Surowiyoto), serta makam putra Raden Fatah, Adipati Terung (Raden Husain).
Makam Kaneman, yang terdiri atas 24 makam, antara lain makam Sultan Demak III (Raden Trenggono), makam istrinya, dan makam putranya, Sunan Prawoto (Raden Hariyo Bagus Mukmin).
Makam di sebelah barat Kasepuhan dan Kaneman, yang terdiri atas makam Pangeran Arya Penangsang, Pangeran Jipang, Pangeran Arya Jenar, Pangeran Jaran Panoleh.
Makam lainnya, seperti Pangeran Benowo, dan Singo Yudo. 

Selesai menjiarahi Masjid Demak dan komplek makamnya kami berjalan-jalan sejenak mengelilingi alun-alun yang luas. Tidak lupa kami melepas lelah di rumah makan sekitar alun-alun yang menyajikan sajian penuh cita rasa. Menikmati pecel (semacam gado-gado atau lotek) di tengah hari sungguh suatu kenikmatan yang pantas disyukuri.

Senin, 13 Februari 2017

Universitas Diponegoro Semarang




Pada tahun 2007 anak lelakiku Sidiq yang biasa dipanggil Dimas lulus dari SMUN 20 di Jalan Citarum, di sebrang Majid Istiqomah Bandung. Awalnya Dimas bersekolah di SMUN 1 Cimahi mengikutiku yang tinggal di rumah dinas DPRD Jabar di Jalan Kolonel Masturi Cimahi. Saat naik ke Kelas 11 aku dan istriku sepakat memindahkanny ke SMUN 20 dengan tiga alasan : pertama dia bisa masuk ke program IPA, kedua ada kawanku Rusdi yang menjadi Wakil Kepala Sekolah di situ dan ketiga karena sekolahnya terletak di belakang komplek Gedung Sate di mana aku bertugas. Lagipula lingkungan itu tidak begitu asing bagi kami, karena Dimas dulunya bersekolah di SMPN 7 di Jalan Ambon, yang berada di lingkungan tersebut. Selain itu Dea kakak perempuannya juga bersekolah di SMUN 5 di Jalan Belitung.  Jadi Dimas bersekolah di SMUN 20 selama dua tahun dan lulus pada tahun 2007. Saat itulah dia mendaftar ke tiga Perguruan Tinggi Negri dan diterima di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
Menjelang pendaftaran aku terlebih dahulu pergi ke Semarang dari Cirebon bersama kang Permadi. Maklum Dimas belum mengenal kota itu. Terakhir aku mengajaknya ke Semarang di tahun 1995 saat dia masih  di SD. Malam hari aku dan kang Permadi tiba di kawasan kampus Undip di Jalan Imam Bardjo, yang biasa dikenal dengan nama Pleburan. Lokasinya di pusat kota, di area pemerintahan Pemprov Jawa Tengah, dekat dengan Simpang Lima sebagai jantung kota Semarang. Saat kami datang suasana kampus cukup ramai meski waktu sudah menunjukkan waktu menjelang tengah malam. Di bulevar ada panggung dengan lampu terang dan pengeras suara yang didirikan GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), di belakangnya ada posko organisasi intra dan ekstra kampus lainnya.
Paginya Dimas kujemput di Stasiun KA Semarang Tawang. Dia berangkat naik KA malam Harina dari Bandung diantar ibuku. Untuk sementara aku minta tolong Mbak Wiwik di Sampangan untuk menampung Dimas sampai memperoleh tempat kost. Untungnya ada Ganang anak Mas Har yang bisa menjadi penunjuk jalan dari Sampangan ke kampus Pleburan selama masa orientasi.
Untuk selanjutnya sampai tahun 2009 aku akan sering singgah ke Semarang, terutama jika selesai reses  di wilayah Cirebon dan Indramayu. Jarak Cirebon – Semarang sekitar 200 km, bisa dicapai dalam beberapa jam karena jalan yang lurus dan cukup bagus. Setelah tahun 2009 aku nyaris tidak ke Semarang lagi sampai wisuda Dimas di tahun 2015.

Minggu, 12 Februari 2017

Sembawa



Bermula dari kejelian penduduk di pantai timur Sumatra yang melihat peluang pasar karet alam di awal abad XX, perkebunan karet berkembang pesat di hampir seluruh Sumatra. Berbagai cara dilakukan penduduk membawa biji dari Malaka sepulang menunaikan ibadah haji atau saat mereka pulang kampung setelah bekerja menjadi buruh. Penduduk kemudian menanam biji karet sejalan dengan perladangan berpindah yang mereka lakukan.
Provinsi Sumatra Selatan memiliki curah hujan bervariasi dari 2000 mm sampai 3500 mm, suhu berkisar antara 200 C sampai dengan 350 C dengan rata-rata 28O C. Kondisi tanah terdiri dari atas 11 klasifikasi tanah dan tanah uang terluas adalah jenis tanas Podsolik. Kondisi iklim dan tanah demikian sangat sesujai untuk pertumbuhan tanaman karet.
Di samping Dinas Perkebunan, di Sumatra Selatan terdapat Balai Penelitian Sembawa dan beberapa lembaga seperti Asosiasi Petani Karet, Gabungan Pengusaha Perkebunan, Gabungan Perusahaan Karet Indonesia. Di samping itu juga telah terbentuk Forum Bersama Pengembangan Perkebunan. Pada saat ini sedang dirintis pembangunan infrastruktur penting untuk pengembangan ekspor yaitu Pelabuhan Samudra Tanjung Api-api yang dilengkapi sarana jalan dan jalur kereta api. Pemerintah Daerah juga merencanakan peremajaan karet rakyat seluas 150 ribu hektar dalam beberapa tahun mendatang.
Senyampang berkunjung ke Palembang sekira tahun 2005 rombongan Komisi B DPRD Jabar yang dipimpin Pak Hidayat dan Bu Teti Kadi menyempatkan diri melihat perkembangan dan prospek perkebunan karet di Sumatra Selatan. Singkatnya waktu membuat kami mencari informasi ke Balai Penelitian Sembawa. Balai Penelitian Sembawa berada di bawah pengelolaan Pusat Penelitian Karet yang berada di bawah koordinasi Lembaga Riset Perkebunan Indonesia Bogor. Terletak di tengah-tengah perkebunan karet rakyat tepatnya di Desa Sembawa, sejak tahun 1982 Balai Penelitian Sembawa menjalankan misinya untuk menghasilkan teknologi di bidang perkaretan. Desa Sembawa terletak di KM 29 ruas jalan raya Palembang-Jambi.
Balai Penelitian Sembawa saat  memiliki 30 peneliti handal dari berbagai disiplin ilmu seperti agronomi, hama dan penyakit, tanah dan agroklimat, sosial ekonomi, dan teknologi pengolahan. Setiap hari mereka bekerja  secara terintegrasi dan berusaha menghasilkan teknologi yang bermanfaat bagi pengembangan perkebunan karet.
Balai Penelitian Sembawa memiliki berbagai laboratorium, kebun percobaan seluas 3500 hektar dan perpustakaan yang memadai. Berbagai teknologi telah mereka hasilkan seperti klon unggul karet, sistem sadap, pengendalian hama dan penyakit, rekomendasi pemupukan serta teknologi perbaikan mutu karet.
Klon unggul yang dihasilkan Balai Penelitian Sembawa adalah seri BPM dari spesies Hevea Brasiliensis. Hevea Brasiliensis merupakan spesies tanaman karet yang berhasil dikembangkan secara komersial di seluruh dunia. Sebelumnya terdapat spesies lain seperti Castilloa Elastica dan Funtumia Elastica, tetapi kualitas Hevea Brasiliensis  dinilai legih unggul dari spesies lainnya. Hevea Brasiliensis diyakini berasal dari daerah Amazone, Brasilia. Di daerah asalnya Hevea Brasiliensis dikenal dengan sebutan “cahucu” yang berarti pohon yang menangis. Kini seluruh klon-klon unggul  karet yang dikembangkan di seluruh dunia berasal dari spesies Hevea Brasiliensis.
Penyediaan klon unggul karet tentu sangat membantu para pekebun karet khusunya yang pemilik perkebunan karet rakyat, apalagi lebih dari 409 ribu KK di Sumatra Selatan adalah petani karet. Tidak kurang dari 18 ribu orang menjadi karyawan perkebunan besar, sedangkan industri  pengolahan karet dan kayu karet menyerap tenaga kerja tidak kurang dari 4000 orang, secara keseluruhan sekitar 28% penduduk Sumatra Selatan hidupnya bergantung pada perkebunan karet.
Areal perkebunan karet di Sumatra Selatan didominasi oleh perkebunan rakyat yaitu seluas 886 ribu hektar pada tahun 200r atau sekitar 96% dari total areal perkebunan karet. Perkebunan karet rakyat di Sumatra Selatan menyebar pada beberapa Kabupaten. Areal terluas terletak di Kabupaten Musi Rawas (23%), disusul oleh Musi Banyuasin (17%), Muara Enim (19%), Ogan Komering Ilir (12%), Banyuasin (10%) dan Ogan Komering Ulu (7%).
Produksi karet rakyat di Sumatra Selatan selama 30 tahun terakhir meningkat pesat dari 148 ribu ton pada tahun 1974 menjadi 599 ribu ton pada tahun 2004. Sedangkan perkebunan besar hanya meningkat 2.544 ton pada tahun 1974 menjadi 41 ribu ton pada tahun 2004. Kenaikan ini berkat perluasasn areal dan penggunaan klon unggul karet yang berproduktivitas tinggi.
Sumatra Selatan mempunyai 20 pabrik pengolahan karet yaitu pabrik karet remah (crumb rubber)17 buah, pabrik RSS (Ribbed Smoked Sheet) 1 buah dan pabrik lateks pekat 2 buah. Berkembang sejak tahun 1969 produksi karet remah mendominasi ekspor karet alam dari Sumatra Selatan yang mencapai 512 ribu ton pada tahun 2004. Sumatra Selatan menargetkan produksi karet alam sebesar 800 ribu ton pada tahun 2009.
Diprediksi pada tahun 2020 produksi karet alam dunia akan mencapai 11,5 juta ton. Sekitar 70% alam dunia diperuntukkan bagi industri ban. Indonesia ditargetkan memasok 29% atau 3,3 juta ton karet kering. Sumatra Selatan akan dengan berbagai keunggulan yang dimiliki akan mengisi peluang pasar tersebut. Tahun 2009 luas areal perkebunan karet menjadi  1  juta hektar dan Sumatra Selatan memasok 800 ribu ton karet kering.
Dalam “The Golden Forest”  Sumber Kehidupan (Profil Perkebunan Karet di Sumatra Selatan)  tercatat bahwa kontribusi nilai ekspor karet alam terhadap ekspor non migas Sumatra Selatan meningkat dari 26% pada tahun 1999 menjadi 51% pada tahun 2004. Terjadi peningkatan dari US $ 205 juta pada tahun 1999 menjadi US $ 618 juta pada tahun 2004. Prestasi ini menempatkan karet alam sebagai penghasil devisa terbesar dari sektor non migas bagi Provinsi Sumatra Selatan.
Sistem pemasaran karet rakyat belum efisien. Penyebabnya antara lain karena lokasi kebun tersebar dalam hamparan kecil, rantai tataniaga yang panjang, mutu rendah dan beragam, serta sistem penjualan yang berdasarkan berat basah. Peran pedagang perantara sangat dominan, kondisi ini menyebabkan harga yang diterima petani relatif rendah. Pada beberapa wilayah telah dimulai pemasaran yang lebih terorganisiar melalui koperasi atau kelompok petana yang memasarkan karet secara bersama.
Pemanfaatan tanamana karet tidak hanya sebatas pada lateks tetapi juga kayu karet. Salah satu produk yang dihasilkan adalah panel kayu yang digunakan untuk industri furnitur dan bahan bangunan. Kapasistas pabrik yang ada di Sumatra Selatan adalah 720 ton kayu karet per hati atau serta dengan sekitar 12 hektar kebun karet tua. Di samping itu terdapat beberapa industri kayu gergajian berbahan baku kayu karet.