Senin, 22 Mei 2017

Berkunjung Ke Demak







Saat Dimas diterima kuliah di Fakultas Hukum Undip aku menyempatkan diri ke Semarang, dan menginap di Hotel Dibya Puri. Hotel ini milik salah satu BUMN. Bangunannya peninggalan Belanda dengan langgam arsitektur Eropa. Sayang sekali hotel ini tidak terawat dengan baik sehingga nampaknya sedikit yang berminat menginap di sana meski lokasinya berada di tengah-tengah kota dekat dengan pusat perdagangan.
Usai dengan urusan Dimas di Undip aku mengajaknya menyempatkan berjalan-jalan ke luar kota Semarang, bersama Ibu dan kang Permadi. Tujuan pertama ke Demak. Jaraknya sekitar 30 km dari Semarang, melalui jalan pantura atau yang dikenal sebagai Jalan Daendels. Sebelumnya aku pernah menyusuri jalan ini sampai Gresik dan Surabaya. Saat itu aku berangkat dari Bandung dan harus tiba di kantor wali kota Surabaya pagi hari untuk melakukan studi soal transportasi umum di Surabaya. Yang kedua saat aku berbisnis furnitur ke Jepara, pulangnya sempat singgah di Masjid Demak untuk shalat Isya dan makan tongseng di kaki lima. Tongseng kambingnya memang enak. Yang ketiga saat melakukan perjalan berdua dengan istriku ke Ngawi. Saat kembali pulang ke Bandung melewati Cepu Blora Demak Semarang Cirebon.
 Karena melihat banyaknya peninggalan bersejarah di Demak maka aku ingin mengajak anakku untuk melihatnya. Jadilah siang itu kami berangkat dari Semarang menuju Demak. Menjelang waktu Dzuhur sampailah kami di Demak dan langsung menuju Masjid Agung Demak yang tersohor itu. Setelah melaksanakan shalat mulailah kami menelusuri sejarah Masjid Agung Demak sekaligus sejarah Kerajaan Demak dan tidak lupa menziarahi makam para raja beserta keluarganya yang ada di lingkungan masjid.
1.       Sejarah Masjid Demak.
Menurut catatan sejarah, masjid Demak didirikan oleh para wali sekitar tahun 1478  terkait dengan penyebaran Islam di Pulau Jawa. Arsitekturnya bersifat Jawa, atapnya bersusun tiga, khas atap masjid Indonesia yang mengkhiaskan tiga tingkatan pencapaian keagamaan seseorang yaitu Iman (percaya), Islam (mengamalkan)  dan Ikhsan (berbuat baik).  Ada lima pintu melambangkan rukun Islam. Jendelanya enam buah melambangkan Rukun Iman. Pada tahun 1980-an bangunan dipugar dengan biaya Rp 688.712.000 dan diresmikan pemugarannya oleh Pak Harto tanggal 21 Maret 1987. Tiang utama masjid (sakaguru) yang terbuat dari tatal (serpihan kayu) diganti, tapi tiang utama masih disimpan di museum.
2.       Sejarah Kerajaan Demak.
Kerajaan Demak yang bercorak Islam berdiri sekitar tahun 1500-1550. Raden Patah adalah raja pertamanya, dia adalah anak raja Majapahit dari ibu Cina yang dikatakan merupakan seorang putri berasal dari Campa. Saat hamil putri ini dihadiahkan kepada Ario Damar seorang vasal Majapahit yang berkuasa di Palembang. Di Palembang inilah Raden Patah dilahirkan. Saat dewasa R. Patah kembali ke Majapahit dan diberi kekuasaan di daerah Demak.  Atas dukungan dari Jepara, Gresik, dan daerah pesisir lain R. Patah naik takhta Kerajaaan Demak dan melepaskan dari dari kekuasaan Kerajaan Mahapahit dan memerintah sampai tahun 1518. Dari Demak inilah Islam disebarkaqn ke seluruh Pulau Jawa. Pada tahun 1511 hubungan perniagaan khususnya beras ke Malaka terganggu dengan direbutnya Malaka oleh Portugis. Tahun 1513 R. Patah menugaskan Pati Unus menyerbu Malaka.
Raja Demak kedua bernama Pangeran Sabrang Lor yang menurut catatan Tome Pires pada saat itu Demak memiliki angkatan laut dengan 40 kapal jung (kapal perang ukuran besar lebih besar dari kapal-kapal Portugis atau Cina).
Kejayaan Demak terjadi di era Sultan Trenggono, raja Demak yang ketiga. Demak diproklamasikan sebagai Kesultanan dan Masjid Demak dijadikan lambang kekuasaan Islam.  Sultan Trenggono menggunakan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Majapahit didimusnahkan pada tahun 1527 dan semua peralatan keraton dibawa ke Demak.
Tahun 1546 secara mendadak Sultan Trenggono wafat dan digantikan oleh Sunan Prawoto. Tidak lama kemudian Sunan Prawoto dibunuh oleh putra Pangeran Seda Lepen. Pangeran Kalinyamat muncul sebagai raja dan kemudian juga wafat terbunuh.
Adipati Jipang bernama Ario Penangsang yang didukung Sunan Kudus menuntuk takhta Kesultanan Demak. Hadiwijaya atau yang lebih dikenal dengan Joko Tingkir, Adipati Pajang, bersekutu dengan Ratu Kalinyamat tampil dan menentang Jipang. Kemenangan diperoleh Hadiwijaya yang kemudian mengangkat diri sebagai Sultan Demak dan kemudian memindahkan kekuasaannya ke Pajang.  Ini menandakan mulainya Dinasti Pajang.
3.       Makam para raja dan keluarga Kerajaan Demak
Komplek makam sultan-sultan Demak dan para abdinya, yang terbagi atas empat bagian:
Makam Kasepuhan, yang terdiri atas 18 makam, antara lain makam Sultan Demak I (Raden Fatah) beserta istri-istri dan putra-putranya, yaitu Sultan Demak II (Raden Pati Unus) dan Pangeran Sedo Lepen (Raden Surowiyoto), serta makam putra Raden Fatah, Adipati Terung (Raden Husain).
Makam Kaneman, yang terdiri atas 24 makam, antara lain makam Sultan Demak III (Raden Trenggono), makam istrinya, dan makam putranya, Sunan Prawoto (Raden Hariyo Bagus Mukmin).
Makam di sebelah barat Kasepuhan dan Kaneman, yang terdiri atas makam Pangeran Arya Penangsang, Pangeran Jipang, Pangeran Arya Jenar, Pangeran Jaran Panoleh.
Makam lainnya, seperti Pangeran Benowo, dan Singo Yudo. 

Selesai menjiarahi Masjid Demak dan komplek makamnya kami berjalan-jalan sejenak mengelilingi alun-alun yang luas. Tidak lupa kami melepas lelah di rumah makan sekitar alun-alun yang menyajikan sajian penuh cita rasa. Menikmati pecel (semacam gado-gado atau lotek) di tengah hari sungguh suatu kenikmatan yang pantas disyukuri.