Senin, 24 Juli 2017

Masjid Menara Kudus




Menjelang pukul dua siang kami memasuki kota Kudus setelah satu dua jam perjalanan dari kota Demak diselingi singgah di Kadilangu yang merupakan tempat Sunan Kalijaga. Memasuki kota Kudus ditandai dengan hiasan iklan perusahaan rokok kretek di kiri kanan jalan menandakan kedigdayaan kota itu dalam industri rokok kretek. Tujuan utama kami ke kota ini bukan ingin melihat pabrik rokok atau memborong rokok tapi mengunjungi Masjid Kudus yang tekenal itu, yang menaranya diabadikan dalam pecahan  mata uang rupiah.
Memasuki bagian tengah kota yang padat dan jalan yang tidak begitu lebar sampailah kami di Masjid Kudus, meski mobil harus diparkir beberapa ratus meter di luar area masjid. Cuaca sedang cerah ketika itu, matahari bersinar sangat terik dan udara begitu panas. Melalui jalan-jalan sempit  di antara rumah-rumah penduduk yang sudah tua yang menandakan tuanya pemukiman di sana, akhirnya kami tiba pada tujuan yang kami cari. Suasana ramai ketika itu dengan para pengunjung masjid maupun para peziarah.
 Aku terpesona dengan dengan arsitektur menara masjid yang menyerupai candi terbuat dari batu bata, mengingatkanku pada bangunan bale bengong di Puri Taman Ayun di Bali. Mirip sekali. Hal ini tidak terlepas dari asal usul kota Kudus. Kudus berasal dari bahasa Arab Al Quds atau Yerusalem, bisa juga berarti suci dari kondisi setempat yang merupakan tempat yang suci sejak era Hindu. Menurut berbagai sumber, dahulu kota Kudus bernama Tajug, yang artinya atap bangunan tradisional yang digunakan untuk bersembahyang warga Hindu di daerah itu. Sunan Kudus yang datang kemudian melakukan pendekatan dengan membuat struktur atas menara Kudus berbentuk Tajug. Konon menara masjid Kudus sudah dibangun sebelum masjid Kudus berdiri. Pendirian menara ini dijadikan penanda kelahiran kota Kudus.
Kami memasuki masjid untuk melaksanakan shalat kemudian berkeliling melihat-lihat masjid peninggalan Sunan Kudus dan menikmati menara masjid dari serambi. Masjid Menara Kudus atau Masjid Al Manar bernama Masjid Al Aqsa Manarat Qudus. Disebut Al Aqsa karena batu pertama dibawa Sunan Kudus dari Al Aqsa di Baitul Maqdis (Yerusalem) Palestina. Masjid ini didirikan pada tahun 1549 dengan memadukan pola arsitektur yang memadukan budaya Islam dengan budaya Hindu. Pintu gerbangnya yang bernama Paduraksa seperti pintu gerbang pura di Bali
Kami pun tidak lupa menyempatkan diri berziarah ke makam wali dan keluarganya. Sunan Kudus bernama Ja’far Sidiq atau Raden Undung. Beliau dikenal sebagai salah seorang Wali Sanga. Sunan Kudus memiliki banyak ilmu, menguasai ilmu tauhid, hadis, tafsir, fikih sampai sastra sehingga disebut Waliyul Ilmi. Saat menyebarkan agama Islam beliau sangat berhati-hati. Untuk menghargai pemeluk Hindu yang menghormati sapi, maka Sunan Kudus mengajarkan untuk mengonsumsi daging kerbau. Ajaran ini berlangsung sampai sekarang dan menjadi salah satu kekhasan kuliner kota Kudus.
Dalam Babad Jawa dan Hikayat Melayu, nama Sunan Kudus pertama muncul saat perang jihad pertama di Jawa yang terjadi antara Kerajaan Islam Demak dengan Kerajaan Hindu Majapahit, pada 1524 dan 1526. Saat itu, Sunan Kudus mendampingi imam masjid Demak keempat yang tidak lain merupakan ayahnya sendiri, memimpin peperangan melawan Majapahit. Dalam pertempuran sengit itu, ayah Sunan Kudus gugur. Sunan Kudus kemudian diangkat menjadi imam masjid Demak. Sedangkah menurut Hikayat Hasanudin, Sunan Kudus adalah imam masjid Demak kelima. Pada 1526 dan 1527, Raja Demak Sultan Trenggana memerintahkan Sunan Kudus menyerang Majapahit. Serangan itu dipimpin langsung oleh Sunan Kudus dan berakhir dengan kemenangan Kerajaan Demak. Setelah itu, Sunan Kudus kembali dengan aktivitas keagamaannya di masjid Demak, yakni membumikan ajaran agama Islam.
Sunan Kudus mengembangkan filosofi gusjiang, yang berarti bagus, mengaji dan berdagang. Melalui filosofi tersebut Sunan menuntun masyarakat menjadi orang berkepribadian bagus, tekun mengaji dan mau berdagang. Usaha yang berkembang di antaranya usaha batik dan pembuatan jenang atau dodol. Para pedagang Timur Tengah, Tiongkok dan Nusantara yang berdagang kain, barang pecah belah dan hasil pertanian di Pelabuhan Tanjung Karang, Kudus terinspirasi dengan filosofi Sunan Kudus tersebut. Sayang pelabuhah Tanjung Karang kini tiada lagi karena sedimentasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar