Senin, 31 Desember 2018

Berkuda Ke Candi Gedong Songo

Sampai tahun 2009 aku sering berkunjung ke Jawa Tengah dan Jawa Timur terutama ke Semarang dan sekitarnya. Biasanya itu kulakukan jika ada kegiatan ke wilayah Cirebon. Ketika sudah sampai di Losari yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur maka kadang begitu saja terbersit keinginan untuk bergerak ke arah timur terutama jika keesokan harinya adalah akhir pekan. Pada umumnya aku berkendara pada malam hari dan jika lelah aku beristirahat di kota kota yang aku lalui, bisa di sebuah masjid untuk melaksanakan shalat dan bisa juga di sebuah restoran atau pedagang kaki lima sambil menikmati makanan setempat yang khas atau membeli oleh-oleh. Kali ini saya akan bercerita tentang perjalanan ke luar kota Semarang. Pagi atau siang itu kami (saya dan kang Permadi) meninggalkan kota Semarang ke arah Solo. Tiba di Bawen kami berbelok ke arah Magelang. Tidak berapa lama kamipun tiba di kota Ambarawa. Ambarawa kini menjadi sebuah kota yang berkembang. Baik karena posisi strategisnya maupun karena warisan budaya dan sejarahnya. Sebut saja Palagan Ambarawa atau kereta api wisata yang antik peninggalan zaman kolonial. Memasuki kota di sisi jalan kami membaca sebuah tulisan "Makam Dr Tjipto Mangunkusumo". Kami tertarik untuk menghampiri. Ada jalan masuk kecil, dan benar saja ada sebuah makam. Makam keluarga Dr Tjipto. Kami berziarah dan berdoa sambil mengenang perjuangan beliau dan mengingat sumbangsihnya bagi bangsa dan negara. Tidak lupa kami pun mengambil gambar. Dr Cipto adalah pelopor paham nasionalisme di Indonesia dan salah seorang mentor Bung Karno di samping Tjokroaminoto. Nama Dr Tjipto diabadikan pada nama jalan di berbagai kota dan nama rumah sakit di Jakarta. Saat shalat zuhur tiba kami singgah dan shalat di sebuah Masjid Muslim Pancasila. Setelah itu kami mampir ke sebuah toko kue dan roti yang sudah terkenal di kota Ambarawa. Ini milik seorang keturunan Tionghoa. Tokonya sudah ada sejak lama-mungkin sejak awal kemerdekaan- persis seperti toko roti Sidodadi di Bandung. Dari Ambarawa kami berbelok ke kanan menuju tujuan utama kami yaitu Candi Gedongsongo. Jalannya menanjak seperti jalan ke arah Lembang. Bedanya jalan ini lurus tidak seperti jalan ke Lembang yang berkelok-kelok. Di kiri kanan pohon-pohon lengkeng sedang berbuah dengan lebatnya. Oh rupanya dari sini asal buah lengkeng itu. Buah lengkeng mirip buah rambutan hanya ukurannya lebih kecil dan rasanya lebih manis. Tidak seperti buah rambutan yang berkulit tebal dan berambut, kulit buah lengkeng tipis seperti kulit telur. Melihat lebatnya buah lengkeng di halaman rumah penduduk sungguh menyenangkan hati. Setelah berkendara sejauh lebih dari 10 km sampailah kami ke pintu masuk Candi Gedongsongo. Candi Gedongsongo terletak di lereng gunung. Dari tempat parkir kita harus berjalan kaki mendaki sejauh beberapa kilometer. Pilihan lainnya adalah menunggang kuda. Kami memilih menunggang kuda. Hitung-hitung mencari pengalaman baru. Maka kami menyewa dua kuda yang didampingi jokinya. Kuda yang kami tunggangi adalah kuda lokal yang kecil sebanding dengan kami yang menungganginya. Seorang joki menuntun kami melewati jalan setapak yang merupakan jalan pintas ke candi. Kadangkala kami melalui bibir jurang atau sungai dan bahkan air panas di mana kami berhenti dan membasuh muka. Jalan ke candi berkelok kelok kadang mendaki kadang menurun. Hanya karena percaya bahwa kuda dan pemandu kami sudah sering melewati jalan yang kami lalui ini maka hati kami sedikit tenang. Selebihnya pasrah kepada Allah. Harapan sampai ke candi membuat kami bersemangat. Akhirnya setelah berkuda sekitar satu jam sampailah kami di komplek Candi Gedongsongo. Disebut komplek karena Gedongsongo adalah kumpulan candi yang menyebar di suatu hamparan yang tidak sepenuhnya rata. Ada tanah lapang ada pula tanah di ketinggian. Jarak satu candi dengan candi terjauh mungkin ada 1 km. Semua candi terlihat indah megah anggun di lereng gunung. Dari sini kita bisa melihat dataran yang lebih rendah di kejauhan. Sungguh pemilihan letak yang sangat cermat dari nenek moyang kita. Selain itu yang patut dipuji adalah keindahan arsitektural candi Hindunya itu sendiri. Satu persatu candi kami datangi dan kami kagumi. Batu batu itu tersusun rapi geometris dan diukir indah. Tentunya batu batu sungai itu diangkut dipotong diberi sambungan dan dirangkai satu sama lain menjadi struktur yang kokoh dan solid lalu dihias dengan ornamen ukiran atau patung manusia flora fauna dan makhluk ajaib seperti dewa dewi dan makhluk lainnya. Karena ada banyak candi maka disebut Candi Gedongsongo (sembilan gedung). Kumpulan candi ini mirip dengan kumpulan candi di Dieng baik dari bentuk maupun gaya serta lokasinya. Hanya saja candi Dieng lebih mudah dicapai dibandingkan candi Gedongsongo. Semakin sore semakin banyak orang datang ke Candi Gedongsongo dan kamipun kembali turun ke tempat parkir dengan kembali menunggangi kuda yang tadi. Kali ini kami lebih santai karena sudah sedikit tahu cara berkuda. Sederhananya begini. Lepas kekang agar kuda berjalan. Tepuk pantatnya agar jalan lebih cepat. Tarik kekang jika ingin kuda berhenti. Gerakkan tali kekang kiri agar kuda berbelok ke kiri dan gerakkan tali kekang ke kanan agar kuda bergerak ke kanan. Cukup sekian ya pelajaran berkuda dari saya. Silakan mencoba.

Jumat, 28 Desember 2018

Shalat Idul Adha Di Masjid Keraton Surakarta

Karena suatu alasan yang mendesak aku harus ke Ngawi secepatnya. Aku telah lupa alasannya. Singkat kata aku diantar kang Permadi berangkat ke Ngawi. Kami tiba di Ngawi siang hari dan selesai urusan pada sore harinya kami kembali pulang. Usai maghrib kami singgah di rumah bupuh Karsohutomo di Gendingan. Malam itu suara takbir mulai terdengar karena keesokan harinya adalah hari Idul Adha atau Lebaran Haji. Rasanya akan sangat lelah jika harus langsung pulang ke Bandung, jadi aku berpikir untuk menginap di Solo Yogya atau Semarang. Karena esoknya hari raya, aku membeli sebuah sarung di toko depan rumah bupuh untuk persiapan shalat Id. Seusai isya kami meninggalkan rumah bupuh menuju Solo melaui jalan raya nasional Solo-Surabaya. Malam itu lalu lintas dari Gendingan melalui hutan jati dan mahoni terasa sunyi dan kudus. Malam yang berkesan bagi kami berdua. Memasuki kota kecamatan Mantingan yang merupakan wilayah provinsi Jawa Timur paling barat kami mulai melihat keramaian di trotoar jalan yang gelap. Ada deretan nyala api menerangi kegelapan ditingkahi suara takbir tahmid tasbih dan tahlil bersahut-sahutan. Rupanya ada pawai obor menyambut hari Idul Adha. Setelah dekat dengan rombongan kami bisa melihat ternyata keseluruhan peserta pawai adalah ratusan santriwati Pondok Pesantren Putri Darussalam atau yang lebih dikenal sebagai Pesantren Gontor Putri. Mereka berjalan kaki dengan tertib dan rapi di trotoar di sekitar pondok pesantren, nampaknya mereka berkeliling kota Mantingan yang tidak terlalu besar. Mobil yang kami kendarai melewati mereka dan terus melaju ke arah Sragen meninggalkan rombongan pawai obor di kejauhan yang akhirnya menghilang dalam kegelapan. Sungguh peristiwa yang mengesankan. Baru sekali itu aku alami. Tak lama kemudian kami sampai diperbatasan Jawa Timur yang diberi penanda gapura berbentuk candi Penataran. Menyebrangi sungai tibalah kami di Banaran yang masuk wilayah Sragen, Jawa Tengah. Gapura memasuki provinsi Jawa Tengah tidak kalah megahnya. Oh ya pondok pesantren Gontor awalnya ada di Ponorogo. Seiring kemajuan dan kemasyhuran ponpes Gontor kini siswanya berdatangan dari seluruh pelosok negri. Ponpes Gontor pun membuka cabang di Ngawi dan Kediri. Di Ngawi ponpes dibangum di Mantingan dan itu khusus untuk putri. Mantingan terletak diperbatasan antara Ngawi (Jawa Timur) dan Sragen (Jawa Tengah). Kami pun memasuki kota Banaran yang sudah masuk wilayah Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Ini tempat yang tidak boleh dilewatkan oleh penggemar sate dan soto. Sayang karena sudah malam kami hanya melintasi tempat ini menuju Sragen dilanjutkan ke Solo. Malam itu kami memutuskan menginap di hotel Dana di Jalan Slamet Riyadi di pusat kota Solo. Hotel tua dan antik ini adalah hotel favoritku sejak tahun 1995 jika menginap di Solo. Awalnya aku menginap di sini saat mendampingi klub sepakbola Persikab dari Kabupaten Bandung bertanding dengan PSIS Semarang di lapangan Sriwedari. Sejak itu aku sering menginap di sini. Karena hari itu adalah hari raya, pagi pagi benar aku dan kang Permadi pergi ke Masjid Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di alun alun dengan mengendarai becak. Jaraknya sekitar tiga kilometer dari hotel. Jalan Slamet Riyadi yang biasanya padat terasa lengang. Saat tiba di masjid jamaah telah memenuhi masjid kerajaan yang megah itu. Entah berapa kali aku shalat di masjid ini tapi baru kali ini aku merasakan suasana istimewa, shalat Idul Adha. Khutbah Idul Adha yang disampaikan khatib sangat menyentuh di hati. Sungguh shalat Id yang tidak terlupakan. Usai melaksanakan shalat kami kembali ke hotel dengan naik becak yang tadi. Jalan dari masjid ke hotel lurus namun searah. Dengan becak menjadi lebih dekat karena jika menggunakan mobil atau motor harus melalui jalan yang lain. Tiba di hotel kami langsung menuju restoran, sarapan di restoran yang sudah ditata dalam suasana lebaran. Menu makanannya pun khusus makanan lebaran seperti ketupat, lontong, kari dan opor ayam serta sambal goreng kentang. Suasananya benar benar seperti di rumah sendiri. Arsitektur bangunan hotel yang menyerupai rumah bangsawan membuat suasana Idul Adha menjadi istimewa. Kami bersalam-salaman dengan tamu dan para pegawai hotel. Sesudah menikmati sarapan aku dan kang Permadi masih menyempatkan duduk di serambi yang menghadap ke taman belakang sambil ngopi dan menikmati suasana lebaran haji di kota Solo yang mungkin hanya sekali itu kami rasakan. Setelah puas menikmati suasana Idul Adha di kota Solo, kami pun check out sebelum tengah hari. Kami pun meninggalkan kota menuju Kartasura. Di Kartasura jalan terbagi dua menuju ke Semarang lewat Boyolali dan Salatiga atau ke Yogyakarta melalui Klaten. Kedua jalan tersebut bisa digunakan jika kita ingin kembali ke Bandung atau Jakarta.

Kamis, 27 Desember 2018

Berkunjung ke Puluhwatu

 


Sudah lama aku mendengar cerita dari ibu dan bupuh-bupuhku bahwa meski mereka tinggal di Ngawi sebenarnya asal-usul mereka dari Klaten tepatnya dari Puluhwatu. Bupuh Arisman sepupu ibu bahkan sempat tinggal di sana. Namun sampai aku dewasa aku belum sempat ke tempat itu. Demikian juga dengan ibuku.

 Pada suatu ketika setelah tahun 2005 aku ditemani kang Permadi ada dalam perjalanan antara Yogya dan Solo. Kebetulan hari masih pagi. Udara cerah dan hangat. Lalu lintas lancar. Kami melewati Prambanan tapi tidak singgah. Kami meneruskan perjalanan menuju Klaten.


 

 Setelah melewati Museum Gula Gondang Winangoen, kami berbelok ke kiri memasuki pesawahan yang ditanami tembakau. Kejayaan tembakau Klaten masih membekas. Sebuah bangunan dari batu berdiri kokoh. Fungsinya sebagai gudang tembakau. Nampaknya peninggalan para pengusaha tembakau Belanda. Kami terus melaju melalui sawah sawah yang mengering beberapa kilometer sampai menjumpai sebuah kantor Koramil (Komando Rayon Militer). Dari situ kami berbelok ke kanan seratus meter dan berbelok ke kiri. Sampailah kami di rumah keluarga ibu dari pihak ibu. Ini adalah pertama kali aku ke situ.


 

Puluhwatu selain nama sebuah pasar juga adalah nama sebuah desa di selatan Gunung Merapi yang masuk ke kecamatan Karangnangka Kabupaten Klaten. Dari situ leluhurku- sebut saja Eyang Puluhwatu-berasal. Dari ketiga anaknya, satu menetap di Puluhwatu sedangkan dua orang ke Ngawi. Satu orang karena diperistri Belanda dan satunya lagi karena mengikuti kakaknya, ialah ibu dari ibuku atau nenekku. Nenek dan kakekku dari pihak ibu berasal dari Puluhwatu. Kakekku dimakamkan di pemakaman umum di desa itu sedang nenekku dimakamkan di Walikukun Ngawi.

 Kini keluarga Puluhwatu menyebar ke berbagai kota (Klaten, Ngawi, Magetan, Madiun, Surabaya, Malang, Kediri, Yogya, Semarang, Cimahi, Bandung, Bandung Barat, Bogor, Depok) bahkan ke berbagai pulau seperti Flores (Maumere) Kalimantan (Pangkalan Bun) dan Sumatra (Riau) hingga ke Singapura. Kami biasanya bertemu jika ada undangan pesta perkawinan.

Lewat tengah hari aku pamit pada keluarga bupuhku. Meski tidak lama aku berkunjung ke Puluhwatu tapi setidaknya aku sudah pernah ke situ.

Rabu, 26 Desember 2018

WO Sriwedari

Menonton Wayang Orang Sriwedari

Karena Sidiq kuliah di Undip maka sesekali aku berkunjung ke kota Semarang. Biasanya ini kulakukan setelah kegiatan turba ke Indramayu dan Cirebon selesai. Pada suatu waktu setelah tiba di Semarang kami melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur. Pada malam hari kami tiba di kota Surakarta atau lebih dikenal dengan nama kota Solo. Kami singgah di Jalan Slamet Riyadi mampir ke sebuah warung lesehan sambil menikmati makanan khas kota itu. Malam itu kami tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berkunjung ke Taman Hiburan Rakyat Sri Wedari. Taman Sriwedari didirikan oleh Raja Surakarta. Pada masanya Sriwedari sangat terkenal. Di sini ada tempat pertunjukan kesenian dan tempat bermain serta tempat wisata kuliner. Pertunjukan yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang wong (wayang orang). Kamipun menyempatkan diri berkunjung ke Sriwedari. Pada malam itu di Sriwedari ada beberapa pertunjukan antara lain wayang orang. Wayang orang adalah sebuah sendratari (seni drama dan tari) atau opera Jawa. Setelah membeli tiket kami duduk bersama penonton menyaksikan pertujukan wayang orang yang menggunakan bahasa Jawa. Seperti wayang kulit, pada wayang ada pula dalang yang mengantarkan lakon. Para aktor dan aktris muncul bergantian tergantung plot cerita. Mereka bercakap, bernyanyi dan menari. Busana mereka indah dan berwarna warni seperti terdapat pada wayang kulit. Pertunjukan diiringi oleh orkestra gamelan yang indah. Penonton wayang orang di Sriwedari malam tidak banyak. Meski begitu aku menikmati pertunjukan itu. Menonton wayang orang bukan hal baru bagiku. Saat masih bersekolah di SD aku pernah satu dua kali diajak bapak nonton wayang orang Pandawa di Pasar Senin. Gedung pertunjukan wayang orang Sriwedari tidak sebaik gedung pertunjukan wayang orang Pandawa di Jakarta. Saat pertunjukan wayang orang berlangsung sayup-sayup terdengar suara konser musik dari gedung sebelah. Konsentrasi kami pun terganggu. Kang Permadi yang merasa tidak familiar dengan bahasa Jawa lebih tertarik mendengar musik dari sebelah. Ternyata itu konser musik lagu-lagu Koes Plus. Ia pun beranjak pergi ke gedung sebelah. Aku dan anakku melanjutkan menonton wayang orang hingga selesai. Menjelang tengah malam kami meninggalkan kota Solo menuju Ngawi. Sampai di kota Sragen kami sudah kelelahan dan segera menginap di sebuah hotel di pinggiran kota. Paginya Mas Yono dari Bengkulu mengunjungi kami. Kebetulan ia baru mengunjungi anaknya yang sulung di kota Solo. Ia datang sendiri mengendarai mobil jeep milik anaknya. Dari hotel kami pergi beriringan ke Ngawi. Kami singgah di rumah Bupuh Karsohutomo di Gendingan kemudian melanjutkan perjalanan ke Sine. Aku berkunjung ke rumah mas Yono dan berziarah ke makam ibunya. Ibu Mas Yono adalah kakak ayahku.

Kamis, 20 Desember 2018

Antara Merapi dan Merbabu

Dimas Sidiq anak keduaku sudah mulai kuliah di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro di Kampus I Jalan Imam Bardjo, beberapa meter dari kantor Gubernur Jawa Tengah di Jalan Pemuda, dekat dari Simpang Lima. Kurasa itu sekitar tahun 2008. Istriku berencana datang menengok Sidiq ke Semarang dengan naik kereta api Harina dari Stasiun Hall Bandung. Usai mengikuti kegiatan di Cirebon aku dan kang Permadi bertolak ke Semarang dengan memgendarai mobil melewati pantai utara. Setelah melewati Brebes Tegal Pemalang Pekalongan Batang dan Kendal sampailah kami di Semarang malam hari dan menginap di Dibya Puri, sebuah hotel antik, atau hotel yang lain, aku sudah lupa.
Keesokan harinya, seusai shalat subuh kujemput istriku di Stasiun Semarang Tawang dan kubawa ke hotel. Sidiq datang dari tempat kostnya di Jalan Singosari. Usai bersarapan kami melihat kampus anakku di Imam Bardjo dan Kampus 2 di Tembalang. Dari sana kami melanjutkan perjalanan ke Ungaran, Salatiga dan Boyolali. Aku ingin mengajak istri dan anakku berwisata ke Selo Pass.
Kampus Tembalang terletak beberapa kilometer dari pusat kota. Dari jalan raya Semarang-Solo, setelah melewati tanjakan Gombel, masih masuk ke arah kiri beberapa kilometer melewati pemukiman penduduk. Di belokan itu terdapat patung Pangeran Diponegoro. Di lahan yang luasnya mendekati 100 ha inilah kampus 2 Universitas Diponegoro berdiri. Rektorat sudah pindah ke sini demikian juga hampir semua fakultas dan program studinya. Lingkungannya mulai dipenuhi oleh bisnis dan pemukiman. Namun demikian kawasan kampus mulai diteduhi oleh tanaman keras yang menghijau.
Setelah berkeliling lingkungan kampus kami melanjutkan perjalanan melewati Bawen yang merupakan pertigaan jalan antara Semarang Solo Magelang, kemudian melewati telaga Rawapening dan kemudian Ungaran. Ungaran adalah ibukota Kabupaten Semarang. Dari sini kami terus ke kota Salatiga yang terletak di dataran tinggi. Kotanya sejuk dan ramai. Banyak orang datang ke kota ini untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Dari Salatiga kami melanjutkan perjalanan ke Boyolali. Boyolali adalah kota kabupaten. Boyolali terkenal akan produk susu perahnya. Orang Jawa sering menjadikan nama kota Boyolali dengan Bajul Kesupen, artinya sama yaitu buaya lupa.
Dari Boyolali kami berbelok ke kanan. Pelan pelan kami menempuh jalan yang menanjak dan menyempit dan meninggalkan kota. Kami memasuki desa-desa, kebun-kebun dan sawah-sawah yang asri. Udara semakin sejuk seiring makin meningginya jalan yang kami tempuh. Jalan memang terus mendaki dan berliuk-liku melewati ratusan kelokan di belakang. Setelah berpuluh kilometer sampailah kami di daerah Selo. Selo bisa berasal dari kata batu atau sela-sela karena itu diaebut Selo Pass. Ini adalah titik tertinggi lintasan yang membelah dua gunung kembar. Gunung Merbabu di kanan dan Gunung Merapi di kiri. Pemandandan sepanjang Selo Pass sungguh indah, sejuk dan damai. Apalagi hujan turun ketika itu membuat pemandandangan semakin sempurna. Langit biru jernih. Kabut menyaput di Merbabu sementara asap nampak mengepul di Merapi. Kami berhenti di shelter, menghirup udara segar dan mengambil gambar.
Gunung Merapi sebuah gunung yang aktif. Sisa-sisa letusan dan semburan lahar serta aliran lava masih terasa ketika itu. Beberapa desa nampak porak poranda. Rumah rumah hancur dan ditinggalkan penghuninya. Oleh pemerintah tempat itu tidak boleh lagi dijadikan pemukiman dan dibiarkan apa adanya. Tempat itu dijadikan museum lapangan di mana kita bisa melihat kerusakan sebagai dampak dari erupsi Merapi.
Setelah mencapai titik tertinggi kini hanya ada jalan menurun ke arah Yogyakarta. Akhirnya kami sampai di suatu tempat bernama Blabak. Di tempat itu didirikan sebuah museum Merapi. Kami pun masuk dan menonton pertunjukan layar lebar mengebai erupsi Merapi. Dengan teknologi digital yang canggih dilengapi tata suara dan cahaya yang bagus tersajilah sebuah film dokumenter mengenai Merapi dan aktivitasnya. Peristiwa letusan kawah Merapi menjadi seolah berada di depan kita. Betapa dahsyat dan mengerikan. Api yang membara, lelehan lumpur yang menyala, semburan lahar, suara gemuruh letusan, awan panas, dan bencana dahsyat yang ditimbulkan berupa rusaknya hutan sawah ladang dan pemukiaman serta kematian baik manusia ternak maupun pepohonan. Sungguh peristiwa alam yang sangat dahsyat dan mengerikan. Itu semua menjadi obyek penelitian tapi juga memunculkan imajinasi mengenai kedahsyatan neraka.
Usai menyaksikan pemutaran film mengenai Gunung Merapi dan aktivitasnya kami beristirahat di sebuah rumah makan di dekat museum. Letaknya seakan menggantung di lereng bukit, ditopang oleh pilar-pilar kayu dan bambu. Kami berempat duduk lesehan beralaskan tikar dan bantal menikmati secangkir kopi dan makanan yang disajikan. Suatu kesempatan yang amat langka tentunya bisa menikmati pemandangan alam pegunungan di suatu senja yang indah sambil berbincang dan menikmati kopi panas.
Saat meninggalkan museum tadinya kupikir akan melanjutkan perjalanan ke Magelang lalu ke Semarang. Tapi ternyata ada jalan pintas ke Salatiga, maka kamipun melalui jalan itu. Ternyata ini pilihan yang tepat karena jalan ini melalui kawasan wisata yang ramai seperti di Lembang atau Batu. Perjalanan terasa semakin mengasyikkan. Pemandangan di sini sangat menarik hati. Di kiri kanan ada kebun kebun bunga yang indah di antara bangunan vila hotel bungalow dan restoran yang tertata indah. Sayang perjalanan sudah memasuki malam sehingga kami langsung bergegas dan sampailah kami di kota Salatiga. Malam itu juga kami kembali ke Semarang.

Jumat, 20 Juli 2018

Pakpuh Sukarno Agen Muda Yang Membelot Pada Republik






Pada suatu kesempatan kami ke Semarang dan berkunjung ke Ngawi. Karena sudah malam akhirnya kami (saya, ibu, anakku Sidiq dan kang Permadi) menginap di sebuah hotel di Sragen. Pada pagi hari mas Yono sepupuku yang tinggal di Bengkulu menelpon dan kami pun bertemu di lobby hotel kemudian bersama-sama ke Ngawi.  Kami menyempatkan berkunjung ke bupuh Karsohutomo di Gendingan sebelum mengunjungi kerabat di Desa Tulakan, Sine. Keesokan harinya kami singgah di rumah mbak Warni di Brambang, Sragen mendoakan kemenakan kami Ary Atnoko yang akan menikah,  sebelum bertolak ke Bandung melalui Solo dan Yogyakarta. 

Di Yogyakarta kami singgah di rumah mbak Ninik sambil menjemput bupuh Arisman yang akan ke Magelang mengunjungi cucunya. Bupuh mengajak kami singgah ke Salam sebuah desa yang sudah masuk wilayah Magelang. Di sana kami berkunjung ke rumah pakpuh Sukar.  Pakpuh Sukar adalah kakak bupuh Aris,   sepupu ibuku. Di Salam pakpuh Sukar tinggal bersama istrinya yang sudah sakit-sakitan. Saat itulah aku sempat ngobrol berdua dengan pakpuh Sukar dan mendengar cerita yang mengejutkan. 

Pakpuh Sukar nama lengkapnya Sukarno, bernama asli Oscar, ayahnya seorang indo Belanda bernama Charles Wendyk.  Ia satu satunya anak laki laki, ketiga saudara kandung seibunya semua perempuan : bupuh Karsohutomo, bupuh Arisman dan bupuh Mulyono. Saudara tirinya – dari istri Charles Wendyk yang lain – yaitu   pakpuh Otto dan tante Charlotte yang dikenal dengan Nyah Lot. Pakpuh Otto meninggal di Tilburg Belanda dan Nyah Lot meninggal di Gendingan dan dimakamkan di Walikukun.

Setahuku pakpuh Sukar pernah bekerja  menjadi supir pribadi orang Tionghwa di Solo dan Wonosobo. Ia pun pernah menjadi supir bus antar kota antara Wonosobo dan Purwokerto. Sampai usia tua ia masih melajang sampai akhirnya ia menikahi seorang janda yang sudah beranak dan kemudian tinggal di Salam. Aku bertemu dengannya beberapa kali saja. Satu dua kali bertemu di rumah bupuh Karsohutomo di Gendingan dan satu dua kali bertemu di rumahnya di Wonosobo dan terakhir ya di Salam itu. Itulah pertemuan kami yang terakhir. Tidak lama kemudian beliau jatuh sakit dan wafat untuk kemudian dimakamkan di Wonosobo di dekat makam pakpuh Arisman.

Pada pertemuan terakhir sebelum wafatnya itu seolah pakpuh Sukar ingin menyampaikan sebuah rahasia yang selama ini dipendamnya. Tiba tiba saja ia berkata bahwa saat masih remaja ia sudah direkrut sebagai agen rahasia tentara Belanda. Menahan rasa terkejutku aku berusaha tidak menampakkan ekpresi apa pun. Seolah ingin meyakinkanku pakpuh menunjukkan semacam tatto di pahanya yang putih, bukan tatto, lebih tepatnya adalah cap yang dihasilkan dari besi panas yang ditempelkan di paha sehingga menyebabkan bekas luka yang abadi. Akupun serta merta mempercayainya karena pakpuh Sukar adalah orang yang setahuku tidak pernah berkata tidak jujur. 

Sebagai agen rahasia Belanda pakpuh yang memiliki ibu orang Jawa ditugasi mencari informasi di kalangan tentara Republik. Tetapi pada suatu ketika pakpuh berbalik menjadi agen rahasia tentara Republik, karena kecintaannya pada tanah airnya atau dibina oleh tentara Republik. Tugas barusebagai agen rahasis tentara Republik di umur semuda tentu   bukan tanpa risiko. Jika diketahui tentara Belanda entah apa yang akan terjadi.Bukan suatu kebetulan jika kedua adik iparnya yaitu pakpuh Arisman dan pakpuh Mulyono adalah veteran. Pakpuh Arisman tentara Siliwangi dan pakpuh Mulyono Tentara Pelajar. Boleh dikatakan keluarga kami adalah keluarga nasionalis. Jika tidak menjadi tentara atau pegawai pemerintah ya menjadi aktivis PNI atau PDI.

Saat bercerita mengenai perannya sebagai agen rahasia di masa remajanya itu pakpuh Sukar tidak menunjukkan ekspresi yang berubah. Biasa saja seperti saat ia bercakap cakap denganku saat aku kecil.  Ia kukenal sebagai orang baik. Ibu dan Titik adikku pernah beberapa bulan tinggal bersamanya di Jl Karangnangka Solo.  Rupanya itu adalah rahasia yang disimpannya selama ini terhadapku dan baru diceritakannya pada saat yang dianggapnya tepat.  Ibu saat itu duduk di sebrang kami, entah mendengar entah tidak, mengenai percakapan kami. 

Karena hari mulai senja kamipun berpamitan meninggalkan pakpuh dan bupuh Sukar. Kami melanjutkan perjalanan ke Magelang ke rumah mas Bowo di Perumahan KORPRI. Saat itu mas Bowo sedang berlayar jadi kami tidak berjumpa dengannya . Setelah beristirahat dan makan malam kamipun berpamitan pada bupuh Arisman dan mbak Nunung untuk melanjutkan perjalanan ke Bandung.  Kami mengambil jalan melalui Purworejo kemudian ke Kebumen, Banjar dan Ciamis. Menjelang pagi kami tiba di Bandung. 

Terus terang kisah pakpuh Sukar ini adalah kisah yang paling dramatis yang kudapat selama mengenal keluarga ibuku.