Pada suatu hari di bulan Mei 2007 staf di kantor menelponku
dan memberi informasi bahwa aku diminta berangkat bersama Adi Gunawan ke
Tiongkok untuk mendampingi pemerintah provinsi Jawa Barat yang akan mengikuti
China International Exhibition 2007. Rombongan dipimpin Sekretaris Daerah
Provinsi Jawa Barat Lex Laksamana dan Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat. Rombongan
terdiri dari Kepala Dinas Pertambangan dan jajarannya disertai dengan
eksekutif, legislatif dan perguruan
tinggi di kabupaten Garut dan Tasikmalaya. Dari kalangan pengusaha ada beberapa
pengusaha Bandung dan Gatot Tjahjono
dari KADIN. Sayangnya karena sesuatu hal
aku tidak bisa berangkat bersama rombongan melainkan menyusul sendiri
belakangan.
Seingatku aku akhirnya berangkat malam hari dari Bandara Internasional
Soekarno-Hatta. Di pesawat aku duduk di samping Wakil Gubernur Sulawesi Barat
yang ternyata juga berangkat ke China. Rupanya pengatur perjalanan telah
mengaturnya. Dalam perjalanan Pak Wagub bercerita
bahwa dulu pernah berdinas di Telkom di Bandung bahkan pernah mendaftar menjadi
anggota PDI Perjuangan dan memiliki KTA (Kartu Tanda Anggota). Aku pun merasa memiliki teman dekat sehingga
perjalanan terasa menyenangkan.
Perjalanan ke Beijing berlangsung sekitar enam jam. Saat malam berakhir pesawat sudah berada
di atas kota Beijing yang merupakan kota
ketiga terbesar di dunia. Cahaya matahari tidak begitu terang karena kota
diselimuti kabut. Samar-samar bandara yang luas dan modern nampak di kejauhan.
Hari masih pagi saat kami tiba di bandara. Keriuhan
bandara segera terasa. Para penumpang yang antri di bagian imigrasi dan bea
cukai nampak mengular dan panjang. Kebanyakan adalah penumpang berkulit putih.
Kebetulan saat itu Beijing sedang bersiap menghadapi Olympiade. Stadion Sarang
Burung yang menjadi venue utama olympiade
bisa kulihat selintas saat pesawat hendak mendarat.
Saat keluar bandara seorang pemandu sudah menjemput kami.
Dengan menggunakan minibus dia membawa kami meluncur memasuki kota Beijing.
Kami pun langsung masuk ke keramaian lalu lintas di jalan raya yang memiliki
banyak jalur sehingga nampak lebih luas dari jalan tol di Indonesia . Bagiku Beijing nampak serba berskala besar. Akupun
menikmati pemandangan pagi hari di kota yang memiliki penduduk lebih dari
sepuluh juta ini.
Di Beijing pengendara sepeda motor dilarang memasuki kota.
Di jalan hanya ada kendaraan roda empat dan sepeda (kereta angin). Sepeda bersliweran
di kawasan perdagangan maupun kawasan perumahan. Menurut cerita kehilangan sepeda merupakan hal yang sudah biasa. Penggunaan sepeda
diharapkan mengurangi polusi udara. Pemerintah Cina nampaknya kewalahan mengatasi
polusi udara yang berasal dari emisi gas
buangan kendaraan serta asap dari pabrik maupun debu dari pembangunan
gedung-gedung. Tadinya kupikir kabut di Beijing berasal dari udara yang dingin
tapi ternyata dari debu maupun asap yang
memenuhi udara. Dengan sendirinya jarak
pandang pun menjadi terbatas.
Meski pemerintah kota Beijing belum mampu mengatasi polusi udara tapi di sisi lain keliahatannya mereka
sudah mampu mengatasi pencemaran air sungai. Sungai -sungai di Beijing nampak
bersih dan jernih dengan tanggul dan tepian sungai yang ditata dengan baik
dengan taman-taman yang nyaman sehingga menjadi tempat pertemuan dan tempat
bersantai warga kota. Saat aku melintas dari bandara menuju hotel, aku melihat
banyak orang berusia lanjut yang berjalan-jalan atau duduk di tepian sungai. Aku
pun melihat ada yang sedang memancing. Saat
ikan didapat mereka melepas kembali ke sungai. Ada pula yang melepas pakaian
dan berenang di sungai yang mengalir
jernih.
Di Beijing masih tersisa bangunan-bangunan perumahan untuk
penduduk yang dibangun oleh pemerintah. Bentuknya lebih menyerupai asrama .
Ukurannya lebih kecil dari rumah T 21
yang dibuat oleh Perumnas. Kamar mandi dan WC dibuat kolektif. Kini pemerintah
Cina sudah membangun perumahan bagi warga berbentuk rumah susun atau apartemen
yang disediakan bagi penduduk berdasarkan strata sosialnya.
Di Beijing kami berkesempatan jalan-jalan ke Lapangan Tian
An Men (Lapangan Merah) dengan foto Mao Ze Dong berukuran besar di gerbang
Istana. Di dekat situ ada musoleum Mao dan kantor pemerintatahan. Pada malam hari
lampu-lampu di sekitar Lapangan Merah
sangat indah. Di Beijing kami mampir ke
sebuah pusat pengobatan herbal di sebrang Lapangan Merah yang mempromosikan pengobatan
dengan tujuk jarum, pijat dan ramuan
alamiah.
Bukan hanya mengunjungi Lapangan Tian Anmen (Pintu Surga Yang Damai) kamipun pergi ke luar kota Beijing menuju
Tembok Besar (Great Wall) yang mulai dibangun tahun 210 sebelum Masehi oleh Kaisar Dinasti Chin ,
Shih Huang Ti untuk menahan serangan bangsa Mongol dari Utara. Panjang Tembok
Besar dari barat ke timur sekitar 2.414
km mungkin hampir sama dengan jarak
penerbangan dari Jakarta ke Beijing. Aku mencoba mendaki tangga dari batu untuk
mencapai bagian atas tembok yang
didirikan di atas bukit dan merasa takjub akan karya mereka itu. Sebagai
kenang-kenangan ada piagam dari terbuat dari kuningan yang ditulisi namaku, menunjukkan
bahwa aku pernah berkunjung ke sana pada tanggal 12 Mei 2007. Tentu saja aku
harus membayar beberapa yuan (renmimbi) untuk mendapatkannya.
,
,
Berikutnya insya Allah akan kuceritakan kunjunganku ke Hangzhou,
Huangshan, Shanghai.