Pada suatu kesempatan kami ke Semarang dan berkunjung ke
Ngawi. Karena sudah malam akhirnya kami (saya, ibu, anakku Sidiq dan kang
Permadi) menginap di sebuah hotel di Sragen. Pada pagi hari mas Yono sepupuku
yang tinggal di Bengkulu menelpon dan kami pun bertemu di lobby hotel kemudian
bersama-sama ke Ngawi. Kami menyempatkan
berkunjung ke bupuh Karsohutomo di Gendingan sebelum mengunjungi kerabat di
Desa Tulakan, Sine. Keesokan harinya kami singgah di rumah mbak Warni di
Brambang, Sragen mendoakan kemenakan kami Ary Atnoko yang akan menikah, sebelum bertolak ke Bandung melalui Solo dan
Yogyakarta.
Di Yogyakarta kami singgah di rumah mbak Ninik sambil
menjemput bupuh Arisman yang akan ke Magelang mengunjungi cucunya. Bupuh mengajak
kami singgah ke Salam sebuah desa yang sudah masuk wilayah Magelang. Di sana
kami berkunjung ke rumah pakpuh Sukar. Pakpuh
Sukar adalah kakak bupuh Aris, sepupu ibuku. Di Salam pakpuh Sukar tinggal
bersama istrinya yang sudah sakit-sakitan. Saat itulah aku sempat ngobrol
berdua dengan pakpuh Sukar dan mendengar cerita yang mengejutkan.
Pakpuh Sukar nama lengkapnya Sukarno, bernama asli Oscar,
ayahnya seorang indo Belanda bernama Charles Wendyk. Ia satu satunya anak laki laki, ketiga
saudara kandung seibunya semua perempuan : bupuh Karsohutomo, bupuh Arisman dan
bupuh Mulyono. Saudara tirinya – dari istri Charles Wendyk yang lain – yaitu pakpuh
Otto dan tante Charlotte yang dikenal dengan Nyah Lot. Pakpuh Otto meninggal di
Tilburg Belanda dan Nyah Lot meninggal di Gendingan dan dimakamkan di
Walikukun.
Setahuku pakpuh Sukar pernah bekerja menjadi supir pribadi orang Tionghwa di Solo
dan Wonosobo. Ia pun pernah menjadi supir bus antar kota antara Wonosobo dan
Purwokerto. Sampai usia tua ia masih melajang sampai akhirnya ia menikahi
seorang janda yang sudah beranak dan kemudian tinggal di Salam. Aku bertemu
dengannya beberapa kali saja. Satu dua kali bertemu di rumah bupuh Karsohutomo
di Gendingan dan satu dua kali bertemu di rumahnya di Wonosobo dan terakhir ya
di Salam itu. Itulah pertemuan kami yang terakhir. Tidak lama kemudian beliau jatuh
sakit dan wafat untuk kemudian dimakamkan di Wonosobo di dekat makam pakpuh
Arisman.
Pada pertemuan terakhir sebelum wafatnya itu seolah pakpuh
Sukar ingin menyampaikan sebuah rahasia yang selama ini dipendamnya. Tiba tiba
saja ia berkata bahwa saat masih remaja ia sudah direkrut sebagai agen rahasia tentara
Belanda. Menahan rasa terkejutku aku berusaha tidak menampakkan ekpresi apa
pun. Seolah ingin meyakinkanku pakpuh menunjukkan semacam tatto di pahanya yang
putih, bukan tatto, lebih tepatnya adalah cap yang dihasilkan dari besi panas
yang ditempelkan di paha sehingga menyebabkan bekas luka yang abadi. Akupun serta
merta mempercayainya karena pakpuh Sukar adalah orang yang setahuku tidak pernah
berkata tidak jujur.
Sebagai agen rahasia Belanda pakpuh yang memiliki ibu orang
Jawa ditugasi mencari informasi di kalangan tentara Republik. Tetapi pada suatu
ketika pakpuh berbalik menjadi agen rahasia tentara Republik, karena kecintaannya
pada tanah airnya atau dibina oleh tentara Republik. Tugas barusebagai agen
rahasis tentara Republik di umur semuda tentu
bukan tanpa risiko. Jika diketahui
tentara Belanda entah apa yang akan terjadi.Bukan suatu kebetulan jika kedua adik iparnya yaitu pakpuh
Arisman dan pakpuh Mulyono adalah veteran. Pakpuh Arisman tentara Siliwangi dan
pakpuh Mulyono Tentara Pelajar. Boleh dikatakan keluarga kami adalah keluarga
nasionalis. Jika tidak menjadi tentara atau pegawai pemerintah ya menjadi
aktivis PNI atau PDI.
Saat bercerita mengenai perannya sebagai agen rahasia di
masa remajanya itu pakpuh Sukar tidak menunjukkan ekspresi yang berubah. Biasa saja
seperti saat ia bercakap cakap denganku saat aku kecil. Ia kukenal sebagai orang baik. Ibu dan Titik adikku
pernah beberapa bulan tinggal bersamanya di Jl Karangnangka Solo. Rupanya itu adalah rahasia yang disimpannya
selama ini terhadapku dan baru diceritakannya pada saat yang dianggapnya
tepat. Ibu saat itu duduk di sebrang
kami, entah mendengar entah tidak, mengenai percakapan kami.
Karena hari mulai senja kamipun berpamitan meninggalkan
pakpuh dan bupuh Sukar. Kami melanjutkan perjalanan ke Magelang ke rumah mas
Bowo di Perumahan KORPRI. Saat itu mas Bowo sedang berlayar jadi kami tidak
berjumpa dengannya . Setelah beristirahat dan makan malam kamipun berpamitan
pada bupuh Arisman dan mbak Nunung untuk melanjutkan perjalanan ke
Bandung. Kami mengambil jalan melalui Purworejo kemudian ke Kebumen,
Banjar dan Ciamis. Menjelang pagi kami tiba di Bandung.
Terus terang kisah pakpuh Sukar ini adalah kisah yang paling
dramatis yang kudapat selama mengenal keluarga ibuku.