Kamis, 05 Mei 2011

Pak Cecep



Gedung Merdeka















PERKENALANKU dengan Pak Cecep secara intens dimulai sejak berdiskusi dalam suatu seminar yang diselenggarakan di Gedung Merdeka. Ketika itu aku – seperti halnya mahasiswa lain yang kritis—melakukan kritik terhadap budaya politik Orde Baru dalam melakukan pembinaan pemuda dengan cara mengkooptasi KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia). Point nya adalah bahwa KNPI telah menjadi alat bagi kekuasaan antara lain dengan menempatkan orang-orangnya sebagai pengurus dari tingkat nasional hingga daerah. Pemuda tidak lagi mencerminkan semangat kepemudaan atau pembaharuan karena lebih mengutamakan kelanggengan kekuasaan yang mengakibatkan para pengurus KNPI pada umumnya adalah bagian dari kekuasaan. Usia mereka pun tidak lagi muda karena umur empatpuluh tahun pun bisa menjadi pengurus KNPI. Itulah yang kukritik dari KNPI yang kebetulan salah seorang pengurusnya adalah Pak Cecep. Akibat kritik ini maka seorang intel mengajakku ngobrol ketika rehat. Cukuplah bagiku untuk mengetahui bahwa rejim tidak berkenan dengan kritik yang kusampaikan.

Nama lengkap Pak Cecep adalah Cecep Syarifudin, lulusan jurusan hubungan internasional fakultas sosial politik UGM, yang mengajar dan menduduki jabatan penting di Universitas Pasundan serta Paguyuban Pasundan. Dia adalah seorang anak kiai di Bogor yang kemudian menjadi menantu KH Prof Dr Musadad—ulama kharismatis dari Garut, karena Pak Cecep menikahi putrinya yang bernama Ummu Salamah. Aku tidak pernah membayangkan bahwa orang yang pernah kukritik itu pada suatu saat menjadi orang yang mendukung aktifitasku di kampus.

Pada saat PBB menyelenggarakan pawai obor perdamaian keliling dunia, aku dan kawan-kawan menyelenggarakan Pameran Perdamaian Dunia di Lengkong Besar 68. Ketika itu Dekan dan para dosen di FISIP Unpas tidak memberikan dukungan bagi terselenggaranya kegiatan. Pak Cecep setelah membaca berita rencana acara tersebut di koran Pikiran Rakyat dan Prioritas kemudian mengatakan padaku bahwa dia mendukung kegiatan itu. Diapun menyalahkan Dekan dan para pengajar FISIP. Sejak saat itu dia memantau perkembangan dan setelah tahu bahwa Departemen Luar Negri dan Menpora memberikan dukungan padaku maka dia sendiri yang mengantarku ke Jakarta dengan menggunakan Garuda dari Bandung. Aku dipertemukan dengan seorang diplomat Deparlu di Kebayoran, Dr Johan Syahperi . Dr Johan adalah diplomat yang aktif di dunia kepemudaan dan menjadi Ketua Asian Youth Council. Dia ternyata lulusan Universitas Parahyangan Bandung. Dalam pertemuan itu dia menyatakan bersedia untuk datang dalam seminar yang kami selenggarakan dan akan berbagi pengalaman mengenai peran pemuda dalam perdamaian internasional.

Pameran Perdamaian Dunia itupun terselenggara dengan segala keterbatasannya. Prof Muchtar Affandi yang menjadi rector saat itu pun hadir. Pak Cecep hanya memantau dari jauh dan mengatakan padaku agar aku mengerahkan pendukung-pendukungku untuk mensukseskan acara tersebut, karena dia tahu sebagian mahasiswa dan dosen memboikot acara tersebut. Alhamdulillah pameran yang terselenggara beberapa hari itu berjalan lancar dan sukses. Beberapa negara –termasuk negara super power ketika itu seperti AS dan US—memberikan dukungan berupa material pameran seperti buku-buku, poster dan film.

Pak Cecep kemudian tidak lagi aktif di kampus karena sibuk dengan kegiatan politiknya menjadi anggota DPR/MPR, dan menjadi pengurus PBNU. Ummu Salamah istrinya menjadi Ketua Jurusan Kesejahteraan Sosial sehingga akupun sering berinteraksi dalam kegiatan akademis. Pada saat kongres pendidikan pekerjaan sosial se-Asia dan Pasifik, ibu Ummu dan pak Fachrurozi sebagai pengajar serta dua orang mahasiswa yaitu aku dan Abu Hurairah ditugaskan kampus untuk mengikuti kegiatan tersebut. Setelah itu lama aku tidak bertemu dengan Pak Cecep. Belakangan aku mendengar berita tak sedap mengenai gelar Doktor Pak Cecep tapi hal itu tidak menghilangkan penghargaanku padanya karena dia adalah orang yang membantuku di saat-saat sulit, dan bukankah seorang sahabat ada untuk itu ?



Gedung DPR/MPR







Suatu saat aku bertemu Pak Cecep dalam sebuah resepsi pernikahan seorang dosen. MC di acara tersebut mengucapkan selamat datang padaku sebagai “calon bupati Bandung”. Pak Cecep tersenyum saat kami berpisah sebelum meninggalkan tempat resepsi dan mengatakan “semoga sukses”.

Seingatku aku bertemu Pak Cecep terakhir kali di RSHS, saat kami sama-sama melakukan general check-up sebagai salah satu syarat menjadi Caleg. Untuk kesekian kali Pak Cecep masuk Senayan, kali ini dari PKB. Ketika PKB terbelah ke dalam faksi Gus Dur dan faksi Muhaimin, Pak Cecep memilih bergabung dengan Muhaimin Iskandar.
Kini Pak Cecep telah berpulang ke rahmat Allah. Meskipun demikian Pak Cecep—nama panggilan KH Prof Dr Cecep Syarifudin –tetap hidup dalam kenanganku. Orang Jawa mengatakan “mikul duwur mendem jero”. Hanya yang baik-baik lah yang perlu dikenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar