Sebelum beranjak tidur malam aku keluar dari kamar menuju
tepi pantai Gapang. Dalam kegelapan aku dapat menemukan restoran dan seingatku
aku memesan nasi goreng dan segelas minuman panas untuk makan malamku. Restoran
sepi. Hanya dua atau tiga meja terisi tamu.
Di antaranya turis manca. Tiga atau empat perempuan bule dengan
didampingi seorang pemandu. Sedangkan aku makan sendirian sambil menyukuri
kenyataan bahwa aku akhirnya sampai di Pantai Gapang, kota Sabang, Pulau Weh,
NAD. Maka akupun menikmati makan malamku
ditemani debur ombak yang mengempas
dermaga di ujung restoran. Dikejauhan ada satu dua kapal atau perahu dengan lampu menerangi kegelapan lautan Indonesia. Seusai
menghabiskan santap malamku akupun tergerak turun ke dermaga. Sinar lampu
membantuku melihat air laut yang bening dengan riak-riak gelombang yang tenang
. ikan-ikan memenuhi kaki dermaga. Sebuah
pemandangan yang mengesankan.
Saat bangun pagi keesokan harinya, aku bergegas ke pantai
yang sepi. Sepotong surga di depanku. Aku
merasa seperti Adam yang diturunkan ke dunia. Bersijingkat di atas pasir putih aku menuju
pantai penuh bebatuan yang dijilati deburan ombak. Dengan leluasa aku menceburkan diri dan
menenggelamkan seluruh tubuhku ke kedalaman laut yang bening dan hangat. Matahari
mulai bersinar ketika aku mulai berenang kemudian menyandarkan diri di antara
bebatuan berasalas pasir putih yang lembut. Sungguh aku ingin waktu berhenti
saat itu.
Waktuku tidak banyak.
Seorang pemandu sudah menungguku di atas sepeda motornya. Akupun naik ke
atas sadel dan sejurus kemudian motorpun melaju meninggalkan penginapan. Tujuan pertama adalah sebuah teluk yang
menjadi tempat berkumpulnya turis-turis Eropa. Tempat itu memang sungguh indah
dan tersembunyi. Ada banyak penginapan
dan warung. Sepagi itu para turis sudah mulai memenuhi tepi pantai. Ada yang
mencari sarapan pagi atau sekedar duduk menikmati matahari. Beberapa dari
mereka kawin dengan penduduk setempat dan tinggal menetap di sana. Seorang wanita
Perancis mencocok tanah di halaman rumahnya dan menanaminya dengan bunga marrygold, ditemani anaknya yang masih balita.
Dari teluk itu kami menuju ke ujung barat pulau Weh yang
berupa hutan lindung. Di tengah jalan kami berkunjung ke rumah penduduk di rumah panggung mereka yang terbuat dari
kayu. Kami mengobrol sebentar sambil minum teh. Tuan rumah menceritakan situasi
sebelum dan setelah peradamaian di Aceh.
Mereka hidup lebih tenang sekarang dan dengan segala keterbatasan mereka
memulai hidup yang baru.
Setelah kampung terakhir di Sabang, kamipun memasuki hutan
dengan jalan berkelok-kelok dan menanjak. Sesekali jalan terhalang oleh
pohon-pohon yang tumbang. Untungnya motor kami bisa melaluinya dan akhirnya
tiba di gerbang yang dijaga petugas kemananan. Pemanduku berbincang sebentar
dengan mereka dan kamipun melanjutkan perjalanan makin masuk ke dalam hutan. Sekitar
pukul 10.00 kami pun tiba di tugu Kilometer nol kota Sabang yang sekaligus
sebagai penanda titik paling barat Indonesia. Akupun teringat lagu “dari Sabang
sampai Merauke”. Alhamdulillah.
Aku berkeliling tugu peringatan nol derajat, mengambil
beberapa foto dengan camera telpon selularku, melihat lautan Indonesia dari
ketinggian bukit. Inilah ujung terbarat negriku. Keharuan menyergapku. Matakupun berkaca-kaca. Setelah itu yang ada
jalan menurun dan berliku kembali ke Pantai Gapang.
Menjelang pukul 12.00
aku check out dari penginapan dan dengan dengan menggunakan motor yang sama aku
menuju kota Sabang. Ini adalah sebuah perjalanan yang tak akan terlupakan. Sepanjang
perjalanan laut yang mengelilingi pulau Weh terlihat dari ketinggian dan nampai
begitu indah. Ada pulau-pulau kecil tak
jauh dari tepi pantai menyembul di antara laut biru dengan ombak putih. Sebuah obyek
foto yang harus diabadikan.
Kamipun tiba di kota Sabang pada tengah hari. Tujuanku adalah sebuah kedai makan. Kamipun segera
menjadi bagian dari pengunjung yang makan siang di kedai itu. Ramai sekali
suasananya mirip suasana di warteg. Tak lama kemudian semua kedai dan toko-toko
di Sabang akan tutup. Penduduk kota akan beristirahat. Mereka baru akan memulai
aktivitasnya kembali setelah waktu ashar. Aku menyempatkan diri singgah ke Kantor Dinas
Pariwisata Kota Sabang untuk mencatatkan diri sebagai pengunjung tugu KM 0 (nol ) yang kesekian dan pejabat
berwenang memberiku sebuah piagam kenang-kenangan.
Setelah berkeliling kota akupun berangkat ke pelabuhan. Menjelang ashar aku memasuki ferry yang
kemudian mengantarkanku kembali ke Banda Aceh untuk kemudian terbang ke Jakarta
dengan Garuda. Selamat tinggal Sabang,
selamat tinggal Aceh… damailah dalam
pangkuan Ibu Pertiwi n: Indonesia. “ Dari Sabang sampai Merauke, berjajar
pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia…”