Meski belum pukul 13.00 aku check out dari hotel Cakradonya
setelah makan siang. Pemanduku sudah menunggu di lobby dan sejurus kemudian
kamipun meninggalkan halaman hotel menuju pelabuhan laut Malahayati (?). sebelum sampai di pelabuhan kami singgah di
sebuah pemakaman korban tsunami yang
lebih menyerupai taman berwujud sebuah bukit kecil dengan lapisan hamparan rumput hijau segar. Ratusan jenazah dimakamkan di situ. Berdiri
di depannya aku merasakan kepedihan yang amat sangat dan bulu kuduk pun serta
merta meremang. Aku terhenyak namun kemudian berdoa, juga buat sahabatku
Aliudin yang tewas bersama seluruh—kecuali seorang putrinya yang menjadi
santriwati di
sebuah ponpes di subang—keluarganya .
sebuah ponpes di subang—keluarganya .
Menjelang petang di tanggal 24 Maret 2006 itu aku tiba di
dermaga pelabuhan darurat yang menghubungkan Banda Aceh di Pulau Sumatra dan
Sabang di Pulau Weh. Setelah membeli
sebuah tiket aku menunggu ferry yang akan menyebrangkanku bersama penumpang-penumpang
lain. Satu atau dua jam kemudian ferry
tiba dan para penumpang bergegas memasukinya.
Masih diperlukan beberapa waktu lagi sampai ferry benar-benar penuh dan
kemudian lepas sauh meninggalkan dermaga untuk bertolak ke Sabang.
Ketika ferry bertolak meninggalkan Banda Aceh, aku agak
bimbang apakah aku lega atau cemas ketika itu. Tak sempat berpikir panjang laut
biru yang bergelombang tinggi pun menyergap.
Kota Banca Aceh di ujung paling
utara Pulau Suvarnadwipa itupun pelan-pelang hilang dari pandangan. Ferry
melalui satu dua pulau berupa bukit yang menghijau. Di dalam ferry beberapa
prajurit TNI –nampaknya dari AD—hilir mudik sambil membawa senapan. Meskipun
perjanjian perdamaian antara Pemerintah RI dengan GAM telah ditandadatangani
kedua belah pihak tapi nampaknya keamanan belum sepenuhnya pulih.
Sambil merasakan hati atau pikiran yang berkecamuk, aku
mendengar suara ribute-ribut orang bertengkar di dalam kapal, entah antar awak
kapal atau antara awak kapal dengan penumpang. Tentu saja insiden itu menambah
perasaanku menjadi galau. Tapi aku harus ke Sabang karena tidak mungkin aku
turun di tengah jalan. Nasib menuntunku menuju Indonesia nol derajat.
Senja menyapa ketika fery tiba di pelabuhan di Pulau
Weh. Dengan setengah sok tahu aku keluar
dari pelabuhan dan menyelinap di antara
penumpang angkutan kota yang menuju Sabang sambil tak dapat memastikan tujuanku
di sana. Kurang lebih setengah jam
perjalanan mobil pun tiba di kota Sabang. Akupun turun begitu saja ketika ada orang lain turun. Di trotoar aku
termangu sejenak kemudian berjalan ke
arah kerumunan orang-orang menanyakan tempat penginapan. Seorang pengemudi
becak bermotor mengatakan penginapan ada di Pantai Gabang sekitar sepuluh
kilometer dari kota. Tanpa pikir panjang Akupun minta dia mengantarkanku
kesana.
Perjalanan ke Pantai Gapang membuatku terpana. Keindahan
kota Sabang menyergapku tanpa ampun. Kontur kota yang berbukit memudahkan mata
menatap keindahan teluk dan pantai di kejauhan dengan kapal-kapal , ada yang
bersauh di samping ada yang hilir mudik.
Lautnya begitu biru dan tenang. Hutan atau gerombolan pepohonan yang
rimbun dan hijau memberikan pemandangan yang permai. Kotapun Nampak santai .
semua itu menebus kegalauan dalam penyebaranganku.
Pengemudi becak bermotor yang kutumpangi ternyata seorang
mantan marinir yang masih bertugas sebagai informan bagi negara. Ia
menceritakan Aceh seperti apa adanya, tentang GAM dll. Menurutnya pulau Sabang
menjadi tempat pelarian aktivis GAM yang dikejar di Banda Aceh. Akupun
dikenalkan pada satu dua orang mantan kombatan GAM yang ditemuinya sepanjang
perjalanan. Ada satu dua alat-alat berat
yang rusak dan terbakar yang menurutnya terjadi karena persaingan mencari
rejeki di antara para mantan anggota GAM. Rasa ngeriku sepanjang perjalanan
berbanding lurus dengan keindahan yang kutemui sepanjang perjalanan .
Menjelang Isya kami sampai di Pantai Gapang. Tempat
menginapku mala mini adalah Leguna Resort sebuah resor di tengah hutan di tepi pantai. Bangunan yang akan kutempati
untuk menginap malam ini adalah cottage berupa rumah panggung terbuat dari
kayu. Ada beberapa cottage yang
nampaknya hanya satu dua saja yang terisi.
Malam itu menjadi malam yang panjang bagiku karena aku
merasakan suasana mencekam. Sesekali lenguhan sapi di kebun mengusik kesunyian
malam. Sekitar jam 21.00, dengan menggunakan sepeda motor, seorang petugas dari
kepolisian sektor datang ke front office.
terlibat pembicaraan pendek dengan
resepsionis lalu kemudian pergi. Aku mematikan lampu kamar, berdoa dan berusaha
tidur di Room 18 bertarif Rp 175.000,00 per malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar