Pedagang Cinderamata di Pasar El Khalili |
Tanggal 10 November 2006 aku masih berada di Kairo. Ketika
itu matahari sedang terik. Dengan beberapa teman kami berkunjung ke sebuah
pasar tradisional yang termasyhur di kota itu. Namanya pasar El Khalili atau
dalam bahasa setempat disebut Khan El Khalili. Anda yang menonton film Ketika
Cinta Bertasbih bisa melihat di film itu bagaimana situasi keramaian pasar El
Khalili. Acara kami yang pertama adalah
makan siang di sebuah kedai. Setelah itu dilanjutkan dengan menjelajahi
lorong-lorong pasar yang suasananya seperti di Pasar Kota Kembang Bandung.
Bedanya jika di Pasar Kota Kembang Bandung hanya menjual tekstil di sana segala
macam barang dijual terutama souvernir.
Setelah berkeliling menyaksikan
keriuhan jual beli di pasar kami sampai
di sebuah tempat di salah satu sudut di lorong pasar itu. Namanya Khan El
Khalili Restaurant & Naguib Mahfouz Cafe. Bagian muka restoran itu kecil
saja dan tidak menonjol. Bedanya di bagian depan ada dua orang penerima tamu
berseragam warna merah seperti prajurit di Keraton Yogyakarta. Restoran ini adalah tempat terkenal di pasar
itu bahkan di Kairo atau Mesir dan menjadi tempat tujuan wisatawan dunia
berkunjung. Tidak tanggung-tanggung restoran itu dioperasikan oleh hotel
Oberoi. Restoran itu sedemikian terkenal karena di tempat itulah Najib Mahfuz
(Naguib Mahfouz) seorang novelis Mesir yang mendapat Hadiah Nobel Sastra di
tahun 1988 sering bekunjung semasa hidupnya. Khan el-Khalili dan Miqdad Alley adalah dua novelnya yang berlatar belakang suasana pasar
itu.
Najib Mahfuz (Naguib Mahfouz) |
Pengunjung Khan El Khalili Restaurant & Naguib Mahfouz
Cafe sangat ramai siang itu, kebanyakan wisatawan manca terutama dari Eropa.
Mereka kebanyakan makan siang di bagian dalam restoran itu. Karena kami sudah
makan siang di kedai maka kami bertiga (Siswanda, aku dan mas Pemandu) hanya
duduk-duduk di cafe untuk minum masing-masing secangkir kecil Turkish Coffee (kopi Turki). Kopi Turki itu sangat pekat, begitu pekatnya
sehingga aku menganggap seisi cangkir adalah “endek-endek” semua. Rasanya
sangat pahit dan begitu kita teguk rasa kopi itu langsung menjalar sampai ke
kepala. Apa boleh buat sudah dipesan dan harus dibayar. Secangkir harganya LE
10 (10 pon Mesir). Sebenarnyabukan kopi
itu yang menjadi kenangan berharga, melainkan
Najib Mahfuzlah yang memberi arti.
Tempat di mana aku
minum siang itu adalah tempat di mana novelis Mesir itu biasa duduk mencari inspirasi
untuk karya-karyanya. Najib mengamati orang-orang yang hilir mudik dan berjual
beli di pasar El Khalili atau merasakan keriuhan pasar sambil minum kopi atau
minuman lain kesukaannya. Meja kursi
kafe di sudut Najib Mahfuz itu masih dipertahankan seperti apa adanya, bahkan disediakan
pula buku-buku yang ditulis semasa hidupnya. Pengunjung bisa menikamti minuman
di situ sambil membaca buku-bukunya yang ditulis dalam bahasa Arab sambil membayangkan Najib Mahfuz. Kafe itu
memang dibuat untuk mengenang Najib. “Khan
El Khalili Restaurant & Naguib Mahfouz Cafe, created as tribute to the
Nobel Laureate novelist, since their opening, have become a landmark of
thispart of Khan, andhave been patronized by writers, artists, inteellectuals
and tourist ever since...”.
Najib mahfuz punya menu minuman kesukaan yang oleh pengelola
Khan El Khalili Restaurant & Naguib Mahfouz Cafe dipertahankan dengan nama
Naguib Mahfouz. Akupun memesan minuman itu, soft drink yang berwarna merah muda
seperti sirup cincau di ini, dengan rasa masam karena terbuat dari tamarin atau
asam Jawa. Secangkir besar harganya LE
13 (13 pon Mesir). Sambil menikmati
minuman tersebut aku minta pemanduku membacakan sebuah buku karya Najib. Maka sempurnalah acara minum-minum siang itu.
Kota Kairo |
Tentu saja aku tidak melupakan untuk membeli beberapa
souvenir. Apalagi kalau bukan CD dari album penyanyi Mesir kenamaan Ummi
Kalthoum. Akupun menyempatkan melihat toko rempah-rempah yang menjadi salah
satu daya tarik KhanEl Khalili. Acara
hari itu kemudian kututup dengan mengunjungi Masjid Iman Husein di sebrang
pasar untuk melaksanakan shalat Ashar dan sekaligus berziarah. Konon yang
dimakamkan di sini hanya kepala Iman Husein saja. Wallahu alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar