13 Mei 2007. Setelah urusan di Beijing selesai saya masih punya satu acara lagi di Shanghai. Karena waktunya berselang satu dua
hari, aku dan rombongan keesokan harinya
mengadakan perjalanan dari Beijing menuju Shanghai. Itu artinya
dari North China (Cina Utara) menuju Central China (Cina Tengah) melalu beberapa provinsi.
Pagi-pagi benar bus telah bersiap di depan hotel dan kamipun
memulai perjalanan darat memasuki kota-kota dan pedesaan China. Perjalanan dari
Beijing rasanya sangat panjang dan lama mungkin kurang lebih mencapai 500 kilo
meter. Bus menyusuri jalan tol dan jalan biasa menembus pepohonan bambu yang
ditanam rapi, tepian sungai, desa-desa dengan rumah penduduk yang bagus dan
rapi, pesawahan yang tidak terlalu subur, pegunungan, kabut tipis dan hutan.
Sesekali kami berhenti untuk makan di restoran dengan menu dan bahan pangan
lokal yang ditanam petani setempat. (Pemerintah China membagi tanah kepada
semua penduduk dan mengharuskan para pengusaha setempat membeli produk para
petani). Kami pun berhenti di galeri
yang memproduksi dan menjual batu mulia seperti jade (giok). Tidak lupa
pula pemandu mengajak kami ke pusat pengobatan herbal untuk memperoleh
pelayanan gratis merendam kaki di air hangat yang telah diberi ramuan dari
tumbuh-tumbuhan. Tentu saja kami membeli produk mereka barang satu atau dua
bungkus.
Seingatku destinasi
yang pertama kami kunjungi adalah Huang Shan atau Yellow Mountain. Huang
Shan merupakan tempat wisata paling populer di Provinsi Anhui. Terkenal sebagai pegunungan tercantik di
China, bukit-bukitnya yang selalu berkabut mendapat pujian dari para pelukis
dan penyair selama ratusan tahun. Meskipun puncak tertingginya hanya sekitar
6.200 ft (1.900 m) tetapi 70 bukit-bukit granitnya spektakuler untuk dipanjat
dan jalan setapaknya sangat terjal dan menantang. Karena waktu kami tidak
banyak, alih-alih menapaki jalan setapak yang sudah dibangun permanen, untuk
mencapai puncaknya kami menggunakan cable
car dari salah satu pintu pendakian.
Melintasi perbukitan karang kami seperti melayang di awan menyaksikan
pemandangan jurang-jurang dengan beragam tanaman setempat. Menyaksikan itu aku
menahan nafas dan teringat perbukitan marmer di Cipatat yang bukit-bukitnya
kian melenyap digusur para pengusaha.
Setelah turun di shelter bukan berarti sudah sampai di
puncak. Kami harus berjalan di jalan setapak yang dibuat permanen sejauh
beberapa kilometer sambil menyaksikan vegetasi pegunungan seperti pelbagai
macam cemara dan bunga-bungaan yang menawan. Untuk itu kami harus melewati Huan Ke Song (Welcoming Guest Pine) atau Pinus
Penyambut Tamu, yang konon sudah berusia ribuan tahun menyambut tamu yang
datang. Waktu kami tidak lama karena
sebelum malam tiba sudah harus tiba di puncak.
Untunglah meski dengan nafas
terengah-engah kami pun sampai di puncak. Hebatnya di puncak Huang Shan
tersedia akomodasi seperti di Puncak. Hotel-hotel, restoran, toko-toko dan
fasilitas lainnya. Penerangan listrik menambah keindahan malam yang dingin. Aku
lupa kami menginap di Lianhua Feng (Lotus Flower Peak) di ketinggian 6.145 kaki
atau Guangming Ding (Brighr Summit Peak) di ketinggiana 6.035 kaki. Kalau nama hotel tempat kami
menginap bisa kupastikan bernama Shilin. Fasilitas hotelnya tidak begitu bagus
tapi memiliki pemanas ruangan sehingga bisa menjadi tempat istirahat malam itu.
14 Mei 2007. Pukul 03.00 dini hari wake up call membangunkanku. Beberapa orang termasuk diriku
bergegas meninggalkan kamar dan dengan berbekal lampu senter dari hotel
menyusuri pebukitan menuju Qingliang Tai (Refreshing
Terrace) untuk menyaksikan matahari terbit bersama para wisatawan domestik
maupun mancanegara. Ini adalah
perjalanan yang terberat kurasakan karena jalan ke menuju puncak sangat terjal,
sempit, mendaki, berliku dan berkabut dengan suhu mendekati 0 o . Namun melihat beberapa wisatawan lokal yang
sudah berusia lanjut berjalan dengan santai membuat semangatku meningkat. Belum
lagi tetumbuhan dengan aneka bebungaan khas daratan Cina yang indah menambah
keinginanku mencapai puncai bertambah. Dengan nafas tersengal-sengal karena
kadar oksigen yang menipis akupun dapat menyelesaikan pendakian. Inilah klimaks
perjalanan ke Huang Shan atau Gunung Kuning yaitu menyaksikan matarahari
terbit. Memang sangat indah. Berbeda dengan melihat matahari terbit di Gunung
Bromo yang berada di padang pasir, matahari terbit di Huang Shan muncul di
antara banyak bukit yang bersaput awan tipis.
Setelah kembali ke
hotel aku membeli sebuah CD yang memviasualisasikan pemandangan Huang Shan
sebagai kenang-kenangan. Huang Shan
memang gunung yang indah. Tidak
mengherankan UNESCO menjadikannya sebagai World Heritage (Warisan Dunia). Hal
itu yang menambah daya tarik Huang Shan, belum lagi ada sebuah pernyataan Deng
Xiao Ping di sebuah baliho di tempat parkir yang menyatakan bahwa mereka yang
belum mendaki Huang Shan belum mengetahui Cina yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar