Sekitar tahun 2004 aku berkesempatan kembali berkunjung ke Makasar. Malam itu saat tiba di hotel aku ingin melanjutkan perjalanan ke Toraja. Rencanaku dengan beberapa orang teman kami menyewa kendaraan ke sana. Tetapi karena hari sudah malam beberapa orang yang kami jumpai menyarankan agar kami mengurungkan niat berangkat karena perjalanan ke Toraja bisa mencapai waktu lebih dari lima jam dan harus melalui jalan yang tidak mudah. Akhirnya kamipun membatalkan keberangkatan kami. Kami masih punya waktu sehari besok. Kamipun mencari obyek di sekitar kota Makasar saja.
Seusai kegiatan keesokan harinya beberapa teman langsung check out dari hotel dan terbang ke Jakarta. Aku dan tiga orang teman masih tinggal di Makasar. Tadinya ingin ke Air Terjun Bantimurung. Tapi karena seorang teman pernah pergi ke sana kamipun mencari obyek yang lain. Temanku sebut saja Andi orang Makasar mengajak kami ke Maros. Kami setuju. Tapi sebelum ke Maros kami ingin berkunjung ke pulau-pulau di lepas pantai kota Makasar.
Ada sebuah pulau dengan pemandangan yang indah di lepas pantai Makasar. Ada pula vila untuk menginap di sana. Maka kamipun menyasar ke sana. Kami pun mendatangi dermaga penyebrangan di dekat pantai Losari. Setelah mendapat sebuah perahu motor tempel dengan supirnya kami pun menaiki perahu tersebut. Berlayarlah perahu menuju pulau yang kami tuju. Cuaca cerah. Setelah beberapa menit meninggalkan kota Makasar di kejauhan tiba tiba terasa hempasan ombak yang keras. Tingginya sekitar satu meter. Supir perahu kelihatannya tenang tenang saja. Namun kami sudah merasa waswas. Pakaian kami pun sudah basah kuyup oleh air laut yang masuk ke dalam perahu. Tubuh kami seperti dibanting-banting dan kami pun menjadi ketakutan. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Makasar. Perahu pun berbalik. Gelombang tidak segarang sebelumnya. Kami menepi di dermaga sebuah pulau. Namanya Pulau Lae-lae. Saat berjalan dari dermaga ke darat kami melewati perahu-perahu nelayan yang sedang bersandar. Tiba didarat kami disambut bendera dan umbul umbul serta baliho serta ucapan selamat datang dari seorang caleg. Ya saat itu memang musim kampanye. Kamipun mendatangi sebuah posko caleg tersebut dan berfoto bersama kang Anton untuk kenang-kenangan telah tiba di pulau Lae-lae.
Pulau Lae-lae tidak begitu besar tetapi di dalamnya terdapat perkampungan yang padat oleh penduduk. Kebanyakan adalah nelayan. Dari sini kota Makasar terlihat di kejauhan. Kami pun berjalan-jalan menelusuri pemukiman penduduk dan bertegur sapa dengan mereka yang kebanyakan duduk santai di serambi rumah mereka. Meski sebentar kami ingin menikmati suasana pulau. Kamipun memilih sebuah sudut berpasir putih di pulau itu ketika senja mulai turun. Masih basah kuyup kami memesan kopi dan mie goreng dari penduduk setempat dan menikmatinya sambil menyaksikan ombak di pantai yang menderu deru dan meninggi. Berbaring di pantai Pulau Lae-lae sungguh merupakan sesuatu. Meski hanya menikmati semangkuk mie goreng dan secangkir kopi tapi tak bisa dibandingkan kenikmatannya dengan makan dan minum di hotel berbintang empat sekalipun.
Saat matahari hendak tenggelam kami bergegas menyebrang ke kota Makasar di Pulau Sulawesi senyampang ombak belum lagi tinggi dan perahu kami masih bisa berlayar.
Akhirnya malam itu kami kembali menginap di kota Makasar karena hasrat menginap di pulau tak kesampaian. Meski begitu aku tak kecewa. Hari itu sempat berlayar sebentar dan tiba di pulau Lae-lae yang tidak pernah kami bayangkan. Aku menikmati dan mengenangnya hingga sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar