Beberapa
waktu yang lalu saya bercerita mengenai perjalanan saya ke Nusa Penida untuk
meninjau demplot energi terbarukan pada konferensi mengenai perubahan iklim dan
lingkungan hidup PBB di Nusa Dua. Saat ferry yang membawa kami dari Nusa Penida
mendarat di pelabuhan Padangbai, terbersit pikiran untuk tidak langsung kembali
ke Denpasar atau Kuta, melainkan mencari obyek-obyek wisata di sekitar
Karangasem. Alih-alih berjalan ke barat kami melanjutkan perjalanan ke arah
timur. Inilah cerita mengenai perjalanan itu – yang telah berlalu sekitar lebih
dari sepuluh tahun yang lalu – yang
sebagian masih saya ingat.
Dengan
mengendarai kendaraan roda empat SUV, rombongan sebanyak enam orang , bergerak pelahan menanjak meninggalkan
pelabuhan Pandangbai, berbelok ke kanan lalu melaju ke arah timur melalui alam
pedesaan yang lengang. Meski sudah sekitar sepuluh kali ke Bali, tapi
perjalanan ke timur ini baru sekali kali ini kualami. Seperti jalan-jalan di pulau
dewata pada umumnya, jalan ke timur tidak kalah eloknya, kalau tidak mau
dikatakan lebih indah. Tidak berapa lama perjalanan mengarah ke bibir pantai.
Candidasa
Inilah
Candidasa. Kala itu hari telah menjelang atau melewati tengah hari, namun waktu
di pantai Candidasa seperti mengapung dalam senja. Waktu sungguh seperti
terhenti dan terlupakan. Seluruh perhatian tercurah pada pemandangan alam yang
seperti tercitra dalam mimpi. Di sebelah kanan adalah pantai seluas mata
memandang, ada pasir dan batu karang serta deburan ombak ke bibir pantai dengan
langit terang dan matahari yang bersinar cemerlang namun tak terasa panas. Di
sebelah kiri berjajar deretan kafe-kafe dan restoran seperti terabadikan dalam sebuah
foto dalam kartu pos yang biasa kita lihat di toko buku atau halaman kantor
pos. Kami berhenti sejenak, menikmati bentang alam, mengambil gambar dan segera
berlalu, tak mau berlama-lama, khawatir tersedot ke dalam lipatan waktu dan
tidak bisa keluar lagi. Dengan keharuan tanpa meneteskan air mata, kamipun
meninggalkan kawasan Candisasa, melaju menuju tujuan yang telah kami tetapkan,
istana Karangasem di Amlapura.
Setelah
berkendara sekitar setengah jam dari Candidasa, melewati kawasan hijau, jalan
yang mendaki dan kebun-kebun yang rimbun, kamipun tiba di Amlapura, dan dari
sana kami langsung menuju Istana Karangasem.
Istana
Karangasem
Istana
Karangasem berjarak sekitar lima km dari kota Amlapura, ibukota Kabupaten
Karangasem. Bangunan istana bergaya arsitektur Belanda, sedangkan seni ukir
yang menghiasi tempat ini merupakan pengaruh dari budaya Bali. Disamping itu,
arsitektur Cina dapat terlihat pada bentuk gerbang, gazebo, dan kolam segi
delapan. Istana Karangasem dibangun di atas kolam yang luas, sehingga orang
harus melalui jembatan panjang untuk mencapainya. Istana ini milik raja
Karangasem, namun kini tidak dihuni, tapi dijadikan semacam museum dan obyek
wisata. Waktu kami berkunjung, pengunjung yang datang tidak terlalu ramai,
sehingga kami bisa leluasa menikmati keindahan istana yang indah dan megah ini.
Di dalamnya masih tersimpan banyak foto-foto keluarga kerajaan dan furnitur
antik dan indah milik kerajaan. Karena istana ini memang terletak di
tengah-tengah kolam, dan kolamnya itu sendiri terletak di tengah-tengah taman
yang luas, maka bisa dikatakan kita berada di istana, istana air, atau taman
air. Bisa juga dikatakan kita berada di taman luas dengan kolam air besar di
tengahnya di mana ada istana di atasnya. Karena itu kokasi Istana Air
Karangasem lebih dikenal dengan nama Taman Ujung.
Taman Ujung
Menurut
informasi dari biro perjalanan , Taman Ujung—dinamakan juga Taman Sukasada—didirikan oleh
raja Karangasem yang bernama I Gusti Bagus Jelantik, beliau bergelar Anak Agung
Agung Anglurah Ketut Karangasem. Pembangunan taman ini dimulai pada tahun 1909
dan selesai pada tahun 1921, berfungsi sebagai tempat peristirahatan raja
Karangasem dan juga sebagai tempat perjamuan tamu-tamu istimewa kerajaan.
Sebenarnya Taman Ujung merupakan pengembangan dari Kolam Dirah yang telah
dibangun pada tahun 1901. Ada 3 orang arsitek yang terlibat dalam pembangunan
taman ini yaitu Van Den Hentz seorang arsitek dari Belanda, Loto Ang seorang
arsitek dari Cina, dan seorang arsitek adat Bali (undagi). Luas taman pada saat
itu sekitar 400 hektar, namun sekarang luas Taman Ujung kurang lebih 10 hektar.
Berdasarkan
sebuah prasasti yang ditulis di atas batu marmer dalam bahasa Bali dan bahasa
Melayu, peresmian Taman Ujung dilakukan pada tahun 1937. Pada tahun 1963
terjadi letusan Gunung Agung, dan pada tahun 1976 terjadi gempa hebat di Pulau
Bali. Kejadian ini menyebabkan kondisi Taman Ujung rusak parah. Pada tahun
2001-2003, pemerintah kabupaten Karangasem berusaha untuk merekonstruksi
kembali Taman Ujung sesuai dengan bentuk aslinya. Dana untuk rekonstruksi obyek
wisata ini didapatkan dari bantuan Bank Dunia.
Setelah puas
menikmati dan mengagumi kemegahan bangunan istana, kami menyempatkan
berkeliling taman. Mengingat begitu luasnya taman ini, maka mengelilinginya
juga menjadi aktivitas olah raga yang sehat dan menyenangkan. Landscape Taman Ujung setidaknya terdiri dari lima
bagian. Pertama tempat parkir, kedua taman kebun yang luas yang mengelilingi
kolam air dengan tanaman-tanaman yang tertata rapi, ketiga kolam air luas yang
mengelilingi istana, keempat adalah istana air yang menjadi fokus taman ini,
dan kelima adalah sebuah bangunan di lahan
tinggi menyerupai benteng dengan sebuah menara.
Begitulah
kisah perjalanan kami ke ujung timur Pulau Bali. Entah kapan lagi kami bisa
bekunjung ke situ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar