Utusan Pak Abbas
MESKIPUN aku tercatat sebagai anggota partai, sesungguhnya aku tidak terlibat secara aktif secara organisatoris. Maklum ketika itu jika seseorang terikat dengan sebuah parpol maka ia akan kehilangan kesempatan untuk berkarir sebagai PNS, padahal saat lulus sarjana aku punya niat untuk menjadi dosen kopertis atau pekerja sosial di depsos atau institusi pemerintah lainnya. Namun keinginan ini tinggal keinginan karena jalan hidupku menentukan lain.
Peta Kabupaten Bandung
Suatu saat bapak mertua datang ke rumah menyampaikan berita bahwa pak Abbas mengirim utusan ke Banjaran menanyakan keberadaanku. Akupun datang ke rumah pak Abbas. Ketika itu menjelang Pemilihan Umum tahun 1992, DPC PDI sedang menyusun daftar calon anggota DPRD Kabupaten Bandung. Aku diminta mencalokan diri , “sebagai vote getter” kata pak Abbas. Akupun bermusyawarah dengan istriku, meskipun pada akhirnya akulah yang memutuskan untuk memenuhi permintaan pak Abbas itu dengan memikirkan segala konsekuensinya.
Calon Tetap
Partai Demokrasi Indonesia
Ketika daftar calon diumumkan, aku terkejut sekaligus bersyukur karena berada di nomor urut 6 dari Partai Demokrasi Indonesia. “Nomor jadi” kata orang. Reaksipun bermunculan dalam bentuk pengaduan dan protes menanggapi pencalonanku, terutama dari internal partai. Harus kuakui bahwa pencalonanku memang controversial. Pertama meskipun aku adalah anggota sejak tahun 1980-an tapi aku bukan fungsionaris partai. Kedua, aku terdaftar sebagai pemilih di kota Bandung tapi dicalonkan di Kabupaten Bandung. Tapi Panitia Pemilu Daerah menyatakan bahwa pencalonanku sah. Di masa orde baru, pemerintah sangat kuat, sehingga pernyataan tersebut merupakan sebuah jaminan bahwa pencalonanku aku tidak bisa digugurkan. Apalagi aku sudah lolos dari pelbagai persyaratan : persyaratan administrative dengan pelbagai bentuk surat-menyurat dan perizinan dari pelbagai institusi pemerintahan, ;persyaratan clearance secara ideologis dengan screening tertulis maupun wawancara yang menyatakan aku bukan orang yang cacat politik secara ideologis (tidak terlibat PKI dan DI).
Sebagai calon tetap aku tidak boleh mengundurkan diri, itu berarti aku sudah 100% terlibat dalam politik praktis (istilah yang muncul sejak Orde Baru). Aku pun terlibat dengan kampanye-kampanye politik di lapangan terbuka serta pawai-pawai di jalan raya. Aku harus membuat atribut-atribut kampanye seperti kaos oblong berlogo partai dan nomor urut dalam pemilu, bendra, spanduk dan lain-lain. Akupun harus menyiapkan kendaraan untuk memobilisasi rakyat ke tempat-tempat kampanye. Semua itu berkonsekuensi pada besarnya pengeluaran biaya. Aku harus menjual ini itu, meminjam sana sini, berkomitmen ke sana kemari dan tentu saja berjanji.
Pada saat itu suhu politik sedang tinggi, kebosanan terhadap Orde Baru di bawah Suharto mulai memuncak. PDI di bawah Suryadi menjadi oposan paling depan melawan kemapanan sistem. Orang-orang muda berbondong-bondong ke PDI karena PDI menjadi lambang perlawanan rakyat kecil sekaligus perlawanan orang muda. Hal itu terjadi secara nasional, tidak terkecuali di Jawa Barat. Terbukti ketika kampanye partai di Garut, massa membludak di jalan-jalan sepanjang 60 km. sayangnya intervensi operasi intelejen membuat kegairahan politik itu berubah menjadi keonaran sehingga citra PDI berubah menjadi anarkhis dan premanistis. Dan tujuan operasi intelejen untuk menghancurkan PDI di Jawa Barat khususnya berhasil. Dalam Pemilu PDI tidak mengalami kenaikan suara signifikan, di Kabupaten Bandung bahkan menurun.
Suharto
Hasil dari pemungutan suara di TPS-TPS menunjukkan bahwa suara yang diperoleh PDI dari para pemilih handy cukup untuk memperoleh 6 kursi di lembaga legislative. PPD memutuskan yang menjadi anggota DPRD II Kabupaten Bandung dari PDI adalah Mohammad Abbas, Christianus Sukiman, Mastur, Haji Affandi, Idih Sudjana dan Harjoko Sangganagara. Keputusan ini mengantarku memasuki sebuah dunia baru : bidang pemerintahan. Kabupaten BAndung ketika itu meliputi Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi.
Kabupaten BAndung
Kota Cimahi
Kabupaten Bandung Barat
Menjadi Anggota Legislatif
Aku dilantik menjadi anggota DPRD II Kabupaten Bandung dari Fraksi PDI di pusat pemerintahan Soreang berdasarkan surat keputusan Gubernur. Selain dilantik aku bersama pak Sukardi dari Golkar dipilih menjadi pimpinan sementara DPRD. Hari-hari berikutnya aku bertugas sebagai wakil rakyat di DPRD II Kabupaten Bandung di Baleendah. Untuk waktu sekitar satu bulan aku menjadi pimpinan sementara sehingga harus ada di setiap acara seremonial yang dihadiri Bupati. Bupati ketika itu Hatta Djatipermana berasal dari ABRI (TNI/AD) dengan pangkat Kolonel. Itu adalah era dwi fungsi ABRI sehingga ABRI berperan politik, termasuk di DPRD II. Fraksi ABRI terdiri dari anggota TNI (AD/AL/AU) dan Polri.
Kekuasaan militer atas politik demokrasi Pancasila versi Suharto memang sangat nyata. Selalin menguasai eksekutif, legislative pun mereka kuasai. Kendati Golkar menguasai lebih dari 50% kursi DPRD II, mereka tidaklah memperoleh posisi ketua melainkan hanya wakil saja, ketua tetap dipegang oleh seorang Letkol TNI AD, Holil namanya. Pak Djamil sebagai ketua Golkar hanya menjadi wakil meskipun ia seorang militer berpangkat letkol. Dari PPP yang menjadi wakil adalah Amin Suparmin dan dari PDI adalah Mastur. Ketika itu pemilihan pimpinan DPRD II berlangsung melalui sistem paket yang terlebih dahulu harus direstui Bupati dan Kakansospol yang juga seorang tentara.
Aku ditempatkan di Komisi B yang berkaitan dengan keuangan daerah dan hanya sebatas anggota. Meskipun demikian aku pernah pula ditugaskan di Panitia Anggaran untuk beberapa waktu. Di fraksi PDI aku selalu menjadi sekretaris . posisiku sedikit berubah menjelang akhir masa bakti dengan menjadi Pjs Ketua Fraksi PDI, itupun karena tidak ada pilihan lain rupanya. Honorku kurang lebih Rp 1 juta dan fasilitas yang kudapat adalah sebuah mobil dinas plat merah keluaran tahun 1988.
Sampai sekarang aku tidak mengerti mengapa rezim Orba bisa menerimaku sebagai ketua fraksi, meskipun mereka tahu aku berada dalam posisi bersebrangan dengan mereka. Aku adalah pendukung Megawati. Beberapa kali mereka secara persuasive memintaku mengikuti arus atau dalam bahasa mereka : “mengikuti arah angin”.
Gonjang ganjing
Keluarga Megawati
Suryadi nampaknya menjadi anak nakal bagi rezim Orde Baru, karena itu meskipun terpilih di Kongres Medan ia dijatuhkan secara paksa melalui kekerasan. Inilah premanisme dalam politik yang nampaknya akan terus menjadi tradisi dalam demokrasi di Indonesia. KLB (Kongres Luar Biasa)pun digelar di Surabaya yang menghasilkan buah simalakama bagi Orde Baru. Megawati muncul sebagai kuda hitam menyaingi Budi Harjono yang didukung pemerintah. KLB pun mengalami deadlock. Tak kurang akal Megawati menyatakan dirinya sebagai ketua umum PDI de facto.
Suryadi
Untungnya momentum politik dunia ketika itu mengarah pada demokratisasi dan penegakan HAM (hak asasi manusia) sehingga pemerintahan otoriter yang dijalankan Orba kurang popular di dalam dan di luar negeri. Angin berhembus untuk Megawati rupanya, karena beberapa perwira tinggi militer seperti Beni Murdani, Agum Gumelar dan Hendropriyono memberikan dukungan bagi terselenggaranya Munas (musyawarah nasional) PDI di Jakarta yang mengukuhkan Megawati menjadi Ketua Umum PDI de facto dan de iure. Pilihan politikku ternyata benar.
Agum Gumelar
A.M. Hendropriyono
Kemenangan Megawati mengganggu konstelasi kekuasaan otoriter Suharto sehingga tidak beberapa lama inner cyrcle DPP melakukan penjegalan terhadap Megawati dengan membuat kongres yang menetapkan Suryadi menjadi Ketua Umum PDI. Sejak itulah ada dua DPP, versi Munas dan versi Kongres pemerintah. PDI pun pecah. Pemerintah hanya mengakui PDI Suryadi dan tidak mengakui PDI Megawati. Para fungsionaris dan anggota partai pun harus memilih : ikut Suryadi atau Megawati. Pada umumnya para pengurus lebih memilih ikut Suryadi dan para anggota serta massa pendukung lebih memilih Megawati, termasuk aku di antaranya. Dengan demikian aku bersebrangan dengan kelima anggota fraksi lainnya.
DPC (Dewan Pimpinan Cabang) PDI Kabupaten Bandung yang dipimpin Idih Sudjana pada umumnya ikut Suryadi, hanya ada lima orang yang mendukung Megawati. Mereka itu Yadi Sri Mulyadi, Nandang Afifidin, Pupu Danglar, Happy dan Dedeh. Para pendukung Megawati mereformasi DPC dengan Yadi sebagai ketua dan aku sebagai sekretaris. Dengan demikian ada dua DPC PDI di Kabupaten Bandung. DPC yang kami pimpin tidak diakui oleh pemerintah daerah.
Mengenal Kabupaten Bandung
Kabupaten Bandung
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sebagian besar wilayah Kabupaten Bandung adalah pegunungan. Di antara puncak-puncaknya adalah: Sebelah utara terdapat Gunung Bukittunggul (2.200 m), Gunung Tangkubanperahu (2.076 m) di perbatasan dengan Kabupaten Purwakarta. (kedua-duanya kini termasuk dalam wilayah Kabupaten Bandung Barat). Sedangkan di selatan terdapat Gunung Patuha (2.334 m), Gunung Malabar (2.321 m), serta Gunung Papandayan (2.262 m) dan Gunung Guntur (2.249 m), kedua-duanya di perbatasan dengan Kabupaten Garut.
Kabupaten Bandung lahir melalui Piagam Sultan Agung Mataram, yaitu pada tanggal 9 bulan Muharram tahun Alif atau sama dengan hari sabtu tanggal 20 April 1641 Masehi. Bupati pertamanya adalah Tumenggung Wiraangunangun (1641-1681 M). dari bukti sejarah tersebut ditetapkan bahwa 20 April sebagai Hari Jadi Kabupaten Bandung. Jabatan bupati kemudian digantikan oleh Tumenggung Nyili salah seorang putranya. Namun Nyili tidak lama memegang jabatan tersebut karena mengikuti Sultan Banten. Jabatan bupati kemudian dilanjutkan oleh Tumenggung Ardikusumah, seorang Dalem Tenjolaya (Timbanganten) pada tahun 1681-1704.
Selanjutnya kedudukan Bupati Kabupaten Bandung dari R. Ardikusumah diserahkan kepada putranya R. Ardisuta yang diangkat tahun 1704 setelah Pemerintah Hindia Belanda mengadakan pertemuan dengan para bupati se-Priangan di Cirebon. R. Ardisuta (1704-1747) terkenal dengan nama Tumenggung Anggadiredja I setelah wafat dia sering disebut Dalem Gordah. sebagai penggantinya diangkat putra tertuanya Demang Hatapradja yang bergelar Anggadiredja II (1707-1747).
Pada masa Pemerintahan Anggadiredja III (1763-1794) Kabupaten Bandung disatukan dengan Timbanganten, bahkan pada tahun 1786 dia memasukkan Batulayang ke dalam pemerintahannya. Juga pada masa Pemerintahan Adipati Wiranatakusumah II (1794-1829) inilah ibu kota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak (Dayeuhkolot) ke tepi sungai Cikapundung atau alun-alun Kota Bandung sekarang. Pemindahan ibu kota itu atas dasar perintah dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendels tanggal 25 Mei 1810, dengan alasan daerah baru tersebut dinilai akan memberikan prospek yang lebih baik terhadap perkembangan wilayah tersebut.
Setelah kepala pemerintahan dipegang oleh Bupati Wiranatakusumah IV (1846-1874), ibu kota Kabupaten Bandung berkembang pesat dan beliau dikenal sebagai bupati yang progresif. Dialah peletak dasar master plan Kabupaten Bandung, yang disebut Negorij Bandoeng. Tahun 1850 dia mendirikan pendopo Kabupaten Bandung dan Mesjid Agung. Kemudian dia memprakarsai pembangunan Sekolah Raja (Pendidikan Guru) dan mendirikan sekolah untuk para menak (Opleiding School Voor Indische Ambtenaaren). Atas jasa-jasanya dalam membangun Kabupaten Bandung di segala bidang beliau mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Hindia Belanda berupa Bintang Jasa, sehingga masyarakat menjulukinya dengan sebutan Dalem Bintang.
Di masa pemerintahan R. Adipati Kusumahdilaga, rel kereta api mulai dibangun, tepatnya tanggal 17 Mei 1884. Dengan masuknya rel kereta api ini ibu kota Bandung kian ramai. Penghuninya bukan hanya pribumi, bangsa Eropa, dan Cina pun mulai menetap di ibu kota, dampaknya perekonomian Kota Bandung semakin maju. Setelah wafat penggantinya diangkat R.A.A. Martanegara, bupati inipun terkenal sebagai perencana kota yang jempolan. Martanegara juga dianggap mampu menggerakkan rakyatnya untuk berpartisipasi aktif dalam menata wilayah kumuh menjadi permukiman yang nyaman. Pada masa pemerintahan R.A.A. Martanegara (1893-1918) ini atau tepatnya pada tanggal 21 Februari 1906, Kota Bandung sebagai ibu kota Kabupaten Bandung berubah statusnya menjadi Gementee (Kotamadya).
R. A. A. Wiranatakoesoema V (Dalem Haji, masa jabatan 1912-1931 dan 1935-1945) sebagai wakil Volksraad di Congres van Prijaji-Bond (Kongres Perhimpunan Priyayi) di Surakarta tahun 1929
Periode selanjutnya Bupati Bandung dijabat oleh Aria Wiranatakusumah V (Dalem Haji) yang menjabat selama 2 periode, pertama tahun 1912-1931 sebagai bupati yang ke-12 dan berikutnya tahun 1935-1945 sebagai bupati yang ke-14. Pada periode tahun 1931-1935 R.T. Sumadipradja menjabat sebagai Bupati ke-13. Selanjutnya bupati ke-15 adalah R.T.E. Suriaputra (1945-1947) dan penggantinya adalah R.T.M. Wiranatakusumah VI alias Aom Male (1948-1956), kemudian diganti oleh R. Apandi Wiriadipura sebagai bupati ke-17 yang dijabatnya hanya 1 tahun (1956-1957).
Bupati berikutnya adalah Letkol. R. Memet Ardiwilaga (1960-1967). Kemudian pada masa transisi (Orde Lama ke Orde Baru) dilanjutkan oleh Kolonel Masturi. Pada masa Pimpinan Kolonel R.H. Lily Sumantri tercatat peristiwa penting yaitu rencana pemindahan ibu kota Kabupaten Bandung yang semula berada di Kotamadya Bandung ke Wilayah Hukum Kabupaten Bandung, yaitu daerah Baleendah. Peletakan batu pertamanya pada tanggal 20 April 1974, yaitu pada saat Hari Jadi Kabupaten Bandung yang ke-333. Rencana pemindahan ibu kota tersebut berlanjut hingga jabatan bupati dipegang oleh Kolonel R. Sani Lupias Abdurachman (1980-1985).
Atas pertimbangan secara fisik geografis, daerah Baleendah tidak memungkinkan untuk dijadikan sebagai ibu kota kabupaten, maka ketika jabatan bupati dipegang oleh Kolonel H.D. Cherman Affendi (1985-1990), ibu kota Kabupaten Bandung pindah ke lokasi baru yaitu Kecamatan Soreang. Di tepi Jalan Raya Soreang, tepatnya di Desa Pamekaran inilah dibangun Pusat Pemerintahan Kabupaten Bandung seluas 24 hektare, dengan menampilkan arsitektur khas gaya Priangan. Pembangunan perkantoran yang belum rampung seluruhnya dilanjutkan oleh bupati berikutnya yaitu Kolonel H.U. Djatipermana, sehingga pembangunan tersebut memerlukan waktu sejak tahun 1990 hingga 1992.
Tanggal 5 Desember 2000, Kolonel H. Obar Sobarna, S.I.P. terpilih oleh DPRD Kabupaten Bandung menjadi Bupati Bandung dengan didampingi oleh Drs. H. Eliyadi Agraraharja sebagai Wakil Bupati. Sejak itu, Soreang betul-betul difungsikan menjadi pusat pemerintahan. Pada tahun 2003 semua aparat daerah, kecuali Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perhubungan, Dinas Kebersihan, Kantor BLKD, dan Kantor Diklat, sudah resmi berkantor di kompleks perkantoran Kabupaten Bandung. Pada periode pemerintahan H. Obar Sobarna, S.I.P. yang pertama telah dibangun Stadion Olahraga Si Jalak Harupat, yaitu stadion bertaraf internasional yang menjadi kebanggaan masyarakat Kabupaten Bandung. Selain itu, berdasarkan aspirasi masyarakat yang diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, Kota Administratif Cimahi berubah status menjadi kota otonom.
Tanggal 5 Desember 2005, H. Obar Sobarna, S.I.P. menjabat bupati Bandung untuk kali kedua didampingi oleh H. Yadi Srimulyadi sebagai wakil bupati, melalui proses pemilihan langsung oleh seluruh masyarakat Kabupaten Bandung. Di masa pemerintahan H. Obar Sobarna yang kedua ini, berdasarkan dinamika masyarakat dan didukung oleh hasil penelitian dan pengkajian dari 5 perguruan tinggi, secara yuridis terbentuklah Kabupaten Bandung Barat bersamaan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat. Ibu kota Kabupaten Bandung Barat terletak di Kecamatan Ngamprah). Bupati Bandung Barat masa jabatan 2008--2013 adalah Abubakar [3].
Kabupaten Bandung terdiri atas 31 kecamatan, yang dibagi lagi menjadi 277 desa dan kelurahan (pasca-pemekaran). Pusat pemerintahan terletak di Kecamatan Soreang.
Bupati Kabupaten Bandung saat ini adalah M. Dadang Naser. Aku mengenalnya sejak aku menjadi anggota DPRD Kabupaten Bandung. ketika itu ia adalah ketua KNPI Kabupaten Bandung. Ayah mertuanya Obar Sobarna pernah satu komisi denganku di DPRD Kabupaten Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar