Selasa, 13 Desember 2011
Menyebrangi Selat Malaka
Mesjid Besar Medan
Di sekitar tahun 2002-2003 aku bertandang ke Medan bersama beberapa orang teman. Tujuanku ku kekantor Gubernur Sumatra Utara, kalau aku tak salah, untuk berdiskusi mengenai pembentukan KPID (Komite Penyiaran Indonesia Daerah). Seingatku Sekda atau Asisten lah yang menerima kami . diskusi berlangsung beberapa jam di petang hari. Lepas dari pembicaraan teknis, aku menikmati indahnya lukisan2 mengenai danau Toba dan berpikir untuk berkunjung ke sana. Sayangnya itu tidak terjadi karena satu dan lain hal.
Alih-alih ke danau Toba aku berkeliling kota Medan, mengunjungi istana Maimoon yang masih dipelihara kemegahannya, melihat masjid peninggalan kerajaan, menelusuri jalan dengan bangunan-bangunan tua peninggalan kolonial dan Cina dan tentu saja menikmati durian dari penjaja di kaki lima di malam hari. Staf kami mengajak santai di pub melihat pertunjukan live music dari sebuah band tak terkenal kota Bandung. Seperti biasa aku tak bisa berlama-lama karena tak kuat dengan pengapnya ruangan oleh asap rokok.
Nama Medan berasal dari Medinah (kota suci di Arab Saudi) atau Maidan yang dalam bahasa India berarti tanah atau ladang dan dalam bahasa Karo artinya menemukan atau lebih baik. Medan identik dengan Batak meskipun dulunya adalah wilayah dari kerajaan Aceh atau Melayu dan adat istiadat Melayu masih kuat berakar. Boleh dikatakan bahwa Medan adalah tempat di mana pluralitas budaya begitu nampak bahkan cenderung kosmopolit. Populasi orang Jawa mencapai 33% dan Cina 11% diikuti Melayu, Batak, dan suku-suku lainnya. orang Cina yang menguasai perekonomian dan dengan sendirinya juga mempunyai akses yang kuat dalam mempengaruhi pengambilan keputusan di pemerintahan. Orang India dan Arab juga menjadi bagian dari penduduk medan di samping etnis lainnya. Sebagai kota terbesar di Sumatra atau ketiga di Indonesia, Medan seperti gula yang mengundang semut. Jalan-jalan di kota dikavling-kavling oleh pelbagai ormas yang nampaknya berbagi kue ekonomi dengan menguasai lahan-lahan parkir maupun kaki lima. Daging babi dijual dan nampak tergantung di rumah makan atau warung-warung kecil dan sejauh ini tidak pernah menimbulkan masalah dalam pergaulan penduduk kota sehari-hari.
Pengaruh Malaysia di Medan terasa dengan adanya rumah sakit swasta Malaysia, atau kebiasaan orang kaya atau pejabat Medan maupun Sumut yang berobat ke Malaysia jika mereka sakit atau melakukan general check up. Ternyata memang ada penerbangan tiap hari Medan-Penang pp. Karena penasaran akupun menyempatkan diri ke Penang menyebrangi Selat Malaka dengan penerbangan domestik berbiaya murah (Low cost carrier). Berangkat dari bandara Polonia tengah hari dan dalam sekitar satu jam kemudian tiba di Penang. Penang International Airport (PEN) terletak di Bayan Lepas di bagian selatan pulau Penang.
Penang
Penang selain nama sebuah pulau juga nama sebuah negara bagian di Malaysia yang berlokasi di barat daya semenanjung Malaysia, terdiri dari dua bagian yaitu Pulau Penang di mana pemerintahan berada dan Seberang Perai di daratan Malaysia. Tinginya urbanisasi dan industrialisasi membuat Penang adalah satu negara bagian dengan pembangunan dan perekonomian yang penting di Malaysia sekaligus menjadi tempat tujuan wisata. Populasinya yang heterogen nampak dari banyaknya etnisitas, budaya, bahasa dan keyakinan dan dikenal sebagai yang paling progresif secara sosial. Penduduk Penang dikenal sebagai Penangite.
Di penang aku singgah satu dua hari di George Town, ibukota Penang yang berada di Pulau Penang. Aku menginap di sebuah hotel murah di lokasi wisata yang hidup 24 jam terutama di malam hari. Semacam jalan Jaksa di Jakarta atau Kuta di Bali. Kafe-kafe penuh sesak wisatawan manca, dan aneka kuliner bertebaran hingga ke kaki lima sehingga aku tidak sulit mencari makanan atau sekedar minum kopi dengan teman. Wajar jika kemudian Penang dikenal sebagai the food capital of Malaysia bahkan dinobatkan sebagai the Best Street Food in Asia oleh majalah Time tahun 2004, yang menulis "nowhere else can such great tasting food be so cheap.” Kuliner Penang menggambarkan perpaduan etnik Cina, Eropa, Melayu dan India dan Thailand.
Suasana Eropa berpadu dengan Cina dan India memang terasa sekali di sini karena sejarah panjang Penang yang pernah menjadi jajahan Inggris. Adapun orang Cina merupakan penduduk terbesar di Penang meskipun sekarang orang Melayu jauh lebih banyak. Banyak imigran datang ke sini dari negara-negara tetangga termasuk dari Indonesia.
Pusat pemerintahan berada di KOMTAR Building yang merupakan menara tertinggi di George Town dengan 65 lantai. Di bagian bawah ada pusat pertokoan modern dan di atas kesibukan bisnis itu, para pegawai pemerintah bekerja. Terminal bus terpadu persis berada di bagian bawah pusat bisnis dan pemerintahan tersebut.
Untuk mencapai Seberang Perai (Penang daratan), Pulau Penang dihubungkan dengan Penang Bridge sepanjang 13,5 kilometer yang terdiri dari tiga jalur yang selesai dibangun tahun 1985 dan merupakan salah satu jembatan terpanjang di Asia. Tahun 2006 mereka membangun sebuah jembatan lagi dan direncanakan selesai tahun 2013.
Penang Daratan terhubung dengan apa yang dinamakan North-South Expressway (Lebuhraya Utara-Selatan), sebuah jalan tol sepanjang 966-km yang menghubungkan semua kota-kota besar di Malaysia bagian barat.
Penang juga merupakan negara bagian tiga terbesar secara ekonomi setelah Selangor dan Johor, dengan industri manufaktur yang merupakan penunjang perekonomian terpenting. Di bagian selatan pulau terletak Bayan Lepas Free Industrial Zone dan merupakan Silicon Island dan sejak 2005 Penang menyandang status sebagai Multimedia Super Corridor Cyber City di luar Cyberjaya dengan tujuan menjadi sebuah pusat industri teknologi tinggi yang menjalankan cutting-edge research. Sayangnya investasi langsung ke Penang memudar karena pengaruh dari murahnya upah buruh di Cina dan India.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar