Candi Tinggi di Tepian Sungai Batanghari |
SEKITAR tahun 2005 kami mendarat di bandara Sultan Thaha di kota Jambi. Nama Sultan Thaha berasal dari nama pahlawan yang memimpin perlawanan terhadap Belanda (1855-1907). Kota Jambi merupakan ibukota Provinsi Jambi. Sebagai ibukota, kota Jambi tidaklah begitu besar. Penduduknya berkisar 1 juta orang. Sebagian besar merupakan orang Melayu , yakni Melayu Muda (Deutero Melayu) yang sudah mendapat pengaruh kebudayaan luar seperti kebudayaan Hindu, Islam, Eropa, dll. Suku Melayu konon sudah ada di Jambi 3500 tahun sebelum Masehi.
Suku-suku asal di Provinsi Jambi ada tujuh di antaranya suku Kubu atau
Anak Dalam dan Kerinci, Penghulu, Batin, Pindah, Bajau dan Melayu. Suku Kubu Disebut Anak
Dalam karena mereka tinggal di pedalaman, berpindah-pindah dan tersebar di
hutan di daerah sungai Batanghari. Suku Kerinci berasal dari ras Proto Melayu
(Melayu Tua) yang bermigrasi dari Hindia Belakang, melalui Sungai Batanghari
kemudian tiba di Dataran Tinggi Kerinci.
Suku Penghulu berasal dari Minagkabau. Suku Batin berasal dari
pegunungan di barat daya. Suku Ameng (Pindah) berasal dari Rawas. Suku Bajau yang termasuk Proto Melayu disebut
orang Laut karena tinggal di pantai. Tidak seperti suku-suku yang lain yang
hidup bertani, suku Bajau hidup sebagai nelayan.
Meskipun tergolong kota kecil Jambi
memiliki kelebihan karena memiliki sungai Batanghari yang besar sehingga Jambi memiliki pelabuhan di samping memiliki
bandara. Dari Pelabuhan tersebut ribuan kapal keluar mengangkut karet, kayu lapis, kayu gergajian
dan hasil hutan lainnya. Panjang Sungai Batanghari mencapai 637 kilometer,
berasal dari Gunung Kerinci (3.805 meter) di Provinsi Sumatra Barat dan
bermuara di Selat Malaka. Kehidupan masyarakat berpusat di aliran sungai
Batanghari dan anak-anak sungainya. aku sempat melayari sungai itu untuk merasakan aura kebesarannya,
Sungai Batanghari terancam
pendangkalan, penyempitan dan polusi yang berasal dari limbah industri , limbah
perkebunan, limbah rumah tangga maupun limbah yang berasal dari penggundulan
hutan. Taman Nasional Kerinci Seblat yang terletak pada rangkaian pegunungan
Bukit Barisan merupakan kawasan konservasi yang luasnya mencapai 1,5 juta
hektar pun terancam keberadaannya sehingga berpengaruh terhadap kelestarian
sungai Batanghari. Ji ka pendangkalan terus terjadi maka akses sejauh 150 km
dari kota Jambi ke selat Malaka pun terancam karena kapal-kapal besar tidak
akan lagi dapat berlayar ke hulu.
Pada aliran sungai Batanghari ini
dulu terdapat kerajaan besar Melayu (abad ke-tujuh) yang meninggal jejak
kebesarannya berupa pelbagai bangunan candi Budha seperti Candi Muara Jambi,
Candi Astano, Candi Tinggi, Candi Gumpung, Candi Kembar Batu, Candi Gedong,
Candi Kedaton, dan Candi Kota Mahligai. Peziarah Budha dari Cina bernama
I’tsing pernah tinggal selama dua bulan
di kerajaan Melayu yang berada di tepian Sungai Batanghari tersebut
dalam perjalanannya dari Sriwijaya ke
India. Ketika pengaruh Sriwijaya memudar, kerajaan Melayu-Jambi mengambil alih
posisi kepemimpinan politik di wilayah itu. “Pengembangan kerajaan dengan
perekonomian yang cemerlang di pinggir lembah Batanghari, raja Melayu-Jambi
memberi contoh atas kesiapan penduduk maritim menyesuaikan diri dengan
perubahan perekonomian” (Pierre-Yves Manguin, 2002:102).
Para pemangku kepentingan
menyadari peran penting Batanghari dan melakukan kerjasama untuk
menyelamatkannya. Memang harus ada satu manajemen terpadu aliran sungai yang
bersifat lintas sektoral dan lintas spasial.