Bandara Kertajati
TATKALA bertugas di Panitia Anggaran ada satu isu politik
besar yang menonjol untuk dibahas yaitu mengenai realisasi pembangunan bandara
Kertajati di Majalengka. Majalengka
dipilih sebagai lokasi bandara mengalahkan lokasi alternative lainnya : Ciparay
di Kabupaten Bandung dan sebuah lokasi lain di Kabupaten Subang.
Kendati dalam rencana tata ruang regional Jawa Barat ketika itu
Majalengka belum direncanakan sebagai tempat bagi sebuah bandara internasional
sebagai pintu gerbang Jawa Barat tapi di kalangan eksekutif dan legislative bandara
di Majalengka telah menjadi semacam kesepakatan untuk di bangun ditandai dengan
adanya anggaran untuk studi kelayakan dlsb.
Sebagai anggota DPRD 2004-9 dari wilayah Cirebon, aku
bersama beberapa anggota lainnya mendapat tugas melihat pelbagai obyek
pembangunan di sana termasuk bandara
Kertajati. Ketika itu di bulan puasa menjelang
maghrib kami masih berputar-putar di perkampungan di tempat di mana bandara tersebut akan
dibangun. Sebenarnya bukan hanya sebuah bandara tapi tepatnya sebuah aero city,
karena meliputi suatu kawasan bandara serta pelbagai fasilitas penunjangnya
yang mencakup wilayah ribuah hektar. Malamnya
kami terus ke Cirebon dan bermalam di sana.
Masalah yang menjadi topic berkaitan dengan pembangunan
bandara tersebut adalah mengenai bagaimana mencara dana untuk membangun dan
seberapa besar anggaran bisa dialokasikan dari APBD Jawa Barat untuk membuat disain, persiapan kelembagaan dan
penyediaan lahan. Pembahasan tersebut
menuntun kami untuk melakukan studi ke Padang, karena di sana telah dibangun
sebuah bandara baru.
Padang
Itulah awal mula aku berkunjung ke Padang. Kami tiba senja hari setelah beberapa saat
penerbangan dari Jakarta. Setelah check ini di sebuah hotel, aku mengajak Maman
Abdurahman dari Fraksi PAN untuk ke Bukit Tinggi, karena acara meninjau bandara
baru akan dilakukan keesokan harinya. Dia setuju dan dengan ditemani beberapa teman
lainnya sore itu kami bergegas memasuki bus menuju Bukit Tinggi.
Perjalanan menuju Bukit Tinggi begitu mempesona. Keluar dari
Padang kami melewati jalan-jalan yang berkelok-kelok di antara bebukitan, hutan,
sungai dan ngarai. Kami pun melewati beberapa kota seperti Padang Panjang dan
kota kecilan lainya. Menjelang maghrib kami tiba di Pandai Sikek. Berhenti
sebentar di sana untuk shalat maghrib di sebuah rumah yang dijadikan industri
rumahan dan gerai tenun khas Sumatra Barat.
Berbelanja seperlunya kemudian perjalanan pun dilanjutkan.
Jam Gadang
Sekitar isya kami tiba di kota Bukit Tinggi. Kami melewati
rumah Bung Hatta yang masih terpelihara dengan baik kemudian ke istana Bukit Tinggi,
sebuah tempat bersejarah dalam masa revolusi dan berkaitan dengan perjuangan
Bung Karno dan Bung Hatta di sana. Akhirnya kami tiba di objek yang menjadi
land mark kota Bukit Tinggi yaitu Jam Gadang. Kami segera turun kemudian
memperhatikan dengan seksama dan penuh takjub pada menara tertinggi di kota itu
dengan jam besar (gadang) di puncaknya. Tidak lupa kami berkeliling lokasi itu
di tengah udara dingin yang menusuk malam itu. Maklum Bukit Tinggi terletak di
dataran tinggi seperti Lembang.
Bukit Tinggi terkenal
sejak zaman penjajahan sebagai pusat intelektual di Sumatra Barat ditandai dengan
banyaknya sekolah-sekolah yang bagus kualitasnya bahkan hingga saat ini. Banyak
pula tokoh lahir atau dibesarkan di sana seperti Bung Hatta. Puas rasanya bisa
mengunjungi kota ini meski hanya beberapa menit saja, karena kami harus kembali
ke Padang malam itu juga. Dalam perjalanan pulang kami singgah di sebuah pasar
tradisional yang menjadi pusat kuliner khas Bukit Tinggi. Tidak lupa kami mampir ke sebuah pusat
oleh-oleh untuk membeli satu dua bungkus keripik singkong balado yang pedas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar