Selasa, 27 Agustus 2013
Transit di Bandara Internasional Kolombo Sri Lanka
Perjalanan selalu memiliki sesuatu yang tidak terduga, kejutan atau bisa juga sebuah misteri. Itu kualami saat kembali dari Mesir menuju tanah air. Pengalaman seperti itu seringkali kualami dan membuat setiap perjalanan selalu menarik meski dari dan ke tempat yang sama. Itu kualami di bandara Kairo, Dubai dan Srilanka.
Saat hendak kembali ke Jakarta aku menunggu agak lama pesawat agak lama di bandara Kairo. Saat shalat maghrib di mushola kacamataku tertinggal di tempat wudhu . itu baru kusadari saat selesai shalat. Situasi di mushola sangat ramai. Aku sudah melangkah meninggalkan tempat itu dan tiba-tiba merasa padanganku buram. Ternyata aku tidak berkacamata. Akupun segera bergegas ke mushola. Setengah tidak percaya di sana seseorang telah menyimpan kacamataku. Rasanya seperti bertemu malaikat. “thank you” atau “syukran” kataku padanya. Dia pun tersenyum. Alhamdulillah. Masih di bandara aku berkeliling mencari sesuatu khas Mesir. Nafsu berbelanjaku cukup tinggi, hanya saja persediaan pound Mesir di sakuku yang membatasinya. Lumayan, aku mendapat beberapa VCD belly dance.
Menjelang tengah malam pesawat yang membawaku dari Mesir tiba di bandara Dubai. Transit di sana agak lama sehingga kami bisa berjumpa dengan beberapa kawan yang hendak pulang ke Indonesia. Para pengusaha furniture dari Cirebon itu Nampak ceria karena barang-barang yang dipamerkannya di Index Dubai menarik buyers di kawasan Timur Tengah dan Eropa. Selain barang yang dipamerkan laku terjual, merekapun mendapatkan kontrak penjualan.
Setelah beberapa jam transit pesawat pun meninggalkan Dubai menuju Jakarta. Mendapatkan tempat duduk di sebelah kanan aku diapit oleh Bachtiar dari TVRI Jabar Banten di sebelah kanan dekat jendela dan di sebelah kiri oleh seorang gadis manis asal Inggris. Meski aku sempat berkenalan tapi aku lupa namanya. Dia seorang volunteer (relawan) dari sebuah organisasi social internasional yang bertugas di Sri Lanka yang saat itu dilanda perang saudara. Bachtiar menyebutnya “si emak”. Dari situlah aku baru menyadari bahwa pesawat akan mendarat di Sri Lanka.
Benar saja. Setelah beberapa jam penerbangan pesawat mendarat di sebuah landasan bandara pada pagi hari. Kru pesawat memberitahu penumpang bahwa pesawat telah mendarat di bandara internasional Kolombo. Penumpang tujuan Kolombo pun bergegas merapikan diri, berkemas mengangkat kopor dan barang bawaan dan pelahan meninggalkan pesawat sambil terkantuk-kantuk, termasuk “si emak”. Pesawat transit selama kuranglebih satu jam. Beberapa penumpang turun ke bandara. Disergap kantuk berat aku hanya berdiam diri di pesawat, sambil sesekali mengintip ke luar jendela. Di kejauhan hanya rimbun pohon kelapa yang kulihat, karena Kolombo memang terletak di tepi Samudra Indonesia (di peta ditulis Samudra Hindia).
Kolombo adalah ibukota Sri Lanka, Negara yang saat itu dilanda konflik antara etnis Sinhala yang merupakan 70% populasi yang beragama Budha dengan etnis Tamil yang merupakan 20% populasi dan beragama Hindu. Konflik disebabkan karena orang Tamil keberatan bahasa Sinhala dijadikan bahasa resmi Negara. Menurut sejarah, orang Sinhala menyebrang dari India enam abad sebelum Masehi dan mendirikan kerajaan Sinhala selama kurang lebih 2000 tahun, sedangkan Tamil yang juga dari India datang belakangan dan mendirikan kerajaan Tamil di utara. Nama Sri Lanka berasal dari bahasa Sinhala yang artinya “tanah yang gilang gemilang” digunakan sejak tahun 1972 menggantikan nama Sailan.
Kamis, 02 Mei 2013
Menyaksikan Mummi Firaun di Museum Nasional Mesir
Beberapa Tempat
Menarik Di Kairo
The Egyptian Museum, Cairo |
Sebagai Negara dengan kebudayaan tertua di dunia Mesir
memiliki banyak peninggalan sejarah dan obyek pariwisata. Di samping piramida,
sungai Nil, pasar El Khalili, dan Masjid
Al Azhar masih ada beberapa tempat menarik lainnya yang bisa dikunjungi
di Mesir. Berikut ini adalah beberapa tempat di seputar Kairo:
1.
Museum Nasional Mesir (The Egyptian Museum)
Museum ini merupakan tempat dari warisan kebudayaan
dan sejarah Mesir yang panjang. Terletak
di pusat kota, museum nasional dikunjungi wisatawan dari pelbagai penjuru dunia
terutama dari Negara Eropa. Koleksinya sangat lengkap mencapai 120.000 item
benda bersejarah dan penataannya baik seperti di pertokoan. Boleh dikatakan museum nasional merupakan
harta karun Mesir yang sesungguhnya karena menyimpan benda-benda bersejarah
sejak ribuan tahun sebelum Masehi. didirikan tahun 1835 museum ini sempat berpindah-pindah hingga akhirnya
tahun 1902 berpindah ke tempat yang sekarang yaitu di Tahrir Square . Untuk
memasuki museum ini pengunjung dipungut biaya LE 50 (50 pon Mesir). sayangnya pada Revolusi Mesir 2011 museum sempat
mengalami kerusakan, dua mummi dirusak demikian juga beberapa artefak.
Ada dua lantai utama di
Museum yaitu lantai dasar dan lantai satu. Di lantai dasar
terdapat koleksi papyrus dan koin di zaman kuno. Papyrus dalam bentuk fragmen
kecil karena usianya yang melebihi dua ribu tahun. Sedangkan koin terbuat dari
pelbagai metal yang berbeda yakni emas, perak dan perunggu dari Mesir, Yunani,
Romawi dan Islam. Terdapat pula artefak dari New Kingdom, pada periode
1550-1069 SM termasuk patung, meja dan sarcophagus (peti mati). Ada pula item
dari kuburan Firaun Thutmosis III, Thutmosis IV, Amenophis II, Hatshepsut dan
banyak artefak dari Lembah Raja- Raja.
2. Museum Mummi
2. Museum Mummi
Bagian paling berharga dan
presitisius di museum nasional Mesir ini
adalah museum yang menyimpan mumi raja-raja Mesir. Museum ini dijaga ketat oleh aparat keamanan
yang bersenjata lengkap. Pengamanannya pun berlapis=lapis, salah satunya
melalui metal detector. Tiket
masuknya pun lumayan mahal yaitu LE 100 (100 pon Mesir).
Museum
mummi (Royal Mummy Room) yang memajang 11 mummi kerajaan pada masa Pharaoh (Firaun).
Para sejarawan kesulitan menentukan masa kekuasaan para Firaun tersebut. Tapi mereka memperkirakan Sneferu berkuasa
sekitar tahun 2620 SM dan Akhenaten
berkuasa tahun 1350 SM. Mummi Firaun
yang berkuasa pada zaman Nabi Musa AS juga dipajang di sana. Mummi
Firaun itulah obyek
paling menarik bagiku. Tidak pernah terbayangkan Mummi Firaun ada di depan
mataku. Penguasa yang ingin dipertuhan ini terbujur kaku dalam bentuk mummi
yang berwarna kehitaman. Dalam Al Quran diceritakan Nabi Musa AS atas
pertolongan Allah membelah laut Merah dengan tongkatnya sehingga bisa
menyebrang bersama ummatnya. Firaun dan para pengikutnya mengejar melalui jalan
itu, tapi laut Merah menutup dan binasalah mereka . namun Allah SWT menghendaki
agar jasad Firaun diselamatkan agar manusia dapat melihatnya sebagai tanda
kekuasaanNya. Jasad itu terbujur kaku di depanku dalam bentuk mummi.
3. Benteng Salahuddin
Al Ayubi (The Saladin Citadel)
terletak bukit di bukit
dekat pusat kota Kairo. Benteng ini memiliki udara yang segar dengan pemandangan yang
indah ke kota Kairo. Kini benteng Saladin menjadi tempat cagar budaya dengan
masjid dan museum. Untuk memasuki benteng ini pengunjung dipungut biaya LE 40
(40 pon Mesir).
Benteng dibangun oleh pemimpin dinasti Ayubi, Salahuddin, antara tahun 1176-1183 untuk berlindung dari kaum Salib. Beberapa tahun setelah mengalahkan Khalifah Fatimiyah, Salahuddin membangun tembok besar yang meliputi Kairo dan Fustat, dengan maksud agar tentaranya dapat mempertahankan dua kota tersebut sekaligus, dan menurutnya adalah baik untuk mengelilinginya dengan tembok dari satu tepian ke tepian sungai Nil lainnya.
Benteng terdapat di pusat tembok dank arena dibangun di bukit maka akan sulit untuk diserang. Di benteng itulah pemerintahan Mesir sampai abad ke-19. Untuk memasok air ke benteng, Salahuddin membuat sumur sedalam 85 meter yang dinamakan sumur Yusup yang dikenal sebagai sumur spiral karena menggunakan 300 lingkaran menuju sumur. Air dari sumur dinaikkan ke permukaan dan kemudian ke benteng dengan menggunakan serangkaian jembatan air (aqueduct). Sumur itu kemudian ditambah dengan kincir air dari Sungai Nil di masa Nasir Muhammad dari dinasti Mamluk.
Nasir juga membangun kembali masjid dan kemudian diberi nama masjid Nasir di tahun 1318. Masjid ini seperti replica masjid Biru (Blue Mosque) di Istambul Turki. Masjid ini memiliki tata akustik yang bagus sehingga tidak diperlukan adanya pengeras suara. Suara imam masjid dan khatib dapat terdengar jelas oleh para jamaan yang melaksanakan shalat berjamaah di dalamnya.
Aku sempat berpose dengan menggunakan busana perang Salahuddin berupa jubah berwarna merah dengan topi dan penutup dada dari besi, lengkap dengan perisai dan pedang.
Benteng dibangun oleh pemimpin dinasti Ayubi, Salahuddin, antara tahun 1176-1183 untuk berlindung dari kaum Salib. Beberapa tahun setelah mengalahkan Khalifah Fatimiyah, Salahuddin membangun tembok besar yang meliputi Kairo dan Fustat, dengan maksud agar tentaranya dapat mempertahankan dua kota tersebut sekaligus, dan menurutnya adalah baik untuk mengelilinginya dengan tembok dari satu tepian ke tepian sungai Nil lainnya.
Benteng terdapat di pusat tembok dank arena dibangun di bukit maka akan sulit untuk diserang. Di benteng itulah pemerintahan Mesir sampai abad ke-19. Untuk memasok air ke benteng, Salahuddin membuat sumur sedalam 85 meter yang dinamakan sumur Yusup yang dikenal sebagai sumur spiral karena menggunakan 300 lingkaran menuju sumur. Air dari sumur dinaikkan ke permukaan dan kemudian ke benteng dengan menggunakan serangkaian jembatan air (aqueduct). Sumur itu kemudian ditambah dengan kincir air dari Sungai Nil di masa Nasir Muhammad dari dinasti Mamluk.
Nasir juga membangun kembali masjid dan kemudian diberi nama masjid Nasir di tahun 1318. Masjid ini seperti replica masjid Biru (Blue Mosque) di Istambul Turki. Masjid ini memiliki tata akustik yang bagus sehingga tidak diperlukan adanya pengeras suara. Suara imam masjid dan khatib dapat terdengar jelas oleh para jamaan yang melaksanakan shalat berjamaah di dalamnya.
Aku sempat berpose dengan menggunakan busana perang Salahuddin berupa jubah berwarna merah dengan topi dan penutup dada dari besi, lengkap dengan perisai dan pedang.
4.
Museum Papirus
KATA
papyrus melalui bahasa Latin berasal dari bahasa Yunani papuros. Dalam bahasa
Arab disebut Bardy atau Warak. Tanaman papyrus berada di delta sungai Nil.
Papyrus sangat penting di masa Mesir Kuno. Saat teknologi pengolahan papyrus
ditemukan maka Mesir memonopoli papyrus dan bahkan mengekspornya ke Negara
lain.
Tanaman
papyrus berada di delta sungai Nil. Tingginya bisa mencapai 4-5 meter dan
dipanen pada bulan Oktober-Desember setelah terjatuh kerena banjir. Orang Mesir
Kuno membuat papyrus menjadi kertas sejak 3000 SM. Tidak Cuma dibuat kertas,
papyrus juga menjadi komponen pembuatan perahu, tambang dan keranjang. Akarnya
bisa untuk bahan bakar, batangnya yang
kering bisa dibuat tikar, peti, meja dan sandal. Mengapa papyrus dibuat menjadi
kertas karena ringan, kuat dan tipis, tahan lama dan mudah dibawa.
Teknik modern produksi papyrus di Mesir saat ini dikembangkan tahun 1962
oleh Dr Hassan Rajab, seorang insinyur Mesir yang lama terpesona oleh teknis
misterius Mesir Kuno. Dalam rangka menemukan kembali pembuatan kertas papyrus
di Mesir, dia membawa pohon papyrus dari Sudan dan Ethiopia dan membuat
perkebunan papyrus terbesar di dunia di Pulau Yakub di Giza yang sekarang
dikenal sebagai Desa Firaun.
Dr Hassan
Rajab kemudian membuka Institut Papyrus di tahun 1968 dalam upaya membangun
kembali teknik kuno dan menunjukkan pada public. Kini museum itu adalah suatu
toko yang diakui pemerintah dalam membuat dan menjual papyrus yang asli dalam
bentuk pelbagai souvenir dan pakaian Firaun-an. Institut Papyrus Hassan Ragab yang
juga dikenal sebagai Museum Papyrus
berada di sisi barat sungai Nil, satu kilometer dari pusat kota Kairo. Museum
memiliki koleksi reproduksi papyrus dan lukisan terkenal dari Mesir kuno. Selama tahun 1970-80an tempat ini menjadi
destinasi wisata ketiga terpenting di Mesir setelah Piramid dan Museum Mesir.
5.
Toko Wewangian
Salah satu tempat yang bisa dikunjungi di Kairo adalah toko parfum. Ada banyak toko parfum di sana yang bisa kita
kunjungi. Saya mengunjungi salah satu di antaranya. Toko yang kukunjungi
menyediaakan minyak esensial dan minyak untuk
aromatherapy. Aromatherapy baik
untuk penyembuhan spiritual dan membuat orang memperoleh energy atau relaks.
Manajer toko menjelaskan bahwa Ada tiga kelompok wewangian yang berbeda.
Yang pertama adalah Sari Bunga (flower essences) yang hanya berasal dari satu
macam bunga. Kelompok kedua adalah campuran (essence blends) yang bisa terdiri
dari lima sampai tujuhpuluh bunga, kelompok ini menjadi dasar dari pelbagai
parfum yang terkenal. Dan yang terakhir
adalah kelompok ketiga adalah rempah-rempah (spices) yang berasal dari pepohonan yang dibawa oleh binatang.
Perusahaan memiliki lahan di Faiyoum (90 km dari Kairo) dan memanen
bunga dua kali dalam setahun. (di Indonesia kita bisa panen bunga setiap hari).
Kemudian sarinya diambil dengan mesin
kayu yang digerakkan tangan. Sari (essence) dimasukkan ke dalam kendi
yang terbuat dari batu pualam, tidak menggunakan plastic karena zat
kimianya bisa bercampur dengan essence.
Sari bunga kemudian disimpan di tempat gelap supaya lebih menyatu. 60% diekspor
ke Perancis. Di sana perusahaan mencampurnya dengan tambahan kimia dengan merek
dan kemasan yang menarik dan dengan harga yang menarik pula tentunya.
Toko parfum juga menjual botol-botol yang fancy terbuat dari kaca yang kuat yang dinamakan
pyrex. Botol-botol ini ditiup diwarnai dengan
tangan sehingga setiap botol unik. Botol ini digunakan untuk menyimpan essence
dan bisa dijadikan dekorasi di rumah.
Aku
membeli sari bunga untuk aromaterapi di rumah. Namun aku kadang menggunakannya
sebagai parfum dengan mengoleskannya sedikit di bagian tengkuk terutama pada
saat menjelang shalat Jumat. Memang
terbukti bagus, meski sudah kugunakan bertahun-tahun, essence di botol baru
terpakai 25% saja. Harumnyapun masih bertahan seperti semula. Sayang aku tidak
membeli botol pyrex yang lucu itu karena
harganya mahal.
Selasa, 16 April 2013
Menikmati Secangkir Kopi Turki di Pasar El Khalili
Pedagang Cinderamata di Pasar El Khalili |
Tanggal 10 November 2006 aku masih berada di Kairo. Ketika
itu matahari sedang terik. Dengan beberapa teman kami berkunjung ke sebuah
pasar tradisional yang termasyhur di kota itu. Namanya pasar El Khalili atau
dalam bahasa setempat disebut Khan El Khalili. Anda yang menonton film Ketika
Cinta Bertasbih bisa melihat di film itu bagaimana situasi keramaian pasar El
Khalili. Acara kami yang pertama adalah
makan siang di sebuah kedai. Setelah itu dilanjutkan dengan menjelajahi
lorong-lorong pasar yang suasananya seperti di Pasar Kota Kembang Bandung.
Bedanya jika di Pasar Kota Kembang Bandung hanya menjual tekstil di sana segala
macam barang dijual terutama souvernir.
Setelah berkeliling menyaksikan
keriuhan jual beli di pasar kami sampai
di sebuah tempat di salah satu sudut di lorong pasar itu. Namanya Khan El
Khalili Restaurant & Naguib Mahfouz Cafe. Bagian muka restoran itu kecil
saja dan tidak menonjol. Bedanya di bagian depan ada dua orang penerima tamu
berseragam warna merah seperti prajurit di Keraton Yogyakarta. Restoran ini adalah tempat terkenal di pasar
itu bahkan di Kairo atau Mesir dan menjadi tempat tujuan wisatawan dunia
berkunjung. Tidak tanggung-tanggung restoran itu dioperasikan oleh hotel
Oberoi. Restoran itu sedemikian terkenal karena di tempat itulah Najib Mahfuz
(Naguib Mahfouz) seorang novelis Mesir yang mendapat Hadiah Nobel Sastra di
tahun 1988 sering bekunjung semasa hidupnya. Khan el-Khalili dan Miqdad Alley adalah dua novelnya yang berlatar belakang suasana pasar
itu.
Najib Mahfuz (Naguib Mahfouz) |
Pengunjung Khan El Khalili Restaurant & Naguib Mahfouz
Cafe sangat ramai siang itu, kebanyakan wisatawan manca terutama dari Eropa.
Mereka kebanyakan makan siang di bagian dalam restoran itu. Karena kami sudah
makan siang di kedai maka kami bertiga (Siswanda, aku dan mas Pemandu) hanya
duduk-duduk di cafe untuk minum masing-masing secangkir kecil Turkish Coffee (kopi Turki). Kopi Turki itu sangat pekat, begitu pekatnya
sehingga aku menganggap seisi cangkir adalah “endek-endek” semua. Rasanya
sangat pahit dan begitu kita teguk rasa kopi itu langsung menjalar sampai ke
kepala. Apa boleh buat sudah dipesan dan harus dibayar. Secangkir harganya LE
10 (10 pon Mesir). Sebenarnyabukan kopi
itu yang menjadi kenangan berharga, melainkan
Najib Mahfuzlah yang memberi arti.
Tempat di mana aku
minum siang itu adalah tempat di mana novelis Mesir itu biasa duduk mencari inspirasi
untuk karya-karyanya. Najib mengamati orang-orang yang hilir mudik dan berjual
beli di pasar El Khalili atau merasakan keriuhan pasar sambil minum kopi atau
minuman lain kesukaannya. Meja kursi
kafe di sudut Najib Mahfuz itu masih dipertahankan seperti apa adanya, bahkan disediakan
pula buku-buku yang ditulis semasa hidupnya. Pengunjung bisa menikamti minuman
di situ sambil membaca buku-bukunya yang ditulis dalam bahasa Arab sambil membayangkan Najib Mahfuz. Kafe itu
memang dibuat untuk mengenang Najib. “Khan
El Khalili Restaurant & Naguib Mahfouz Cafe, created as tribute to the
Nobel Laureate novelist, since their opening, have become a landmark of
thispart of Khan, andhave been patronized by writers, artists, inteellectuals
and tourist ever since...”.
Najib mahfuz punya menu minuman kesukaan yang oleh pengelola
Khan El Khalili Restaurant & Naguib Mahfouz Cafe dipertahankan dengan nama
Naguib Mahfouz. Akupun memesan minuman itu, soft drink yang berwarna merah muda
seperti sirup cincau di ini, dengan rasa masam karena terbuat dari tamarin atau
asam Jawa. Secangkir besar harganya LE
13 (13 pon Mesir). Sambil menikmati
minuman tersebut aku minta pemanduku membacakan sebuah buku karya Najib. Maka sempurnalah acara minum-minum siang itu.
Kota Kairo |
Tentu saja aku tidak melupakan untuk membeli beberapa
souvenir. Apalagi kalau bukan CD dari album penyanyi Mesir kenamaan Ummi
Kalthoum. Akupun menyempatkan melihat toko rempah-rempah yang menjadi salah
satu daya tarik KhanEl Khalili. Acara
hari itu kemudian kututup dengan mengunjungi Masjid Iman Husein di sebrang
pasar untuk melaksanakan shalat Ashar dan sekaligus berziarah. Konon yang
dimakamkan di sini hanya kepala Iman Husein saja. Wallahu alam.
Jumat, 29 Maret 2013
Masjid Al Azhar Kairo
Masjid M. Ali |
Akhir tahun 2006
Setelah mengunjungi piramida Giza dan menikmati
keindahan sungai Nil, aku berkesempatan mengunjungi beberapa masjid-masjid yang
indah di Kairo. Salah satu masjid yang kukunjungi tidaklah terlalu indah dan
megah tetapi merupakan salah satu masjid yang tertua, yaitu masjid Al Azhar.
Masjid ini dibangun sekitar tahun 1200an, pada era Majapahit masih
berkuasa di Nusantara. Aku merasa beruntung dapat mengunjungi masjid ini,
apalagi pada saat shalat Jumat tiba. Siang itu aku bersama tiga orang teman
diantar seorang pemandu dari Mesir dan pemandu dari Indonesia yang sedang
mengambil gelar magister di Universitas Al Azhar Kairo. Di
luar masjid suasana yang tidak biasa sudah terasa. Mobil-mobil baracuda
dan panser kepolisian Mesir sudah berjajar di sekitar masjid. Polisi berseragam
hitam menenteng senapan dalam posisi siap siaga. Memasuki pintu gerbang masjid
polisi berpakaian preman berjajar di kiri kanan pintu masuk sambil mengawasi
para jamaah yang datang.
Setelah melewati halaman masjid yang terbuka
kamipun duduk di dalam bagian masjid yang beratap. Tiang-tiang dan
kolom-kolom masjid terbuat dari kayu yang berukir seperti bangunan masjid Demak
atau masjid Sang Ciptarasa Cirebon. Cahaya di dalamnya agak remang
mungkin dipengaruhi oleh warna masjid yang kebanyakan berwarna hitam.
Satu-satu jamaah memenuhi masjid. Pakaian mereka kebanyakan seperti pakaian
orang-orang di Indonesia, bercelana panjang dan berkemeja atau polo shirt
bahkan t-shirt. Postur tubuh mereka tidak terlalu tinggi, kebanyakan
berkulit putih dengan wajah Arab, yang nampak dominan adalah hidung mereka yang
mancung dan rambut mereka yang keriting halus.
Setelah adzan berkumandang, seorang imam dengan
jubah dan sorban menaiki mimbar yang bertangga. Dia berdiri di tengah
tangga dan berkhutbah dalam bahasa Arab. Beberapa kamera dari pelbagai
stasiun televisi nampak di antara deretan jamaah. Selebihnya tidak ada
bedanya dengan shalat jumat yang diselenggarakan di Indonesia.
Saat imam dan jamaah mengucapkan salam, yang artinya
shalat telah berakhir , saat itulah terjadi keramaian di dalam masjid. Beberapa
orang membuka spanduk dan berteriak mengucapkan yel-yel. Rupanya ada
demonstrasi. Para awak televisi bergegas mengabadikan momen tersebut. Seorang
demonstran digendong pada bahu demonstran lain sehingga nampak menonjol
kemudian mengepal-ngepalkan tangannya sambil berteriak dalam bahasa Arab : demi
jiwa, demi darah. Rupanya mereka berdemonstrasi mendukung tentara
Hezbollah Lebanon yang dihujani rudal Israel bahkan beberapa diantaranya tewas.
Dari dalam ruangan demonstran bergerak ke halaman
masjid yang terbuka dan kemudian berakhir di sana. Rupanya pihak kepolisian
mesir hanya memberi toleransi pada mereka berdemonstransi di dalam
masjid. Pemanduku mengatakan bahwa begitu mereka bergerak untuk berdemonstrasi
ke luar halaman masjid maka pihak kepolisian segera menangkap mereka.
Dengan berakhirnya demonstrasi, para polisi yang bertugas segera berbaris
dan memasuki kendaraan kemudian meninggalkan masjid.
Berlayar di Sungai Nil
Sungai Nil dapat dikatakan sebagai kehidupan dan ikon Mesir. Semua
kehidupan berpusat di sepanjang sungai ini. Mengalir dari atas Mesir menuju lower Egypt dan berakhir di laut Mediterania
yang mempertemukan Asia, Eropa dan Afrika. Sesungguhnya sungai itu berasal dari Danau Vicotria di jantung
Afrika, melintasi pelbagai negara seperti
Uganda dan Sudan sebelum tiba di Mesir. Bahkan
anak sungainya berasal dari Kongo, Tanzania, Kenya dan Ethiopia. Aliran sungai
itu menjadi berkah dan
keindahan tiada tara bagi negara Mesir yang berupa padang pasir luas. Irigasi dibuat sedemikian baiknya
antara lain dengan membuat bendungan Aswan hingga
tiada setetes pun air dari sungai itu melainkan menjadi sumber kehidupan bagi
manusia, flora, fauna dan
alam semesta. Saat sungai itu tiba di Kairo, ia menjadi pemandangan yang
menakjubkan dan membuatku terharu untuk kemudian ingat pada Nya dan bersyukur
diberi kesempatan melihatnya.
Siang itu kami sempat makan siang di sebuah restoran terapung di
sungai Nil. Restoran terapung itu berupa sebuah kapal yang berlayar menyusuri
kota Kairo. Bersantap siang di sebuah kapal yang berlayar di siang yang terik
tentu menjadi kenangan yang tidak terlupakan. Apalagi
sungai Nil sangat bersih, tidak dipenuhi sampah seperti sungai-sungai kita.
Tampak bersama kami banyak
wisatawan dari negara lain terutama dari Eropa. Orang China pun ada. Nampaknya
mereka adalah delegasi perdagangan yang sedang berpromosi. Mereka makan sangat sederhana dan
hemat tapi promosinya luar
biasa. Saat makan siang selesai dan kapal merapat ke dermaga, kulihat di front desk banyak brosur dan majalah mereka.
ketika kubaca, majalah
mereka tidak saja berbahasa Inggris tetapi juga berbahasa Arab. Indonesia yang
merupakan negara muslim terbesar setahuku tidak membuat media promosi
perdagangan dalam bahasa Arab.
Di malam hari
bulan November 2006, Sungai Nil tetap memancarkan pesona.Kali ini aku mencoba
mengikuti acara nightlife yang diselenggarakan The Pharaohs
Cruising Restaurants. Prinsipnya sama dengan restoran terapung di siang hari
hanya saja kapalnya lebih besar lebih
mewah dan terdiri dua
lantai dengan eksterior dan interior ala kerajaan di masa Firaun. Sejak
memasuki pelataran parkir kemudian menuju dermaga situasinya sudah terbangun
sebagai kehidupan ke rajaan dengan pengawal-pengawal berbusana khas Mesir. Saat pengunjung telah memenuhi kursi
yang tersedia, kapal pun melepas sauh dan pelahan-lahan meninggalkan dermaga
untuk melayari sungai Nil. Kota Kairo nampak gemerlapan di malam hari,
sementara di sungai kapal-kapal dan perahu kecil berlalu lalang dalam
kegelapan. Cahaya warna-warni muncul dari kapal-kapal itu menambah indah
pemandangan.
Makan malampun dimulai ala prasmanan. Ada minuman, kudapan berupa
kue-kue, buah-buahan dan menu utama berupa nasi dan roti dengan lauk pauk khas
Mesir berupa masakan dari daging dan ikan dengan bumbu rempah yang kuat.
Makanan dengan menu Eropa dan sea food juga tersedia. Saat pengunjung
bersantap malam di meja mereka masing-masing, hiburan pun dimulai. Hiburan
utama adalah tari perut (belly dance).
Seorang penari berwajah Arab berambut pirang pun muncul dengan iringan musik timur tengah. Busana
yang dikenakan sangat khas penari perut : rok dan penutup dada warna hijau metalik dengan hiasan untaian
manik-manik keemasan yang gemerlapan. Keindahan
tarian itu menyatu dengan keindahan sang penari sehingga memukau pengunjung
dari awal hingga akhir. Saat semua imajinasi dan hasrat memuncak, sebuah
pertunjukan yang memberi keseimbangan dihadirkan. Seorang laki-laki berpakaian
darwis dengan menggendong boneka bayi masuk ke tengah-tengah ruangan menarikan
tarian sufi berupa gerakan memutar yang tiada habis-habisnya. Gerakan memutar dan kibasan busana
yang digunakan dalam iringan musik sufi mengingatkanku pada Jalalludin Rumi.
Bukan hanya itu, tarian itu tiba-tiba saja mengingatkanku dan mungkin juga
pengunjung yang lain pada kematian.
Andai kita tidak ingin berpesiar dengan kapal melayari sungai Nil,
kita dapat datang ke sebuah restoran di tepi sungai di malam hari agar kita
bisa memandang kehidupan malam di sungai dan gemerlap lampu-lampu dari gedung
jangkung di sebrang sungai. Ini pun tidak kalah asyiknya. Sambil bercengkrama
dengan teman kita bisa menikmati hasis, yaitu rokok ala Arab dengan menggunakan
alat pengisap seperti saxophone. Ketika kita mengisap ujungnya maka air di
dalam alat itu memunculkan gelombang udara, sementara kita memperoleh kesegaran
dari asap tembakau yang terisap. Rasa
hasis bisa bermacam-macam tergantung selera, misalnya rasa mint atau menthol.
Rabu, 06 Februari 2013
Mengunjungi Mesir
Piramida Di Giza
Beberapa hari ini media televisi menayangkan berita Presiden Republik Indonesia SBY sedang berada di Saudi Arabia untuk melaksanakan umrah. Meskipun demikian yang nampak di layar kaca adalah pidato SBY meminta KPK untuk mempercepat proses pemeriksaan Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi Hambalang. Hari ini running text memunculkan berita SBY sudah berada di Mesir dan mengunjungi asrama mahasiswa Indonesia. maka ingatanku segera saja terbang ke Kairo.
Dubai-Kairo
Ketika berada di Dubai awal November 2006 aku ditugasi
teman-teman untuk mengunjungi Kairo untuk melihat realisasi penggunaan bantuan
dari APBD Jawa Barat yang diberikan pada para mahasiswa asal Provinsi Jawa
Barat yang sedang melanjutkan studi di Universitas Al Azhar. Kebetulan pak Agustiar, Kadis Indag
mengajakku ke sana, maka berangkatlah aku kesana bersama beberapa orang: Kohar kepala
Biro di Gedung Sate, Bachtiar reporter TVRI, nyonya Kohar, nyonya Agustiar, Siswanda dan aku. Agustiar menyusul setelah berkunjung ke
Kedubes RI di Qatar.
Dari bandara internasional Dubai pesawat Emirates
menerbangkan kami melintasi jazirah Arabia, menyebrangi Laut Merah kemudian
melintas di benua Afrika, di negri
Mesir, untuk kemudian mendarat di bandara Kairo. Hari telah malam ketika kami
tiba. Dari sama kami kami melewati jalan-jalan kota Kairo untuk kemudian tiba
di hotel Zoser yang berada di provinsi Giza. Pemandangan yang tidak biasa
adalah banyak aparat keamanan bersenjata lengkap bahkan sampai di lobby hotel. Suhu sangat dingin malam itu.
Gedung KBRI
Gedung KBRI
Kedubes RI
Acara pertama di Mesir adalah mengunjungi Kedutaan Besar
Republik Indonesia di jantung kota Kairo. Gedung Kedubes sangat megah seperti
gedung Bank Indonesia yang ada di
Bandung. Aku tak bisa menyembunyikan
rasa banggaku berada di sana. Ketika itu sedang berlangsung Indonesia Day yang diisi pameran produk-produk Indonesia
dan pertunjukan kesenian oleh masyarakat Indonesia yang ada di sana. Pak Dubes
dan para atase menyambut kami dengan senang.
Bagiku rasanya seperti mimpi berada di sana di antara saudara-saudaraku
sebangsa dan setanah air.
Hubungan
diplomatik Indonesia – Mesir dimulai pada tanggal 10 Juni 1947 setelah
ditandatangani perjanjian persahabatan antara Menteri Luar Negeri Indonesia, H. Agus Salim dan Perdana Menteri Mesir, Mr. Fahmy El Nouikrasyi. Dua bulan kemudian berdiri Kantor Perwakilan
Indonesia di Mesir dengan HM Rasyidi
sebagai kuasa usaha. Pada tanggal 25 Februari 1950 kantor itu ditingkatkan
menjadi Kedutaan Besar Republik
Indonesia dengan HM Rasyidi
sebagai duta besar pertama. Sampai sekarang Pemerintah Indonesia telah menempatkan 18 duta besar luar biasa dan berkuasa penuh di Mesir.
Dari kedubes kami langsung mengunjugi para mahasiswa Indonesia asal Jawa Barat di dekat kampus Al Azhar. Mereka menunjukkan asrama yang sedang direnovasi antara lain untuk dijadikan balai pertemuan mahasiswa.
Dari kedubes kami langsung mengunjugi para mahasiswa Indonesia asal Jawa Barat di dekat kampus Al Azhar. Mereka menunjukkan asrama yang sedang direnovasi antara lain untuk dijadikan balai pertemuan mahasiswa.
Piramida Giza
Keesokan paginya kami berkunjung ke piramida Giza, disebut
demikian karena piramida tersebut berada di provinsi Giza. Aku setengah
tidak percaya berada di antara tiga piramida yang biasanya hanya kulihat di
media cetak atau televisi. Kami berlima
terkagum-kagum melihat bangunan yang terbuat dari tumpukan batu-batu besar berusia
ribuan tahun tersebut.
Piramida Agung Giza
adalah piramida
tertua dan terbesar dari tiga piramida yang ada di Nekropolis Giza dan
merupakan satu-satunya bangunan yang masih menjadi bagian dari Tujuh Keajaiban Dunia. Dipercaya bahwa piramida ini dibangun
sebagai makam untuk firaun dinasti keempat Mesir, Khufu (Χεωψ, Cheops) dan dibangun selama
lebih dari 20 tahun dan diperkirakan berlangsung pada sekitar tahun 2560 SM. . Piramida ini
kadang-kadang disebut sebagai Piramida
Khufu
Tidak lupa kamipun mengunjungi patung singa berkepala
manusia atau sphynx. Hidung patung itu
tidak utuh lagi, konon dipatahkan oleh tebasan pedang para prajurit Islam yang
tiba di Mesir di masa Khalifah Rasyidin.
Langganan:
Postingan (Atom)