Sungai Nil dapat dikatakan sebagai kehidupan dan ikon Mesir. Semua
kehidupan berpusat di sepanjang sungai ini. Mengalir dari atas Mesir menuju lower Egypt dan berakhir di laut Mediterania
yang mempertemukan Asia, Eropa dan Afrika. Sesungguhnya sungai itu berasal dari Danau Vicotria di jantung
Afrika, melintasi pelbagai negara seperti
Uganda dan Sudan sebelum tiba di Mesir. Bahkan
anak sungainya berasal dari Kongo, Tanzania, Kenya dan Ethiopia. Aliran sungai
itu menjadi berkah dan
keindahan tiada tara bagi negara Mesir yang berupa padang pasir luas. Irigasi dibuat sedemikian baiknya
antara lain dengan membuat bendungan Aswan hingga
tiada setetes pun air dari sungai itu melainkan menjadi sumber kehidupan bagi
manusia, flora, fauna dan
alam semesta. Saat sungai itu tiba di Kairo, ia menjadi pemandangan yang
menakjubkan dan membuatku terharu untuk kemudian ingat pada Nya dan bersyukur
diberi kesempatan melihatnya.
Siang itu kami sempat makan siang di sebuah restoran terapung di
sungai Nil. Restoran terapung itu berupa sebuah kapal yang berlayar menyusuri
kota Kairo. Bersantap siang di sebuah kapal yang berlayar di siang yang terik
tentu menjadi kenangan yang tidak terlupakan. Apalagi
sungai Nil sangat bersih, tidak dipenuhi sampah seperti sungai-sungai kita.
Tampak bersama kami banyak
wisatawan dari negara lain terutama dari Eropa. Orang China pun ada. Nampaknya
mereka adalah delegasi perdagangan yang sedang berpromosi. Mereka makan sangat sederhana dan
hemat tapi promosinya luar
biasa. Saat makan siang selesai dan kapal merapat ke dermaga, kulihat di front desk banyak brosur dan majalah mereka.
ketika kubaca, majalah
mereka tidak saja berbahasa Inggris tetapi juga berbahasa Arab. Indonesia yang
merupakan negara muslim terbesar setahuku tidak membuat media promosi
perdagangan dalam bahasa Arab.
Di malam hari
bulan November 2006, Sungai Nil tetap memancarkan pesona.Kali ini aku mencoba
mengikuti acara nightlife yang diselenggarakan The Pharaohs
Cruising Restaurants. Prinsipnya sama dengan restoran terapung di siang hari
hanya saja kapalnya lebih besar lebih
mewah dan terdiri dua
lantai dengan eksterior dan interior ala kerajaan di masa Firaun. Sejak
memasuki pelataran parkir kemudian menuju dermaga situasinya sudah terbangun
sebagai kehidupan ke rajaan dengan pengawal-pengawal berbusana khas Mesir. Saat pengunjung telah memenuhi kursi
yang tersedia, kapal pun melepas sauh dan pelahan-lahan meninggalkan dermaga
untuk melayari sungai Nil. Kota Kairo nampak gemerlapan di malam hari,
sementara di sungai kapal-kapal dan perahu kecil berlalu lalang dalam
kegelapan. Cahaya warna-warni muncul dari kapal-kapal itu menambah indah
pemandangan.
Makan malampun dimulai ala prasmanan. Ada minuman, kudapan berupa
kue-kue, buah-buahan dan menu utama berupa nasi dan roti dengan lauk pauk khas
Mesir berupa masakan dari daging dan ikan dengan bumbu rempah yang kuat.
Makanan dengan menu Eropa dan sea food juga tersedia. Saat pengunjung
bersantap malam di meja mereka masing-masing, hiburan pun dimulai. Hiburan
utama adalah tari perut (belly dance).
Seorang penari berwajah Arab berambut pirang pun muncul dengan iringan musik timur tengah. Busana
yang dikenakan sangat khas penari perut : rok dan penutup dada warna hijau metalik dengan hiasan untaian
manik-manik keemasan yang gemerlapan. Keindahan
tarian itu menyatu dengan keindahan sang penari sehingga memukau pengunjung
dari awal hingga akhir. Saat semua imajinasi dan hasrat memuncak, sebuah
pertunjukan yang memberi keseimbangan dihadirkan. Seorang laki-laki berpakaian
darwis dengan menggendong boneka bayi masuk ke tengah-tengah ruangan menarikan
tarian sufi berupa gerakan memutar yang tiada habis-habisnya. Gerakan memutar dan kibasan busana
yang digunakan dalam iringan musik sufi mengingatkanku pada Jalalludin Rumi.
Bukan hanya itu, tarian itu tiba-tiba saja mengingatkanku dan mungkin juga
pengunjung yang lain pada kematian.
Andai kita tidak ingin berpesiar dengan kapal melayari sungai Nil,
kita dapat datang ke sebuah restoran di tepi sungai di malam hari agar kita
bisa memandang kehidupan malam di sungai dan gemerlap lampu-lampu dari gedung
jangkung di sebrang sungai. Ini pun tidak kalah asyiknya. Sambil bercengkrama
dengan teman kita bisa menikmati hasis, yaitu rokok ala Arab dengan menggunakan
alat pengisap seperti saxophone. Ketika kita mengisap ujungnya maka air di
dalam alat itu memunculkan gelombang udara, sementara kita memperoleh kesegaran
dari asap tembakau yang terisap. Rasa
hasis bisa bermacam-macam tergantung selera, misalnya rasa mint atau menthol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar