Berkunjung ke Kadilangu
Selesai mengunjungi Masjid Demak
serta menikmati kuliner khas kota Demak di alun-alun Masjid Demak, kami
bermaksud berkunjung ke Kudus. Di antara Demak dan Kudus terdapat tempat yang
istimewa bernama Kadilangu. Letaknya di sebelah kanan jalan nasional, berbelok
beberapa kilometer. Ke sinilah kami menuju.
Meski hanya sebuah kelurahan, Kadilangu
adalah tempat istimewa karena di tempat inilah terletak beberapa peninggalan
Sunan Kalijaga, satu-satunya Wali asal Jawa dari sembilan wali yang disebut
Wali Sanga. Peninggalan Sunan Kali Jaga yang ada adalah makam dan masjid,
meskipun demikian yang banyak dikunjungi adalah makam Sunan Kalijaga, sementara
Masjid Kadilangu nyaris tidak ada yang mengunjungi karena tidak sepopuler
Masjid Demak. Maklum masjid Kadilangu bukanlah masjid besar seperti masjid
Demak yang dibangunnya. Usai memimpin pembangunan masjid Demak, Sunan Kalijaga
diberi tanah oleh Raden Patah atau Sultan Demak di Kadilangu yang kemudian
berkembang menjadi 27 desa, tapi kemudian tinggal sepuluh desa saja karena desa-desa
yang lain diambil Belanda pada tahun 1880, karena Belanda takut Kadilangu
menjadi negara dalam negara.
Suasana sangat ramai di pintu gerbang komplek
makam Kadilangu. Suasananya mirip di pemakaman Sunan Ampel di Surabaya. Di lorong
yang panjang para pedagang berdagang apa saja yang berkaitan maupun tidak dengan
prosesi ziarah. Misalnya saja kitab-kitab, mulai dari Al Qur-an, hadits, kitab
kuning, riwayat Wali Sanga, riwayat masjid-masjid, buku sejarah kerajaan Islam
di Pulau Jawa, maupun buku-buku wirid, doa dan buku ziarah kubur. Kemudian busana,
baik busana muslim, pakaian shalat, pakaian adat Jawa, batik, t-shirt serta
aksesoris. Ada pula dijual kaligrafi dari huruf Arab maupun Jawa terbuat dari
kayu yang diukir, kulit binatang yang ditatah maupun ditulis dengan tinta
warna, dari kertas maupun dari kain. Selain itu juga dijual berbagai penganan
khas Jawa yang beraneka rupa.
Memasuki komplek pemakaman suasana
beralih ke suasana peziarahan dengan ramainya suara para peziarah melatunkan
ayat suci Al Qur-an maupun yang sedang berdzikir, berwirid maupun berdoa dengan
khusuknya. Makam Sunan Kalijaga merupakan inti pusat peziarahan di komplek
makam tersebut, terpisah oleh pagar dan pintu khusus, makam Sunan terdapat di
dalam bangunan yang berdiri lama dengan arsitektur yang indah bercat putih. Ke situlah
kami menuju untuk melantunkan doa sambil mengenangkan hidup Sunan Kalijaga yang
penuh perjuangan untuk menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa sambil
menyampaikan ajaran-ajarannya yang dikenal dengan Dasa Pitutur atau Sepuluh
Nasihat.
Sunan Kalijaga semasa muda bernama
Said atau Raden Setya, ia adalah anak
Tumenggung Wilatikta, pejabat kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawa,
Said adalah murid Sunan Bonang dan setelah menjadi seorang wali bernama Sunan Kalijaga.
Ia kawin dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishak, saudara sepupu Sunan Gunung
Jati. Sunan Kalijaga memiliki
pengetahuan luas di bidang kesenian dan kebudayaan Jawa. Ia memanfaatkan
tradisi pertunjukan wayang sebagai sarana penyebaran agama Islam (dakwah). Ia pun
menciptakan lagu Ilir-ilir yang
berisi ajakan masuk agama Islam. Ia adalah
guru dari Hadiwijaya (Bupati Pajang). Selain itu ia juga guru dari Ki Gede
Pamanahan, Ki Juru Martani, dan Panjawi, ketiganya adalah keturunan Ki Ageng
Selo. Dalam percaturan politik di Demak dan Pajang, Sunan Kalijaga sangat
berpengaruh. Ketika Pajang dan Jipang saling berebut kekuasaan atas Demak, ia
memihak Pajang dan Pajang pun menang. Pusat pemerintahan Demak pun dipindahkan
ke Pajang. Panjawi diberi kekuasaan atas Pati. Atas pengaruh Sunan Kalijaga pula Ki Gede
Pamanahan memperoleh haknya atas Mataram yang diramalkan Sunan Giri akan
menjadi kerajaan seperti Pajang.
Puas berziarah dan melihat satu
persatu makam keluarga Sunan Kalijaga kamipun meninggalkan makam menuju Kudus. Di
tengah perjalanan kami singgah di Masjid Kadilangu. Inilah masjid yang
didirikan Sunan Kalijaga. Masjidnya tidak sebesar masjid Demak, seukuran dengan
masjid-masjid di pemukiman saat ini. Hanya saja ini memang masjid tua,
didirikan pada tahun 1532 dan merupakan cagar budaya yang dilindungi. Dinding-dindingnya
terbuat dari tembok tebal bercat putih. Pintu-pintu dan jendelanya terbuat dari
kayu jati tua yang bagus, tebal dan kokoh. Kamipun menyempatkan melakukan
shalat sunat tahiyatul masjid dua rakaat untuk kemudian melanjutkan perjalanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar