Menjelang pukul dua siang kami
memasuki kota Kudus setelah satu dua jam perjalanan dari kota Demak diselingi
singgah di Kadilangu yang merupakan tempat Sunan Kalijaga. Memasuki kota Kudus
ditandai dengan hiasan iklan perusahaan rokok kretek di kiri kanan jalan
menandakan kedigdayaan kota itu dalam industri rokok kretek. Tujuan utama kami
ke kota ini bukan ingin melihat pabrik rokok atau memborong rokok tapi
mengunjungi Masjid Kudus yang tekenal itu, yang menaranya diabadikan dalam
pecahan mata uang rupiah.
Memasuki bagian tengah kota yang
padat dan jalan yang tidak begitu lebar sampailah kami di Masjid Kudus, meski
mobil harus diparkir beberapa ratus meter di luar area masjid. Cuaca sedang
cerah ketika itu, matahari bersinar sangat terik dan udara begitu panas.
Melalui jalan-jalan sempit di antara
rumah-rumah penduduk yang sudah tua yang menandakan tuanya pemukiman di sana,
akhirnya kami tiba pada tujuan yang kami cari. Suasana ramai ketika itu dengan
para pengunjung masjid maupun para peziarah.
Aku terpesona dengan dengan arsitektur menara
masjid yang menyerupai candi terbuat dari batu bata, mengingatkanku pada
bangunan bale bengong di Puri Taman Ayun di Bali. Mirip sekali. Hal ini tidak
terlepas dari asal usul kota Kudus. Kudus berasal dari bahasa Arab Al Quds atau
Yerusalem, bisa juga berarti suci dari kondisi setempat yang merupakan tempat
yang suci sejak era Hindu. Menurut berbagai sumber, dahulu kota Kudus bernama
Tajug, yang artinya atap bangunan tradisional yang digunakan untuk
bersembahyang warga Hindu di daerah itu. Sunan Kudus yang datang kemudian
melakukan pendekatan dengan membuat struktur atas menara Kudus berbentuk Tajug.
Konon menara masjid Kudus sudah dibangun sebelum masjid Kudus berdiri.
Pendirian menara ini dijadikan penanda kelahiran kota Kudus.
Kami memasuki masjid untuk
melaksanakan shalat kemudian berkeliling melihat-lihat masjid peninggalan Sunan
Kudus dan menikmati menara masjid dari serambi. Masjid Menara Kudus atau Masjid
Al Manar bernama Masjid Al Aqsa Manarat Qudus. Disebut Al Aqsa karena batu pertama
dibawa Sunan Kudus dari Al Aqsa di Baitul Maqdis (Yerusalem) Palestina. Masjid
ini didirikan pada tahun 1549 dengan memadukan pola arsitektur yang memadukan
budaya Islam dengan budaya Hindu. Pintu gerbangnya yang bernama Paduraksa
seperti pintu gerbang pura di Bali
Kami pun tidak lupa menyempatkan
diri berziarah ke makam wali dan keluarganya. Sunan Kudus bernama Ja’far Sidiq
atau Raden Undung. Beliau dikenal sebagai salah seorang Wali Sanga. Sunan Kudus
memiliki banyak ilmu, menguasai ilmu tauhid, hadis, tafsir, fikih sampai sastra
sehingga disebut Waliyul Ilmi. Saat menyebarkan agama Islam beliau sangat
berhati-hati. Untuk menghargai pemeluk Hindu yang menghormati sapi, maka Sunan
Kudus mengajarkan untuk mengonsumsi daging kerbau. Ajaran ini berlangsung sampai
sekarang dan menjadi salah satu kekhasan kuliner kota Kudus.
Dalam Babad Jawa dan Hikayat
Melayu, nama Sunan Kudus pertama muncul saat perang jihad pertama di Jawa yang
terjadi antara Kerajaan Islam Demak dengan Kerajaan Hindu Majapahit, pada 1524
dan 1526. Saat itu, Sunan Kudus mendampingi imam masjid Demak keempat yang
tidak lain merupakan ayahnya sendiri, memimpin peperangan melawan Majapahit.
Dalam pertempuran sengit itu, ayah Sunan Kudus gugur. Sunan Kudus kemudian diangkat
menjadi imam masjid Demak. Sedangkah menurut Hikayat Hasanudin, Sunan Kudus
adalah imam masjid Demak kelima. Pada 1526 dan 1527, Raja Demak Sultan Trenggana
memerintahkan Sunan Kudus menyerang Majapahit. Serangan itu dipimpin langsung
oleh Sunan Kudus dan berakhir dengan kemenangan Kerajaan Demak. Setelah itu,
Sunan Kudus kembali dengan aktivitas keagamaannya di masjid Demak, yakni
membumikan ajaran agama Islam.
Sunan Kudus mengembangkan filosofi
gusjiang, yang berarti bagus, mengaji dan berdagang. Melalui filosofi tersebut
Sunan menuntun masyarakat menjadi orang berkepribadian bagus, tekun mengaji dan
mau berdagang. Usaha yang berkembang di antaranya usaha batik dan pembuatan
jenang atau dodol. Para pedagang Timur Tengah, Tiongkok dan Nusantara yang
berdagang kain, barang pecah belah dan hasil pertanian di Pelabuhan Tanjung
Karang, Kudus terinspirasi dengan filosofi Sunan Kudus tersebut. Sayang
pelabuhah Tanjung Karang kini tiada lagi karena sedimentasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar