Minggu, 13 Maret 2011

DARI KLATEN KE NGAWI



Surya Majapahit




AYAHKU – aku memanggilnya bapak, berasal dari Dusun Sidoharjo Desa Tulakan Kecamatan Sine Kabupaten Ngawi Provinsi Jawa Timur. Sejauh yang kutahu dari penuturan bude-budeku, nama kecil bapak adalah Gimin. Ketika menikah orang Jawa biasa menggunakan nama dewasa, demikian juga bapak, namanya kemudian menjadi Harso Sugiyatmo Prawirorejo. Prawirorejo berasal dari nama kakekku, ayah dari bapak.

Bapak adalah satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga Prawirorejo, kedua kakaknya perempuan yang biasa kupanggil mbokde Karto dan mbokde Marto, demikian pula adik bapak juga perempuan yang kupanggil mboklik Wiro. Bapak sudah meninggal dunia di Jakarta pada tahun 1998. Mbokde Marto dan mboklik Wiro pun sudah tiada. Tinggallah seorang kakak perempuan bapak yang masih ada yaitu mbokde Karto, dialah yang sekarang kuanggap sebagai sesepuh di keluarga Prawirorejo.

Keluarga Prawirorejo adalah keluarga kelas menengah di desaku. Mbah Prawirorejo yang kusebut mbah kakung adalah seorang pejabat desa yang dinamakan Bayan. Di desa ada beberapa jabatan yang masih ada sampai sekarang. Jabatan tertinggi adalah lurah atau Kepala Desa. Di bawahnya ada carik atau sekretaris desa. Ada jagabaya yang mengurus masalah keamanan desa. Bayan mengurus masalah pembangunan, biasanya mengorganisir kerjabakti untuk memperbaiki infrastruktur desa seperti jalan. Lurah, carik, jagabaya dan bayan dipilih oleh warga. Mereka memperoleh imbalan dalam pekerjaan mereka berbentuk tanah carik yang boleh mereka garap dan mereka ambil hasilnya.

Mbah kakung memelihara kuda tunggangan, mungkin karena berasal dari keluarga penunggang kuda sejak dulu. Ayahku biasa membawa kuda itu ke sungai pada sore hari untuk dimandikan. Saat-saat seperti itu nampaknya sangat mengesankan bagi penduduk desa. Ayahku nampak gagah di atas kuda dan menjadi perhatian kaum perempuan. Kuda terakhir mbah kakung mati konon karena diberi sayur basi oleh ibuku. Aku sendiri tidak menyaksikan semua itu, hanya cerita dari orang-orang desalah yang memungkinkanku mengetahui semua kisah yang menarik itu.

Konon asal usul mbah kakung berasal dari keturunan pujangga kerajaan. Namun aku tidak tahu kerajaan apa karena di sekitarku banyak peninggalan kerajaan : Majapahit, Jogorogo, Powan dan Metaun. Kerajaan Powan sudah menjadi legenda yang dijadikan sumber naskah bagi pementasan kethoprak di sekitar Ngawi. Kethoprak adalah seni sandiwara tradisional yang mementaskan cerita-cerita rakyat baik yang berasal dari sejarah maupun legenda yang hidup di kalangan rakyat. Kethoprak biasanya dipentaskan di balai desa, dan rombongan kethoprak bisa mengadakan pertunjukan selama sebulan penuh untuk kemudian berpindah ke tempat lain. Kethoprak adalah satu-satunya pertunjukan seni yang mengharuskan penonton membeli tiket masuk, berbeda dengan wayang kulit yang boleh disaksikan dengan gratis karena wayang kulit biasanya ditanggap oleh orang yang menyelenggarakan resepsi pernikahan maupun sunatan (khitanan).

Mbah kakung menikahi dua perempuan. Perempuan pertama bernama Simpar yang kupanggil dengan mbah putri yang memiliki empat anak seperti sudah kuceritakan. Perempuan kedua yang dinikahi mbah kakung aku lupa namanya, tapi anaknya adalah paklik Setu, anak tunggal. Uniknya hubungan antara paklik Setu dengan bapak dan saudara-saudaranya baik sekali. Demikian juga hubungan paklik Setu denganku juga baik hingga aku dewasa. Bahkan beberapa waktu sebelum bapak meninggal kudengar bapak pulang ke desa dan mengunjungi paklik Setu.

Mbah putri adalah seorang wanita cantik yang pesonanya masih nampak hingga di usianya yang lanjut. Ia seorang perempuan yang pandai mencari uang dengan berdagang hasil bumi dan meminjamkan alat-alat pesta. Pakaian yang dikenakannya selalu indah dan di setiap pesta di desa hampir dipastikan mbah putri diundang sebagai sesepuh di situ yang turut mengatur makan minum bagi tetamu. Mbah putri memiliki sawah dan kebun yang luas yang diurus oleh anak dan menantunya. Hanya Bapak yang keluar dari tradisi keluarga dengan menjadi pegawai negri di Pemda DKI sebagai anggota korps pemadam kebakaran. Darah pedagang mbah putri sesekali muncul pada kehidupan bapak, sehingga bapak pernah menjadi pengusaha leveransir bahan bangunan dan alat-alat pemadam api.

Bapak menikah dengan ibu di tahun 1959. Ibuku bernama Kartiyem, berasal dari Pulowatu, Karangnangka, Klaten, Jawa Tengah. Ibu adalah seorang anak tunggal dan yatim piatu sejak kecil. Ayahnya meninggal ketika ibu masih kecil. Ibunya membawa ibu ke Ngawi, dan tidak lama kemudian ibu dari ibuku meninggal di Walikukun. Sebatangkara ibu kemudian diasuh oleh budenya. Ketika bude meninggal ibu ikut bupuh Karsohutomo hingga bertemu dan menikah dengan bapak.
Bupuh Karsohutomo adalah saudara sepupu ibu, namun sudah seperti kakak bagi ibu. Bupuh memiliki beberapa orang adik yaitu bupuh Arisman, bupuh Mulyono, dan om Sukarno. Bupuh masih tinggal di Ngawi hingga kini, sementara bupuh Arisman tinggal di Yogyakarta, bupuh Mulyono tinggal di Magetan dan om Sukarno tinggal di sebuah desa di Magelang.

Sebelum ibu menikah dengan bapak, agama yang dipeluk ibu adalah Katholik seperti agama yang dipeluk oleh keluarga dari ibu. Meski menikah secara Islam, ibu baru benar-benar memeluk agama Islam dan beribadah sebagaimana layaknya kaum muslimat adalah setelah aku dan adik-adikku beranjak dewasa.

Dari perkawinan bapak dan ibu lahir enam orang anak yaitu aku sebagai anak sulung serta satu-satunya anak lelaki, dan lima anak perempuan : dik Yani, dik Retno (Annisa), dik Yuni, dik Titik dan dik Wiwin. Aku menikah dengan Atikah dan dikaruniai tiga orang anak. Anak pertamaku perempuan yang kuberi nama Idea Wening Nurani. Anak kedua dan ketiga laki-laki : Abdurrahman Sidiq Suryasemesta dan dan Muhammad Agustus Prajakusuma. Adik-adikku sudah sudah menikah dan memiliki beberapa orang anak. Hanya dik Nisa yang belum memiliki anak. Dengan demikian ibu memiliki enam anak dan enam belas orang cucu.


Catatan tentang Majapahit, Jagaraga dan Matahun

Majapahit (http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit)

Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan Singhasari[12], terdiri atas beberapa kawasan tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh uparaja yang disebut Paduka Bhattara yang bergelar Bhre. Gelar ini adalah gelar tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas mereka adalah untuk mengelola kerajaan mereka, memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola pertahanan di perbatasan daerah yang mereka pimpin.

Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di Majapahit, yang dikelola oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:
1. Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja
2. Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha (tuan), atau bhre (pangeran atau bangsawan)
3. Watek: dikelola oleh wiyasa,
4. Kuwu: dikelola oleh lurah,
5. Wanua: dikelola oleh thani,
6. Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.

Provinsi
1 Kahuripan (atau Janggala, sekarang Surabaya)
2 Daha (bekas ibukota dari Kediri)
3 Tumapel (bekas ibukota dari Singhasari)
4 Wengker (sekarang Ponorogo)
5 Matahun (sekarang Bojonegoro)
6 Wirabhumi (Blambangan)
7 Paguhan Bhre Paguhan
8 Kabalan Bhre Kabalan
9 Pawanuan
10 Lasem (kota pesisir di Jawa Tengah)
11 Pajang (sekarang Surakarta)
12 Mataram (sekarang Yogyakarta)

Sedangkan dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre.[32] Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:
Daha
Jagaraga
Kabalan
Kahuripan
Keling
Kelinggapura
Kembang Jenar
Matahun
Pajang
Singhapura
Tanjungpura
Tumapel
Wengker
Wirabumi

Saat Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi saat pemerintahan Gajah Mada, beberapa negara bagian di luar negeri juga termasuk dalam lingkaran pengaruh Majapahit, sebagai hasilnya, konsep teritorial yang lebih besar pun terbentuk:
Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal Majapahit atau Majapahit Lama selama masa pembentukannya sebelum memasuki era kemaharajaan. Yang termasuk area ini adalah ibukota kerajaan dan wilayah sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan pemerintahannya. Area ini meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan semua provinsinya yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat dekat raja.
Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara langsung dipengaruhi oleh budaya Jawa, dan wajib membayar upeti tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut biasanya memiliki penguasa atau raja pribumi, yang kemungkinan membentuk aliansi atau menikah dengan keluarga kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan birokrat dan pegawainya di tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan mengumpulkan pajak, namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup penting. Termasuk didalamnya daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan juga Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung dan Palembang di Sumatra.
Nusantara, adalah area yang tidak merefleksikan kebudayaan Jawa, tetapi termasuk ke dalam koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka menikmati otonomi yang cukup dan kebebasan internal, dan Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan birokratnya atau tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat mengancam Majapahit akan menghasilkan reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah kerajaan kecil dan koloni di Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.
Ketiga kategori itu masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan Majapahit. Akan tetapi Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang didefinisikan sebagai hubungan diplomatik luar negeri:
Mitreka Satata, yang secara harafiah berarti "mitra dengan tatanan (aturan) yang sama". Hal itu menunjukkan negara independen luar negeri yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan sebagai bawahan dalam kekuatan Majapahit. Menurut Negarakertagama pupuh 15, bangsa asing adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya dari Thailand), Dharmmanagari (Kerajaan Nakhon Si Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari (kerajaan di Myanmar), Kerajaan Champa, Kamboja (Kamboja), dan Yawana (Annam).[33] Mitreka Satata dapat dianggap sebagai aliansi Majapahit, karena kerajaan asing di luar negeri seperti China dan India tidak termasuk dalam kategori ini meskipun Majapahit telah melakukan hubungan luar negeri dengan kedua bangsa ini.


Jagaraga.(ngawikab.go.id/​index.php?...&task=cat​_view&gid=84&Itemid=209)

Negara Jagaraga adalah suatu daerah yang terletak di
lereng Gunung Lawu dan disebelah selatan pegunungan
Kendeng. Jagaraga berasal dari kata (jaga=waspada,
raga=tubuh). Di dalam buku Valentijn menyebutkan daeah
Jagaraga (het landschap Jagaraga) dengan kotanya
bernama (de staad Jagaraga), terletak di daerah antara
gunung lawu dan Kali Semanggi (sekarang bernama
bengawan Solo), sedangkan Dr. NJ.Krom menyebutkan
letak Jagaraga di daerah Madiun. Nama Jagaraga tersebut
dalam prasasti tembaga Waringin Pitu yang diketemukan di
Desa Suradakan (Kabupaten Trenggalek) sekitar tahun
1369 Saka (1474 M). Serta buku Pararaton (terbit tahun
1613 m).

Prasasti tembaga Waringin Pitu dikeluarkan oleh Raja
Widjayaparakramawardhana (Dyah Kerta Wijaya) pada
tahun 1369 Saka atau tepatnya 22 November 1474 m.
Prasasti ini menyebutkan tentang penguasa di Jagaraga
(paduka Bhattara ring Jagaraga) bernama Wijayandudewi
sebagai nama penobatan (nama raja bhiseka) atau
Wijayaduhita sebagai nama kecil (Garbhapra Sutinama),
seorang puteri yang mengaku keturunan Raden Wijaya.
(Kertarajasa Jayawardhana) pendiri Kerajaan Majapahit,
Prasasti ini juga memuji raja puteri (ratu) Jagaraga dengan
deretan kalimat (ansekerta) yang indah dan menurut
terjemahan Mr.Moh.Yamin adalah sebagai berikut ;

“Perintah Sang Parbu diiringi pula oleh Seri Paduka Batara
Jagaraga” ;
- Nan bertingkah laku lemah lembut gemulai dan
utama sesuai dengan kesetiaan kepada suaminya”.
- Nan dibersihkan kesadaran yang utama dan tidak
bercacat, yang kaki tangannya dihiasi perhiasan
utama, yaitu tingkah laku penuh kebajikan.
- Nan berhati sanubari sesuai dengan kenangkenangan
yang tidak putus-putusnya kepada suami.

Matahun.

Oleh para Sarjana wialayah di sebelah Barat Jagaraga di
seberang bengawan Sala di perkirakan wilayah kekuasaan
Negara Matahun , ini meliputi daerah atau Desa Tawun
yang saat sekarang ini di wilayah Kecamatan Padas
Kabupaten Ngawi yang terkenal dengan sendang bulusnya.

Menurut prasasti Waringin Pitu, Raja Matahun bernama
Dyah Samara Wijaya yang bergelar Wijayaparakrama, tetapi
menurut Prasasti Kusmala (batu tilis dari Kandangan, Pare
Kediri) berangkat tahun 1272 Saka atau 1350 M, yang
menjadi Raja Matahun adalah Paduka Bhatara Matahun)
adalah Sriwijayarajasa nantawikrama tunggadewa, yang
dikatakan telah berhasil membuat sebuah tanggul kokoh
kuat dan indah (Rawuhan atita durgga mahalip), sehingga
menyebabkan kegembiraan semua penduduk.

Alas Ketangga.

Sebagian masyarakat, Alas Ketangga dikaitkan dengan
“Jangka Jayabaya” . Oleh Dr. J.Brandes dalam
karangannya yang berjudul “Lets Over een ouderen
Dipanagara in verband met een
prototype van de voorspellingen van Jayabaya”. Dalam
karangannya menyebutkan bahwa sebua naskah Jawa
dimulai dengan kalimat yang berbunyi ;

“Punika serat jangka, cariosipun prabu Jayabaya ing
Moneng, nalika katamuan raja pandita saking Erum,
nama Maolana Ngali Samsujen”. (Ini kitab ramalan , cerita
Raja Jayabaya di Momenang pada waktu menerima tamu
raja pendeta dari Erun, bernama Maolana Ngali Samsujen).
Setelah itu disinggung nama kitab Musarar (Kitab Hasrar :
boek dergeheimenissen), yang berisi lamaran di seluruh
dunia (jangkaning jagad sedaya); dan diteruskan dengan
menyebut nama beberapa orang raja dan kerator dan juga
beberapa ramalan apabila diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia anatara lain sebagai berikut :

“Ada yang bernama Raden Amisan, menobatkan Ratu
Adil, dari tanah Arab, menguasai seluruh dunia, Radem
Amisan bernama Sultan Erucakra, waktu itu berhentilah
kekacauan Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar