GENDINGAN adalah sebuah desa di sebelah selatan Walikukun, masuk dalam wilayah Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Di desa ini -- tepatnya di perempatan antara jalan nasional yang menghubungkan Solo dengan Surabaya dan jalan kabupaten ke arah Walikukun di utara serta jalan desa ke arah Bengawan Solo di selatan -- bupuh Karsohoetomo (aku biasa memanggilnya bupuh Gendingan) tinggal di rumah kayu tua. Rumah tua itu seluruh kerangka dinding dan langit-langitnya terbuat dari kayu jati kualitas terbaik, hanya bagian fondasi dan lantai saja yang terbuat dari adukan semen dan batu bata. Dulu rumah tua tersebut adalah sebuah sekolah dasar Belanda. Entah bagaimana, bupuh bisa tinggal dan memiliki rumah tersebut, mungkin karena bupuh anak dari seorang Indo Belanda. Rumah tua yang kini sudah kehilangan aura kemegahannya itu adalah tempat yang selalu hidup dalam kenanganku. Aku pernah tinggal di situ, dan setiap libur sekolah jika aku pulang dari rantau dapat dipastikan aku singgah di situ menjumpai bupuh dan anak-anaknya : Mas Mar, Mas Tedjo, Mas Min dan Mbak Tutik. Hingga kini aku dewasa aku masih sering ke rumah itu jika sedang bepergian ke Jawa Timur.
Rumah bupuh dulu memiliki halaman yang luas, tempat tanaman jagung, kacang tanah dan ubi kayu tumbuh dengan subur. Jika panen jagung tiba, kami berkumpul di teras belakang beralaskan tikar pandan mengadakan upacara membakar jagung. Kini halaman itu boleh dikatakan tak ada lagi karena habis terjual sedikit demi sedikit. Hanya tersisa sedikit di halaman depan yang digunakan untuk tempat cuci mobil dan motor dan di halaman belakang yang ditumbuhi bambu. Mbah To sudah meninggal dunia dan rumahnya di halaman belakang sudah dipindahkan.
Dari rumah bupuh di Gendingan ini dulu aku setiap hari pergi ke kota Ngawi untuk mengikuti ujian SMEA di SMEA Kosgoro. Jarak Gendingan-Ngawi kurang lebih 20 kilometer. Di rumah ini pula biasanya aku bertemu dengan sepupu yang berasal dari kota-kota lain. Masa libur sekolah merupakan waktu untuk berkumpul dan berkenalan dengan saudara-saudara dari ibuku. Di rumah depan biasanya kami berkumpul dan jika bosan kami pindah ke beranda belakang, yang dulunya diperuntukkan untuk kelas-kelas.
Di sebelah kanan rumah bupuh ada rumah Nyah Lot, kakak tiri perempuan bupuh yang beribukan Belanda. Nyah Lot adalah sahabatku ketika aku kecil. Setiap aku ke Gendingan Nyah Lot selalu meminta uang dan aku dengan senang hati memberinya. Ia seorang wanita bule dengan rambut putih, tubuhnya jangkung dan wajahnya cantik. Kegiatan sehari-harinya mangkal di pinggir jalan raya nasional dan orang-orang yang peduli memberinya uang recehan. Nyah Lot dulu sering mendapat bantuan dari Dr Radjiman yang dikenal sebagai nDoro Dirga. Setelah Nyah Lot meninggal, rumahnya ditinggali oleh keluarga Bung Karli, anak semata wayang Nyah Lot. Berbeda dengan Nyah Lot yang bule, Bung Karli berkulit gelap cenderung hitam. Menurut cerita Bung Karli dulunya seorang petinju yang sering bertanding di Majestik, sebuah tempat di Kebayoran Baru, Jakarta. Kini Bung Karlipun telah tiada, tapi rumah besar bangunan Belanda itu masih berdiri. Sayang di sekitarnya sudah dipenuhi bangunan milik orang lain sehingga kemegahan rumah Nyah Lot pun lenyap. Di sebelahnya ada lahan kosong yang dijadikan pangkalan delman (kereta kuda).
Di masa lampau Gendingan adalah sebuah kabupaten sebelum ada pembagian Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bupatinya bernama PH Kertonegoro dan Patihnya bernama Ronggolono.
Makam PH Kertonegoro terletak di Sarean Dusun Blimbing Sine Kecamatan Sine dan makam dari Patih Ronggolono di Desa Hargomulyo Kecamatan Ngrambe . Kedua tokoh tersebut adalah Bupati dan Wakil Bupati Gendingan ( sebelum ada pembagian Jawa Timur dan Jawa Tengah ) . Pada hari jadi Kota Ngawi makam tersebut sering dikunjungi pejabat Kabupaten Ngawi , sehingga tempat ini menjadi lebih menarik sebagai tempat tujuan wisata sejarah .(http://kotangawi.com/wisata-sejarah-dan-spiritual/)
Kini Gendingan menjadi sebuah kota kecil tempat transit bus-bus antar kota dan tempat agen-agen bus jurusan Surabaya Bandung Jakarta bahkan ke kota-kota di Sumatra. Dari Gendingan banyak sekali penduduk desa yang berurbanisasi ke kota-kota.
Bupuh masih tinggal di rumah kayu tua, dengan ketiga anak laki-laki, menantu dan cucunya. Rumah kayu tua itu menjadi saksi dari rentangan waktu yang belum berujung.
jadi ingat kedung prahu...
BalasHapus:)
Hapusterimakasih , mohon izin untuk referensi presentasi :)
BalasHapusSilakan
BalasHapusSilakan
BalasHapusSilakan
BalasHapus