Berkah Terselubung
AAT ATIKAH nama gadis itu, seorang perawat di RS Immanuel di Jalan Kopo yang lebih dikenal dengan nama Situsaeur. Seperti halnya denganku, ia kuliah di kelas karyawan. Kesamaan itu menjadi sebuah berkah terselubung. Kami kuliah di universitas yang sama, fakultas yang sama, jurusan yang sama dan kelas yang sama pula. Aku lupa-lupa ingat apakah perhatianku padanya bermula di tahun 1982 sewaktu mahasiswa baru masih belum dibagi ke dalam jurusan atau di tahun 1983 ketika mahasiswa FISIP dibagi ke dalam jurusan Administrasi Niaga dan Kesejahteraan Sosial. Yang pasti kuingat adalah bahwa ketika itu mataku mengalami low vision, sehingga mulai kesulitan untuk melihat tulisan dosen di papan tulis. Saat itu kulihat ia sudah berkacamata sehingga aku mulai berbincang-bincang mengenai kacamata dan ia mau mengantarku mencari lensa yang tepat untuk mataku yang minus.
Selesai kuliah sekitar pukul 17.00 aku pergi ke toko kacamata Victory Optical di Jalan Lengkong Besar tidak jauh dari kampus Universitas Pansundan. Seingatku ada Bob dan Wahyu ikut mengantar. Sejak saat itu aku memiliki perhatian khusus padanya. (Tetapi di kelak kemudian hari aku tahu bahwa ia mulai memperhatikanku saat menghadap Pembantu Rektor II Aan Burhanuddin untuk bisa membayar uang kuliah dalam dua termin, sungguhpun uang kuliah ketika itu hanya Rp 200.000 setahun. Ketika itu memang terasa berat, karena uang kuliah di PTN berkisar Rp 100.000,00).
Playen
Playen adalah nama sebuah desa di Kabupaten Gunung Kidul DIY. Ke tempat itulah kami mahasiswa jurusan KS melakukan studi ekskursi. Dari Bandung kami berkereta api ke Yogyakarta dan dengan menggunakan bus rombongan menuju Playen setelah sebelumnya diterima di pendopo Kabupaten di Wonosari. Tidak semua mahasiswa mengikuti kegiatan tersebut, tapi aku dan Aat ikut. Ia menjadi panitia seksi P3K dan aku di seksi humas dan dokumentasi dengan tugas mengambil gambar dari seluruh kegiatan untuk dijadikan dokumentasi dan bahan laporan.
Rombongan tinggal di rumah-rumah penduduk yang menyebar di pelbagai dusun di satu desa. Aku, Aat, beberapa teman dan beberapa dosen tinggal di rumah mas Sigit, kakak kelasku. Siang hari kami melakukan wawancara dengan masyarakat untuk mengetahui kehidupan sosial di sana dan adakalanya kami bekerja bakti : ada yang ikut memperbaiki jalan desa, ada pula yang membersihkan mesjid. Di saat-saat seperti itulah aku mulai dekat dengannya. Bila ada tugas yang harus kami jalani berdua, aku mencari kesempatan mengajaknya pergi ke dangau di tengah sawah yang indah dan berbincang-bincang dengan asyiknya.
Sebenarnya pada saat itu bukan hanya Aat yang menarik perhatianku, ada mahasiswi lain pada siapa aku menaruh perhatian. Dewi, ia kakak kelas kami. Kebetulan ia pun tinggal di base camp yang sama denganku. (Dua orang ini telah mengisi hatiku dengan perasaan bahagia sepanjang masakuliahku). Pada suatu senja yang indah, aku berkesampatan menemaninya berjalan-jalan di jalan desa yang damai menuju ke suatu pedukuhan (kampung) untuk menemui temannya. Kami berpayung bersama dan berbicara mengenai hal-hal yang tentunya tidak begitu penting untuk dibicarakan. Aku hanya merasa bahagia dekat dengannya. Dan perasaan ini berlangsung lama. Mungkin juga abadi.
Kadangkala jika aku sedang termenung, aku mengingat-ingat kenangan masa awal kuliah itu dan hinggap pada sebuah tempat di sebuah desa nun jauh di Gunung Kidul bernama Playen, pada saat itu aku merasa tergetar karena semua kenangan ketika itu begitu indah dan seolah baru terjadi kemarin. Tak dapat kubayangkan betapa sedihnya hidup tanpa kenangan.
RS Immanuel
Hubunganku dengan Aat terus terjalin, mungkin juga disebabkan karena aku memerlukan penyeimbang dalam kehidupanku setelah mbak Lis menikah. Aku kemudian jadi sering berkunjung ke RS Immanuel dan biasannya bertemu di ruang tamu asrama putri. RS Immanuel adalah sebuah rumah sakit milik Gereja Kristen Pasundan dan Aat bekerja di sana setelah sebelumnya belajar di Sekolah Perawat RS Immanuel. Kebetulan pula ada seorang sahabatku mas Mukimin yang juga teman kuliah satu kelas. Jadi jika Aat sedang bekerja aku bisa ke asrama putra tempat mas Mukimin bekerja, bahkan adakalanya aku menginap di kamarnya. Begitulah RS itu seperti rumah keempatkuku setelah kamar kost, St Angela dan kampus. Selama bertahun-tahun aku berputar-putar di empat tempat itu. Kadangkala di malam minggu aku ikut begadang menemani mas Mukimin yang sedang bertugas merawat pasien, pada saat Aat bertugas di ruang ICU (Intensive Care Unit).
Jika malam minggu aku tidak ke RS, minggu pagi kadang aku menjumpai Aat yang entah sejak kapan kuanggap sebagai sebagai kekasih, demikian juga sebaliknya. Kami seringkali berjalan-jalan jika kebetulan ia tidak bertugas. Biasanya kami mengunjungi rumah mas Tarno di Cimahi, berkunjung ke mas Isworo di Susteran Dominikan Baros untuk bermain bulutangkis, atau ke panti asuhan anak milik Departemen Sosial di Cibabat. Di sana ada sahabat kami pak Baban yang menjadi bapak asuh, dan kami sudah kenal baik dengan keluarganya serta anak-anak asuhnya. Depsos mengembangkan pola pengasuhan yang menyatukan anak asuh dalam keluarga bapak atau ibu asuhnya, sehingga mereka tidak seperti tinggal di asrama. Sebegitu sering aku berkunjung ke sama sehingga anak-anak itu begitu dekat dengan kami.
Baranangsiang
Suatu ketika aku tertarik untuk belajar acting dan ingin sekali mengikuti acting course di STB (Studiklub Teater Bandung), sayang sekali saat acting course berlangsung aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan sehingga aku gagal mengikuti kursus peran di STB. Namun kesenanganku pada sastra dan teater tetap kupelihara dengan sesekali melihat pertunjukkan di gedung teater Baranangsiang dekat pasar Kosambi. Ada kalanya aku menonton bersama Aat, karena aku ingin ia juga turut menikmati pertunjukkan yang bagus-bagus ketika itu. STB mementaskan Badak-badak karya Ionesco atau King Lear karya Shakespeare. Ada pula teater Koma mementaskan Opera Kecoa. Biasanya setelah itu kami pulang naik becak hingga ke Kebon Kelapa dan memperbincangkan pertunjukkan selama perjalanan.
Tempat kencan kami lainnya adalah bioskop. Tahun-tahun 80-an banyak bioskop di kota Bandung, jadi kami bisa nonton di Dian, Mayestic, Braga Sky, Panti Karya, Palaguna Nusantara, atau Kings. Selain itu akupun mengajak kekasihku ke Jakarta untuk melihat karya seni rupa dan patung di Museum Seni Rupa Indonesia di samping melihat-lihat koleksi Museum Fatahillah yang menggambarkan sejarah Jakarta. Pendek kata masa pacaran kami penuh dengan kenangan indah. Semua itu dapat sejenak membuat kami terlupa pada rutinitas pekerjaan dan kuliah.
Pertunangan
Di tahun 1985, kami lulus sarjana muda dan mendapat gelar BSW (Bachelor of Social Worker) atau sarja muda pekerjaan sosial. Aku merasa bahwa hubungan kami sudah terlalu lama dan aku ingin mengakhiri masa pacaran. Pada suatu saat di sekitar hari raya Idul Fitri aku memberanikan diri melamar Aat untuk menjadi istriku. Pak Une, ayahnya menerima lamaranku. Maka hubunganku dengan Aat maju selangkah ke hubungan pertunangan.
Tanggal 17 Agustus 1986, kami bertunangan dan bertukar cincin yang melambangkan ikatan antara kami berdua. Karena orangtuaku jauh di Jawa Timur, maka aku hanya ditemani teman-teman kuliahku: Bob, Bono, Wahyu, Rizal, Aceng, Eni dan Yani; teman sekolahku di SMEA dulu : Ribut; temanku di Jakarta : Slamet, yang ketika itu sudah bekerja di BPKP dan adikku Yani. Hari itu begitu mengesankan karena bangsa Indonesia sedang merayakan hari kemerdekaannya, sehingga sepanjang jalan pulang dari rumah Aat di Banjaran hingga ke Bandung, kami menyaksikan keramaian di jalan-jalan : lari marathon serta lomba-lomba yang lain yang penuh sukacita dan gelak tawa. Bendera merah putih melambai-lambai di langit siang yang biru terang, umbul-umbul pun menghiasi jalan-jalan.
Perkawinan
Setelah pertunangan itu aku mulai mengajak Aat ke rumah orang tuaku di Ngawi, juga mengenalkannya pada saudara-saudaraku. Nampaknya kedua orang tuaku dapat menerimanya dengan baik. Karena itu kendati kami berdua belum menyelesaikan kuliah hingga sarjana, tapi kami berdua memutuskan untuk segera menikah. Kami menetapkan tanggal 16 Maret 1987 sebagai hari perkawinan dan resepsi pernikahan kami.
Aat sangat serius menyiapkan acara pernikahan kami, nampaknya ia ingin memberi kesan yang baik mengenai diriku di mata keluarganya. Berhari-hari kami mengumpulkan pelbagai barang yang akan kujadikan cendera mata pada saat seserahan, termasuk menyiapkan beberapa gram perhiasan dari mas untuk dijadikan mas kawin.
Teman-teman dekatku ikut sibuk membantuku menyiapkan segala sesuatu. Ada yang mencarikan perias pengantin, ada yang mencarikan penata hiasan buah tangan, ada yang menyiapkan mobil dan lain sebagainya.
Malam hari menjelang perkawinan, Eni bermurah hati meminjamkan mobilnya agar aku bisa datang ke rumah Aat dalam acara ngeyeuk seureuh. Ngeyeuk sereuh adalah sebuah prosesi adat sebelum hari perkawinan berlangsung. Ada acara berebut uang logam dalam baskom berisi air, mengangkat bungkusan berisi pakaian kami berdua secara bersama-sama dan lain sebagainya. Mas Tarno dan mbak Tatik juga datang mewakili keluargaku. Malam itu juga kami pulang. Slamet dan Ribut datang dari Jakarta untuk menemaniku malam itu.
Keesokan harinya tante Yola datang ke tempat kost untuk meriasku di samping mengatur busana yang harus kukenakan. Dikenakannya kain batik, jas warna putih dan blangkon padaku di samping diselipkan sebilah keris hiasan.
Sekitar jam 06.00 pagi rombonganku berangkat. Induk semangku, teman-teman dekat, dan beberapa orang tetangga ikut mengantar sambil membawa pelbagai buah tangan yang dibentuk menjadi pelbagai hiasan. Pak Benyamin ketua jurusanku ikut mengantar sekaligus kumintai tolong untuk mewakili keluargaku.
Setiba di rumah mempelai perempuan, kami disambut dengan acara penyambutan yang meriah seperti layaknya menyambut raja atau tamu yang dimuliakan. Ada tari-tarian dan musik gamelan, tidak lupa mang Lengser yang menjadi mascot penyambutan.
Setelah rombongan duduk di tempat yang disediakan, upacara masih berlanjut. Aku dan Aat duduk berdampingan sambil dipayungi dan diberi nasihat dalam bentuk kawih. Kemudian tuan rumah memberikan sambutan dan pak Abbas mewakili keluargaku menyampaikan maksud kedatangan, karena memang demikianlah tatacaranya. Setelah itu dilanjutkan dengan seserahan. Seserahan adalah acara memberikan buah tangan berupa barang-barang keperluan mempelai perempuan dariku untuk calon istriku.
Dipandu petugas dari Kantor Urusan Agama (KUA), ayah dari mempelai perempuan menikahkan anaknya padaku, aku pun menerima Aat Atikah binti Une Hidayat sebagai istriku dengan mas kawin berupa perhiasan mas beberapa gram serta peralatan shalat. Ritual itu dinamakan ijab qabul, atau walimatul nikah. Dengan diucapkannya ijab qabul yang disaksikan banyak orang dari kedua belah pihak maka Aat sah menjadi istriku.
Resepsi pernikahan diselenggarakan hari itu juga. Siang hari ada pertunjukan degung, yaitu tembang yang diiringi gamelan yang sesekali diiringi tari jaipongan. Para tetamu berdatangan untuk mengucapkan selamat pada pasangan suami istri baru. Merekapun mencicipi hidangan ala kadar yang disiapkan keluarga istriku dalam bentuk prasmanan sehingga terbentuklah antrian panjang seperti ular. Kami dipotret dengan pelbagai pose dan gaya busana yang berganti-ganti: berdua, dengan orang tua kami masing-masing dan teman-teman yang datang silih berganti. Keluargaku tidak hadir semua, hanya ada bapak, dik Yani dan dik Retno. Teman-teman kami dari kampus datang, juga teman-teman sekerja: dari RS Immanuel (teman-teman istriku) dan Santa Angela (teman-temanku). Acara baru selesai sore hari.
Pada malam hari acara berlanjut dengan pengajian, dengan mendengarkan ceramah dari seorang mubaligh yang sengaja diundang oleh mertuaku. Teman-temanku dari GMNI datang. Yayat, Yudi, dan lain-lain yang tidak dapat lagi kuingat namanya satu persatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar